32.3 C
Jakarta
Wednesday, May 14, 2025

Pacu Ekspor, Kementan Padukan Standar Indonesia GAP dan ASEAN GAP

Hadirnya
perdagangan bebas di era globalisasi menuntut semua pihak untuk meningkatkan
kualitas produk. Hanya produk berkualitas secara mutu saja yang dapat keluar
masuk dari dan ke suatu negara. Bahkan dalam hubungan antar negara, syarat
berkualitas berdasarkan kesepakatan bersama. Dengan demikian, mau tidak mau
syarat utamanya adalah produsen harus mengikuti standar yang berlaku, termasuk
produk pertanian.

Dalam
dunia pertanian, standar mutu yang berlaku meliputi teknik budidaya yang baik
dan benar (Good Agricultural Practices /GAP), penanganan pasca panen (Good
Handling Practices/GHP), pengolahan (Good Manufacturing Practices (GMP). Selain
ke tiga komponen di atas, unsur pendistribusian (Good Distribution Practices)
produk hingga ke tangan konsumen juga menjadi poin penting.

Sebagai
informasi, GAP merupakan teknis penerapan sistem sertifikasi proses produksi
pertanian menggunakan teknologi maju, ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Penerapan ini dapat menjamin sehingga produk panen konsumi. GAP telah
diterapkan di Indonesia sejak tahun 2003. Secara berangsur, negara – negara
tujuan ekspor mewajibkan semua produk bahan pangan memiliki sertifikat GAP.
ASEAN-GAP sendiri menekankan terhadap empat komponen yaitu (1) keamanan
konsumsi pangan; (2) pengelolaan lingkungan dengan benar; (3) keamanan,
kesehatan dan kesejahteraan pekerja lapang; (4) jaminan kualitas produk dan
dapat ditelusuri.

GAP
menuntut para produsen menghasilkan produk aman konsumsi, berkelanjutan dan menjamin
keselamatan para pekerjanya untuk menghasilkan produk yang benar-benar
berkualitas. Tak hanya menghasilkan produk berkualitas, namun juga mampu
meminimalisir pencemaran lingkungan. Apabila produk pertanian yang dihasilkan
hendak bersaing di era perdagangan bebas, maka memiliki sertifikat GAP adalah
sebuah kewajiban.

Baca Juga :  Covid-19 Bisa Makin Parah Jika Kasus Kebakaran Hutan Terulang

ASEAN GAP
merupakan standar GAP yang mengontrol proses produksi pangan bagi anggota
ASEAN. ASEAN GAP dibentuk untuk meningkatkan harmonisasi program GAP di antara
negara-negara anggota ASEAN. Ini mencakup produksi, panen dan penanganan pasca
panen buah dan sayuran segar. Panduan ini dirancang untuk membantu para
produsen, pebisnis, pemerintah, stakeholder dan pihak lainnya untuk memahami
praktik yang diperlukan untuk menerapkan Modul Keamanan Pangan ASEAN GAP.

Saat ini
pemerintah tengah menyesuaikan standar GAP yang berlaku sesuai dengan ASEAN
GAP. Dalam hal ini, Indonesia mengirimkan penyesuaian Indo GAP disertai Self
Assessment kepada Chairperson Expert Working Group (EWG) ASEAN-GAP dan Sekretariat
ASEAN. Untuk itu Ditjen Hortikultura tengah menyusun draf Peraturan Menteri
Pertanian (Permentan) berjudul Pedoman Budidaya, Pascapanen dan Pengolahan
Hortikultura yang Baik (Good Horticulture Practices).

“Kebun-kebun
yang telah menerapkan Good Horticulture Practice, perlu disertifikasi baik oleh
Pemerintah maupun lembaga sertifikasi berkompeten. Tentunya registrasi berupa
pendataan kelompok tani yang telah sudah menerapkan GAP,” ujar Direktur
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura, Yasid Taufik.

Berdasarkan
data Direktori OKKPP 2018, terdapat 1162 pelaku usaha yang produk
hortikulturanya memiliki sertifikasi GAP kategori Prima 3 (aman dikonsumsi) dan
24 pelaku usaha yang produk hortikulturanya sertifikasi GAP kategori Prima 2
(aman dan bermutu). Sementara kebun bersertifikasi GAP untuk Provinsi Gorontalo
berjumlah 4 (semua berlaku), Provinsi Sumsel berjumlah 7 ( semua berlaku),
Provinsi Banten berjumlah 11 ( semua berlaku), Provinsi Bali berjumlah 6 (semua
berlaku), Provinsi Bengkulu berjumlah 11 ( semua berlaku) dan Jawa Barat
berjumlah 28 (10 berlaku, 18 tidak berlaku).

Baca Juga :  Jalankan Protokol Kesehatan di Keluarga

Kementerian
Pertanian melakukan pembinaan, bimbingan kepada pelaku usaha sebelum masa
berlaku sertifikatnya habis. Termasuk pelaksanaan sekolah lapang (SL) GAP untuk
menambah pengetahuan dan keterampilan pelaku usaha juga fasilitasi penyusunan
dokumen sistem mutu.

Berdasarkan
data Ditjen Hortikultura, packing house yang sudah diregistrasi sebanyak 49
pelaku usaha untuk komoditas salak, manggis, pisang dan sayuran. Sementara khusus
eksportir buah manggis ada 42 packing house dengan tujuan ke Cina. Packing
house yang tidak berlaku sebanyak 6 pelaku usaha, 1 harus segera diperpanjang
kembali masa berlakunya. Pelaku usaha yang sudah menerapkan Good Manufacturing
Practices ( GMP) sejauh ini berjumlah empat perusahaan.

Terhadap
inisiasi penyusunan Good Horticulture Practice (GHP) maupun penyelarasan ASEAN
GAP nantinya harus dapat mengakomodir sertifikasi GAP berbasis perorangan
maupun kelompok.

“Tentunya,
peran serta Dinas Pertanian Provinsi, Otoritas Kompeten Keamanan Pangan Pusat
dan Daerah (OKKPP/OKKPD), perguruan tinggi dan pihak swasta sangat diperlukan
dalam penerapan Good Horticulture Practice. Tujuannya agar produk hortikultura
kita dapat berdaya saing dan ekspor semakin meningkat,” pungkas Yasid.(jpg)

 

Hadirnya
perdagangan bebas di era globalisasi menuntut semua pihak untuk meningkatkan
kualitas produk. Hanya produk berkualitas secara mutu saja yang dapat keluar
masuk dari dan ke suatu negara. Bahkan dalam hubungan antar negara, syarat
berkualitas berdasarkan kesepakatan bersama. Dengan demikian, mau tidak mau
syarat utamanya adalah produsen harus mengikuti standar yang berlaku, termasuk
produk pertanian.

Dalam
dunia pertanian, standar mutu yang berlaku meliputi teknik budidaya yang baik
dan benar (Good Agricultural Practices /GAP), penanganan pasca panen (Good
Handling Practices/GHP), pengolahan (Good Manufacturing Practices (GMP). Selain
ke tiga komponen di atas, unsur pendistribusian (Good Distribution Practices)
produk hingga ke tangan konsumen juga menjadi poin penting.

Sebagai
informasi, GAP merupakan teknis penerapan sistem sertifikasi proses produksi
pertanian menggunakan teknologi maju, ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Penerapan ini dapat menjamin sehingga produk panen konsumi. GAP telah
diterapkan di Indonesia sejak tahun 2003. Secara berangsur, negara – negara
tujuan ekspor mewajibkan semua produk bahan pangan memiliki sertifikat GAP.
ASEAN-GAP sendiri menekankan terhadap empat komponen yaitu (1) keamanan
konsumsi pangan; (2) pengelolaan lingkungan dengan benar; (3) keamanan,
kesehatan dan kesejahteraan pekerja lapang; (4) jaminan kualitas produk dan
dapat ditelusuri.

GAP
menuntut para produsen menghasilkan produk aman konsumsi, berkelanjutan dan menjamin
keselamatan para pekerjanya untuk menghasilkan produk yang benar-benar
berkualitas. Tak hanya menghasilkan produk berkualitas, namun juga mampu
meminimalisir pencemaran lingkungan. Apabila produk pertanian yang dihasilkan
hendak bersaing di era perdagangan bebas, maka memiliki sertifikat GAP adalah
sebuah kewajiban.

Baca Juga :  Covid-19 Bisa Makin Parah Jika Kasus Kebakaran Hutan Terulang

ASEAN GAP
merupakan standar GAP yang mengontrol proses produksi pangan bagi anggota
ASEAN. ASEAN GAP dibentuk untuk meningkatkan harmonisasi program GAP di antara
negara-negara anggota ASEAN. Ini mencakup produksi, panen dan penanganan pasca
panen buah dan sayuran segar. Panduan ini dirancang untuk membantu para
produsen, pebisnis, pemerintah, stakeholder dan pihak lainnya untuk memahami
praktik yang diperlukan untuk menerapkan Modul Keamanan Pangan ASEAN GAP.

Saat ini
pemerintah tengah menyesuaikan standar GAP yang berlaku sesuai dengan ASEAN
GAP. Dalam hal ini, Indonesia mengirimkan penyesuaian Indo GAP disertai Self
Assessment kepada Chairperson Expert Working Group (EWG) ASEAN-GAP dan Sekretariat
ASEAN. Untuk itu Ditjen Hortikultura tengah menyusun draf Peraturan Menteri
Pertanian (Permentan) berjudul Pedoman Budidaya, Pascapanen dan Pengolahan
Hortikultura yang Baik (Good Horticulture Practices).

“Kebun-kebun
yang telah menerapkan Good Horticulture Practice, perlu disertifikasi baik oleh
Pemerintah maupun lembaga sertifikasi berkompeten. Tentunya registrasi berupa
pendataan kelompok tani yang telah sudah menerapkan GAP,” ujar Direktur
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura, Yasid Taufik.

Berdasarkan
data Direktori OKKPP 2018, terdapat 1162 pelaku usaha yang produk
hortikulturanya memiliki sertifikasi GAP kategori Prima 3 (aman dikonsumsi) dan
24 pelaku usaha yang produk hortikulturanya sertifikasi GAP kategori Prima 2
(aman dan bermutu). Sementara kebun bersertifikasi GAP untuk Provinsi Gorontalo
berjumlah 4 (semua berlaku), Provinsi Sumsel berjumlah 7 ( semua berlaku),
Provinsi Banten berjumlah 11 ( semua berlaku), Provinsi Bali berjumlah 6 (semua
berlaku), Provinsi Bengkulu berjumlah 11 ( semua berlaku) dan Jawa Barat
berjumlah 28 (10 berlaku, 18 tidak berlaku).

Baca Juga :  Jalankan Protokol Kesehatan di Keluarga

Kementerian
Pertanian melakukan pembinaan, bimbingan kepada pelaku usaha sebelum masa
berlaku sertifikatnya habis. Termasuk pelaksanaan sekolah lapang (SL) GAP untuk
menambah pengetahuan dan keterampilan pelaku usaha juga fasilitasi penyusunan
dokumen sistem mutu.

Berdasarkan
data Ditjen Hortikultura, packing house yang sudah diregistrasi sebanyak 49
pelaku usaha untuk komoditas salak, manggis, pisang dan sayuran. Sementara khusus
eksportir buah manggis ada 42 packing house dengan tujuan ke Cina. Packing
house yang tidak berlaku sebanyak 6 pelaku usaha, 1 harus segera diperpanjang
kembali masa berlakunya. Pelaku usaha yang sudah menerapkan Good Manufacturing
Practices ( GMP) sejauh ini berjumlah empat perusahaan.

Terhadap
inisiasi penyusunan Good Horticulture Practice (GHP) maupun penyelarasan ASEAN
GAP nantinya harus dapat mengakomodir sertifikasi GAP berbasis perorangan
maupun kelompok.

“Tentunya,
peran serta Dinas Pertanian Provinsi, Otoritas Kompeten Keamanan Pangan Pusat
dan Daerah (OKKPP/OKKPD), perguruan tinggi dan pihak swasta sangat diperlukan
dalam penerapan Good Horticulture Practice. Tujuannya agar produk hortikultura
kita dapat berdaya saing dan ekspor semakin meningkat,” pungkas Yasid.(jpg)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru