25.6 C
Jakarta
Monday, November 25, 2024

Tentang Kamus yang Tidak Pernah Sederhana

TAHUN 2019 menyuguhkan sejumlah film apik.
Salah satunya dirilis pada Mei lalu, berjudul The Professor and The Madman.

Saya merekomendasikan film berdurasi 124 menit itu sebagai salah satu film
penting, terutama bagi para pemerhati bahasa. Sebab, film tersebut bertutur
tentang sejarah penyusunan sebuah kamus. Kamus Oxford, tepatnya.

Penyusunan kamus Oxford dipimpin James Murray dengan tim kecil dari Philological
Society London. Tujuan mereka sederhana, yakni menghimpun seluruh kosakata
Inggris yang digunakan sejak 1150 M.

Suatu misi yang, pada 1857, terbilang ambisius. Sebab, hampir mustahil
diwujudkan. Dengan keterbatasan teknologi, nekat mengumpulkan seluruh kosakata
Inggris, baik yang pernah dituturkan maupun yang dituliskan?

Mari bersepakat sejenak untuk meminggirkan sikap tak acuh lantaran film itu
bukan tentang sejarah kamus bahasa Indonesia. Apa pun bahasanya, kegiatan
menyusun kamus menyediakan petualangan yang menantang, menuntut pengorbanan,
dan memberikan tekanan emosional yang hebat.

Sebuah adegan menggambarkan anggota tim penyusun yang frustrasi karena
tidak bisa menemukan kata “approve” tertulis di dalam berbagai literatur
Inggris pada abad ke-17 dan ke-18. Padahal, dia menemukan kata tersebut di
dalam buku-buku abad ke-14, 15, 16, dan 19.

Ada jejak yang hilang. Sekalipun kata itu jamak digunakan, mereka tidak
bisa memasukkannya ke kamus kecuali ada jejak kata di tiap abad. Padahal,
mereka baru berkutat dengan kata berawalan huruf A, tapi sudah sesulit itu.

The Professor and The Madman menunjukkan bahwa dalam menyusun kamus,
sekurang-kurangnya terdapat tiga tantangan. Pertama, kebutuhan akan pengetahuan
yang sangat luas tentang berbagai bahasa.

Baca Juga :  Mengentaskan Buta Aksara di Desa Terpencil

James Murray (diperankan Mel Gibson) adalah lelaki putus sekolah yang
secara otodidak menguasai bahasa Latin, Yunani, Romawi, Italia, Prancis,
Spanyol, Catalan, Portugis, Belanda, Denmark, Flemish, Rusia, Syria, Ibrani,
Aram, Arab, Koptik, dan lain-lain. Penguasaan itu penting lantaran mereka harus
melacak akar sejarah setiap kata.

Murray mampu menjelaskan kata clever sebagai adopsi dari bahasa Jerman,
klover. Kemudian, menjelaskan bahwa kata itu tidak merujuk pada kecakapan
berpikir saja, tetapi juga jenis kecerdasan fisik.

Kedua, kebutuhan untuk membaca seluruh literatur. Genius saja tidak cukup;
ketekunan membaca menjadi sangat penting dalam dokumentasi kata. Murray
akhirnya menulis pamflet yang disebarkan ke seluruh negeri. Dia memohon bantuan
kepada rakyat Inggris agar terlibat aktif membaca buku dan mencatat kosakata
yang mereka temukan.

Syukurlah, James Murray menerima bantuan tak terduga dari genius lain
bernama William Chester Minor. Yang mengiriminya bundel-bundel kosakata yang
telah diurutkan dan siap “dikamuskan”. Bila tidak mendorong keterlibatan
publik, kamus selesai dalam kurun ratusan tahun.

Ketiga, keinsafan bahwa kamus mereka tidak akan “selesai”. Bahasa terus
berkembang karena realitas berkembang, dan tidak mungkin mengejar perkembangan
itu dengan kerja dokumentatif yang lamban.

Menyadari itu, Murray sempat berada di titik terendah dari mimpinya untuk
“mendokumentasikan sejarah dari segalanya, menawarkan kepada dunia sebuah buku
yang mengartikan semua ciptaan Tuhan”. Seseorang meminta Murray untuk tidak
menanggung beban kerja sendirian. Dia disadarkan bahwa akan selalu ada orang
yang bersedia melanjutkan apa yang telah mereka mulai.

Baca Juga :  Keadilan Sosial di Negeri Konten

Menonton The Professor and The Madman adalah menonton riwayat kegigihan
manusia dalam menghimpun apa yang telah lalu, demi mengantisipasi masa depan.
Film tersebut tidak melulu tentang suasana menyusun kamus; di dalamnya juga ada
tragedi dan asmara.

Bahkan, dialog ringan antara Murray dan Minor yang merapal
kosakata-kosakata indah seperti alveari, louche, commotrix, atau gyre mampu
menggetarkan hati. Namun, kita bisa mengarahkan perhatian utama pada kamus yang
tidak pernah sederhana.

Kamus bukanlah sekadar himpunan kata dan definisinya. Menyusun kamus
berarti menyelidiki kata dan sejarahnya. Kata tidak muncul dengan sendirinya.
Ada realitas di balik tiap kata. Menyelidiki kata berarti “memahami realitas
pada suatu masa dan cara berpikir suatu bangsa tentangnya”.

Kamus, dengan demikian, merangkum pengalaman dan pemikiran. Dulu saya
selalu terpesona dengan adanya kata “merdeka”, sedangkan di saat yang sama ada
kata “bebas”. Belakangan saya tahu bahwa “merdeka” berakar pada bahasa
Sanskerta, yakni mahardika, yang bermakna khusus “kebebasan untuk memilih jalan
yang baik”. Merdeka, ternyata, adalah kosakata moral.

Saya menanti film serupa tentang bahasa Indonesia. Bahasa kita tidak kalah
indahnya, baik untuk dimaknai maupun dibunyikan. Bertualang di KBBI, menemukan
kosakata antik seperti gaham, ujana, rengsa, dan munjung. Mencoba melafalkannya
sungguh menyenangkan, apalagi bisa menelusuri akar-akarnya yang jauh.

Tapi, bila ada film semacam itu, tugas besarnya adalah mengaktifkan
imajinasi akan kekayaan identitas, sejarah, dan pengalaman yang terekam dalam
bahasa. Agar kita insaf akan diri kita sendiri. (***)

(Pustakawan di Perpustakaan Djendela, Lombok)

TAHUN 2019 menyuguhkan sejumlah film apik.
Salah satunya dirilis pada Mei lalu, berjudul The Professor and The Madman.

Saya merekomendasikan film berdurasi 124 menit itu sebagai salah satu film
penting, terutama bagi para pemerhati bahasa. Sebab, film tersebut bertutur
tentang sejarah penyusunan sebuah kamus. Kamus Oxford, tepatnya.

Penyusunan kamus Oxford dipimpin James Murray dengan tim kecil dari Philological
Society London. Tujuan mereka sederhana, yakni menghimpun seluruh kosakata
Inggris yang digunakan sejak 1150 M.

Suatu misi yang, pada 1857, terbilang ambisius. Sebab, hampir mustahil
diwujudkan. Dengan keterbatasan teknologi, nekat mengumpulkan seluruh kosakata
Inggris, baik yang pernah dituturkan maupun yang dituliskan?

Mari bersepakat sejenak untuk meminggirkan sikap tak acuh lantaran film itu
bukan tentang sejarah kamus bahasa Indonesia. Apa pun bahasanya, kegiatan
menyusun kamus menyediakan petualangan yang menantang, menuntut pengorbanan,
dan memberikan tekanan emosional yang hebat.

Sebuah adegan menggambarkan anggota tim penyusun yang frustrasi karena
tidak bisa menemukan kata “approve” tertulis di dalam berbagai literatur
Inggris pada abad ke-17 dan ke-18. Padahal, dia menemukan kata tersebut di
dalam buku-buku abad ke-14, 15, 16, dan 19.

Ada jejak yang hilang. Sekalipun kata itu jamak digunakan, mereka tidak
bisa memasukkannya ke kamus kecuali ada jejak kata di tiap abad. Padahal,
mereka baru berkutat dengan kata berawalan huruf A, tapi sudah sesulit itu.

The Professor and The Madman menunjukkan bahwa dalam menyusun kamus,
sekurang-kurangnya terdapat tiga tantangan. Pertama, kebutuhan akan pengetahuan
yang sangat luas tentang berbagai bahasa.

Baca Juga :  Mengentaskan Buta Aksara di Desa Terpencil

James Murray (diperankan Mel Gibson) adalah lelaki putus sekolah yang
secara otodidak menguasai bahasa Latin, Yunani, Romawi, Italia, Prancis,
Spanyol, Catalan, Portugis, Belanda, Denmark, Flemish, Rusia, Syria, Ibrani,
Aram, Arab, Koptik, dan lain-lain. Penguasaan itu penting lantaran mereka harus
melacak akar sejarah setiap kata.

Murray mampu menjelaskan kata clever sebagai adopsi dari bahasa Jerman,
klover. Kemudian, menjelaskan bahwa kata itu tidak merujuk pada kecakapan
berpikir saja, tetapi juga jenis kecerdasan fisik.

Kedua, kebutuhan untuk membaca seluruh literatur. Genius saja tidak cukup;
ketekunan membaca menjadi sangat penting dalam dokumentasi kata. Murray
akhirnya menulis pamflet yang disebarkan ke seluruh negeri. Dia memohon bantuan
kepada rakyat Inggris agar terlibat aktif membaca buku dan mencatat kosakata
yang mereka temukan.

Syukurlah, James Murray menerima bantuan tak terduga dari genius lain
bernama William Chester Minor. Yang mengiriminya bundel-bundel kosakata yang
telah diurutkan dan siap “dikamuskan”. Bila tidak mendorong keterlibatan
publik, kamus selesai dalam kurun ratusan tahun.

Ketiga, keinsafan bahwa kamus mereka tidak akan “selesai”. Bahasa terus
berkembang karena realitas berkembang, dan tidak mungkin mengejar perkembangan
itu dengan kerja dokumentatif yang lamban.

Menyadari itu, Murray sempat berada di titik terendah dari mimpinya untuk
“mendokumentasikan sejarah dari segalanya, menawarkan kepada dunia sebuah buku
yang mengartikan semua ciptaan Tuhan”. Seseorang meminta Murray untuk tidak
menanggung beban kerja sendirian. Dia disadarkan bahwa akan selalu ada orang
yang bersedia melanjutkan apa yang telah mereka mulai.

Baca Juga :  Keadilan Sosial di Negeri Konten

Menonton The Professor and The Madman adalah menonton riwayat kegigihan
manusia dalam menghimpun apa yang telah lalu, demi mengantisipasi masa depan.
Film tersebut tidak melulu tentang suasana menyusun kamus; di dalamnya juga ada
tragedi dan asmara.

Bahkan, dialog ringan antara Murray dan Minor yang merapal
kosakata-kosakata indah seperti alveari, louche, commotrix, atau gyre mampu
menggetarkan hati. Namun, kita bisa mengarahkan perhatian utama pada kamus yang
tidak pernah sederhana.

Kamus bukanlah sekadar himpunan kata dan definisinya. Menyusun kamus
berarti menyelidiki kata dan sejarahnya. Kata tidak muncul dengan sendirinya.
Ada realitas di balik tiap kata. Menyelidiki kata berarti “memahami realitas
pada suatu masa dan cara berpikir suatu bangsa tentangnya”.

Kamus, dengan demikian, merangkum pengalaman dan pemikiran. Dulu saya
selalu terpesona dengan adanya kata “merdeka”, sedangkan di saat yang sama ada
kata “bebas”. Belakangan saya tahu bahwa “merdeka” berakar pada bahasa
Sanskerta, yakni mahardika, yang bermakna khusus “kebebasan untuk memilih jalan
yang baik”. Merdeka, ternyata, adalah kosakata moral.

Saya menanti film serupa tentang bahasa Indonesia. Bahasa kita tidak kalah
indahnya, baik untuk dimaknai maupun dibunyikan. Bertualang di KBBI, menemukan
kosakata antik seperti gaham, ujana, rengsa, dan munjung. Mencoba melafalkannya
sungguh menyenangkan, apalagi bisa menelusuri akar-akarnya yang jauh.

Tapi, bila ada film semacam itu, tugas besarnya adalah mengaktifkan
imajinasi akan kekayaan identitas, sejarah, dan pengalaman yang terekam dalam
bahasa. Agar kita insaf akan diri kita sendiri. (***)

(Pustakawan di Perpustakaan Djendela, Lombok)

Terpopuler

Artikel Terbaru