Dahlan sekarang sudah kelas enam SD. Anaknya pintar. Ingin masuk SMP di Jawa. Pun saudara kembarnya yang lahir perempuan: Benyah Gresyah Queen Hesegem.
Saya bertemu Dahlan kemarin sore. Di Wamena –ibu kota provinsi Papua Pegunungan. Saya ingat waktu ia baru lahir dulu: saya gendong. Saya pangku. Berarti itu sudah lebih 12 tahun lewat.
Selama itu pula saya tidak pernah ke Wamena. Baru kemarin siang bisa ke sana lagi. Ternyata Wamena masih sama: masih tetap jauh dari Jakarta. Total lima setengah jam penerbangan –melebihi ke Hong Kong atau Guangzhou.
Udara Wamena juga masih sama: sejuk sekali. Sekitar 17 derajat Celsius. Talasnya juga masih sama: enak sekali. Rasanya, talas Wamena-lah terenak di dunia.
Saya sering minta kiriman talas dari Wamena. Yang saya mintai tolong adalah bapaknya Dahlan: Pak Wolter Hesegem. Ia anak kepala suku di daerah Yahukimo yang paling dekat dengan Wamena. Anaknya sudah lima orang. Dahlan adalah anaknya yang nomor tiga. Nama lengkapnya Dahlan Alfaro Hasegem.
Sebenarnya, kalau saja anak kembarnya itu laki-laki semua, Wolter akan memberi nama depan Dahlan dan Iskan. Tapi ternyata yang satu lahir perempuan.
Begitu tiba di Wamena saya ”napak tilas” ke kampung Pak Wolter. Bedanya, kali ini tidak lagi jalan kaki. Mobil sudah bisa ke kampung Ibiroma, kecamatan Kurima.
Sebenarnya kecamatan Kurima sudah masuk kabupaten Yahukimo. Tapi dari ibukota Yahukimo ke Kurima harus terbang dulu ke Wamena.
Yahukimo memang kabupaten yang amat luas. Karena itu mulai muncul aspirasi untuk pemekaran: wilayah yang dekat ke Wamena itu berdiri sendiri.
Tentu tidak semua mobil bisa diajak ”napak tilas”. Harus yang double gardan. Maka Toyota Hilux dan Mitsubishi New Triton yang bisa berlalu lalang di jalur ini.
Dulu saya ingat: harus berjalan kaki selama setengah hari untuk mencapai Ibiroma. Sedang puasa Ramadan pula. Kini hanya dua jam sudah tembus. Itu pun karena mobil harus tiga kali ”menyeberang” sungai. Tidak ada jembatan. Sungainya berbatu. Roda mobil seperti harus merayap di atas bebatuan berair deras.
Tentu kami khawatir terperangkap hujan. Sungai-sungai itu tidak akan bisa dilewati. Harus tunggu hujan reda. Itu pun belum cukup. Harus tunggu airnya surut.
Sepanjang jalan saya ngobrol dengan Pak Wolter. Pemkab Yahukimo terlalu jauh untuk memperhatikan jalan di wilayahnya yang amat jauh. Pemekaran kabupaten menjadi pilihan masyarakat setempat.
Saya mendarat di Wamena sudah pukul 13.00. Kalau harus makan siang bisa bahaya: keduluan hujan. Napak tilas bisa gagal. Maka, dari bandara Jayapura, sambil menunggu pesawat yang delay, saya telepon Pak Wolter: agar membeli talas kukus. Untuk makan siang –sambil menikmati perjalanan ke Kurima.
Yang juga beda adalah banyaknya penerbangan Jayapura-Wamena. Banyak sekali. Trigana Air saja bisa enam kali sehari. Pakai pesawat Boeing 737 pula. Seingat saya Trigana itu spesialis operator pesawat-pesawat kecil. Ternyata kini sudah punya pesawat-pesawat Boeing 737.
Tentu saya pilih naik Trigana –kalau tahu sebelumnya. Di benak saya nama Wing Air lebih populer. Padahal pesawatnya pakai baling-baling: ATR. Perlu satu jam penerbangan. Padahal dengan Trigana hanya setengah jam. Apalagi setelah tahu penerbangan Wings Air ini mundur dua jam.
Delapan kali penerbangan Jayapura-Wamena menunjukkan betapa majunya ekonomi kota Wamena. Mungkin karena terutama sejak ada provinsi Papua Pegunungan yang Wamena menjadi ibu kotanya.
Pedalaman Papua lebih aman dari yang saya bayangkan. (Dahlan Iskan)


