26.6 C
Jakarta
Monday, November 3, 2025

Hati Separo

Surat nikah pun didatangkan ke Beijing. Harus pula diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin. Tidak cukup. Harus dilegalisasi di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Beijing.

Nisa saya ajak ke kedutaan. Sang suami ditunggu oleh Lilik, kakaknya. Legalisasi selesai. Itu hari Jumat. Sekalian kami para laki-laki salat Jumat di masjid Niu Jie. Nisa bisa ditemani Janet jalan-jalan di sekitar masjid. Banyak sekali resto muslim di sekitar itu. Ada yang panjang antreannya sepanjang jalan kenangan.

Surat nikah saja tidak cukup. Berbagai dokumen harus disiapkan. Harus diterjemahkan. Lalu harus cari notaris di Beijing. Untung ada Janet di Beijing. Bisa banyak bantu.

Intinya: Nisa harus benar-benar istri Mas Olik. Nisa adalah istri yang akan memberikan separo hatinyi untuk menyelamatkan suami yang sakit liver. Nisa bukan penjual organ demi uang. Tiongkok tidak ingin terkena isu sebagai negara yang menoleransi perdagangan organ.

Belum selesai. Harus ada video dari orang tua Nisa. Bapaknyi. Ibunyi. Yang menyatakan Nisa adalah anak mereka. Olik adalah menantu. Dan orang tua Nisa harus tidak keberatan putri mereka menyerahkan separo hatinyi untuk sang suami.

Dua minggu sudah lewat. Belum juga tahu kapan transplant bisa dilakukan. “Mungkin dua minggu lagi,” ujar pejabat di RS itu sambil menghitung perjalanan pengecekan administrasi semua dokumen itu. “Itu paling cepat”.

Saya sudah telanjur punya jadwal ke Suriah. Juga beberapa komitmen di dalam negeri. Ternyata jadwal transplant lebih lama dari perkiraan.

Tapi urusan transplant tinggal satu: menunggu. Sudah ada kisi-kisinya: paling cepat dua minggu lagi.

Kakak Nisa juga harus segera pulang. Masa tinggal satu bulan di Tiongkok sudah habis. Lilik harus pulang bersama suami. Saya ke Syria. Abror sudah lebih dulu kembali ke Mojokerto: ia pegawai negeri bagian menikahkan orang. Izin tidak masuk kerjanya habis. Pernikahan tidak bisa ditunda. Calon pengantinnya yang keberatan –buru-buru bulan madu.

Baca Juga :  Hindari Makanan dan Minuman Ini, Khususnya Bagi Penderita Liver

Saya yakin Nisa siap merawat sang suami. Dia sarjana keperawatan Unair –meski belum pernah bekerja sebagai perawat beneran.

Ada rasa tidak tega meninggalkan Nisa sendirian. Maka saya cari relawan yang bisa berbahasa Indonesia sekaligus bahasa Mandarin. Saya hubungi mahasiswi yang di Rizhao, Shandong: Della. Yang asal Muncar, Banyuwangi itu. Yang putri seorang sopir truk itu.

Ternyata Della sedang pulang ke Banyuwangi. Ini memang liburan panjang musim panas. “Bagaimana kalau saya carikan teman dari Beijing?” ujar Della.

Dia punya teman-teman mahasiswa Indonesia di Beijing. Salah satunya bernama Justin. Asal Lampung. Sudah selesai S-1 tapi dapat beasiswa S-2.

Liburan hari itu ia tidak pulang ke Lampung. Adiknya, perempuan, juga tidak pulang. Sang adik masih kuliah di S-1 di universitas yang sama: Beijing Institute of Technology (北京理工大学). Mereka mendalami computer science.

Mereka hanya dua bersaudara. Ayah mereka sudah lama meninggal. Ibu mereka menjaga toko alat pancing di Bandar Lampung. Sendirian. Mereka tidak pulang demi menghemat biaya. Lebih baik menabung. Agar Imlek nanti bisa pulang, berhari raya bersama sang ibu.

Dengan hadirnya Justin saya bisa pulang ke Indonesia dengan tenang. Saya janji akan terus memonitor jadwal transplant dari jauh.

Justin saya minta datang ke rumah sakit sebelum saya pulang. Setelah berkenalan, Nisa dan suami merasa cocok. Justin anak muda yang baik.

Bahasa Mandarin Justin juga sudah sangat mumpuni. Apalagi yang menyangkut teknologi komputer. Ia hanya perlu beberapa kata baru di bidang medis.

Akhirnya saya tahu kenapa Justin punya kepribadian yang sangat baik. Justin sudah biasa mengalah di pergaulan. Sudah biasa mengakomodasikan keinginan orang lain. Tidak judes. Tidak kaku. Tidak ego. Karena itu ia terpilih sebagai ketua mahasiswa Indonesia seluruh Tiongkok: PPI Tiongkok. Ia sudah biasa ngemong banyak keinginan.

Sebelum pulang saya tanya Nisa: apakah masih ada ganjalan.

“Soal visa,” katanyi. “Masa tinggal saya akan habis sebelum transplant dilakukan,” tambahnyi.

Baca Juga :  Hati Nikah

Ups… Saya usulkan beberapa kemungkinan. Ini kan urusan medis. Siapa tahu RS bisa bantu. Justin bisa berkomunikasi dengan RS dan dengan imigrasi setempat.

Lalu saya berikan jalan terakhir dan terjelek –kalau semua usaha memperpanjangnya gagal.

“Anda terbang ke Hong Kong. Begitu mendarat, Anda masuk lagi ke terminal keberangkatan untuk kembali ke Beijing,” kata saya.

Beijing-Hong Kong tiga jam. Pagi-pagi bisa berangkat, sorenya bisa tiba kembali di Beijing. Banyak sekali penerbangan Beijing-Hong Kong.

Waktu membuat visa di Surabaya dulu, visa Nisa bisa dipakai dua kali ke Tiongkok. Setiap kali ke Tiongkok boleh tinggal di sana 30 hari. Maka begitu 30 hari Nisa harus meninggalkan Tiongkok. Lalu bisa balik lagi 30 hari lagi. Yang penting sudah meninggalkan Tiongkok dulu.

Sebenarnya ada cara yang lebih singkat. Ke Korea dulu. Hanya satu jam penerbangan. Tapi Nisa tidak punya visa Korea. Sedang untuk ke Hong Kong tidak perlu visa

Saya percaya Nisa bisa melakukan semua itu seorang diri. Kelak akan saya ceritakan mengapa saya punya keyakinan itu kepada Nisa. Bahkan sebenarnya Nisa bisa merawat sang suami sendirian. Tidak perlu ada orang lain.

Masalahnya: pada saatnya nanti Nisa tidak mungkin merawat suaminyi. Dia sendiri harus dirawat. Dalam waktu bersamaan. Bahkan Nisa harus lebih dulu masuk ruang operasi. Bagian bawah dadanyi harus disayat. Untuk diambil separo hatinyi.

Di ruang operasi yang sama, sang suami juga disayat di bagian bawah dadanya. Hatinya yang sudah rusak harus dikeluarkan. Akan diisi separo hati dari sang istri.

Berarti harus ada orang lain. Itulah sebabnya Lilik dan suami hanya akan dua-tiga hari saja di Mojokerto. Lalu balik lagi ke Beijing: Lilik akan merawat Nisa. Suaminyi akan merawat Olik.

Saya sendiri akan balik Beijing bila saat transplant-nya hampir tiba.(Dahlan Iskan)

Surat nikah pun didatangkan ke Beijing. Harus pula diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin. Tidak cukup. Harus dilegalisasi di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Beijing.

Nisa saya ajak ke kedutaan. Sang suami ditunggu oleh Lilik, kakaknya. Legalisasi selesai. Itu hari Jumat. Sekalian kami para laki-laki salat Jumat di masjid Niu Jie. Nisa bisa ditemani Janet jalan-jalan di sekitar masjid. Banyak sekali resto muslim di sekitar itu. Ada yang panjang antreannya sepanjang jalan kenangan.

Surat nikah saja tidak cukup. Berbagai dokumen harus disiapkan. Harus diterjemahkan. Lalu harus cari notaris di Beijing. Untung ada Janet di Beijing. Bisa banyak bantu.

Intinya: Nisa harus benar-benar istri Mas Olik. Nisa adalah istri yang akan memberikan separo hatinyi untuk menyelamatkan suami yang sakit liver. Nisa bukan penjual organ demi uang. Tiongkok tidak ingin terkena isu sebagai negara yang menoleransi perdagangan organ.

Belum selesai. Harus ada video dari orang tua Nisa. Bapaknyi. Ibunyi. Yang menyatakan Nisa adalah anak mereka. Olik adalah menantu. Dan orang tua Nisa harus tidak keberatan putri mereka menyerahkan separo hatinyi untuk sang suami.

Dua minggu sudah lewat. Belum juga tahu kapan transplant bisa dilakukan. “Mungkin dua minggu lagi,” ujar pejabat di RS itu sambil menghitung perjalanan pengecekan administrasi semua dokumen itu. “Itu paling cepat”.

Saya sudah telanjur punya jadwal ke Suriah. Juga beberapa komitmen di dalam negeri. Ternyata jadwal transplant lebih lama dari perkiraan.

Tapi urusan transplant tinggal satu: menunggu. Sudah ada kisi-kisinya: paling cepat dua minggu lagi.

Kakak Nisa juga harus segera pulang. Masa tinggal satu bulan di Tiongkok sudah habis. Lilik harus pulang bersama suami. Saya ke Syria. Abror sudah lebih dulu kembali ke Mojokerto: ia pegawai negeri bagian menikahkan orang. Izin tidak masuk kerjanya habis. Pernikahan tidak bisa ditunda. Calon pengantinnya yang keberatan –buru-buru bulan madu.

Baca Juga :  Hindari Makanan dan Minuman Ini, Khususnya Bagi Penderita Liver

Saya yakin Nisa siap merawat sang suami. Dia sarjana keperawatan Unair –meski belum pernah bekerja sebagai perawat beneran.

Ada rasa tidak tega meninggalkan Nisa sendirian. Maka saya cari relawan yang bisa berbahasa Indonesia sekaligus bahasa Mandarin. Saya hubungi mahasiswi yang di Rizhao, Shandong: Della. Yang asal Muncar, Banyuwangi itu. Yang putri seorang sopir truk itu.

Ternyata Della sedang pulang ke Banyuwangi. Ini memang liburan panjang musim panas. “Bagaimana kalau saya carikan teman dari Beijing?” ujar Della.

Dia punya teman-teman mahasiswa Indonesia di Beijing. Salah satunya bernama Justin. Asal Lampung. Sudah selesai S-1 tapi dapat beasiswa S-2.

Liburan hari itu ia tidak pulang ke Lampung. Adiknya, perempuan, juga tidak pulang. Sang adik masih kuliah di S-1 di universitas yang sama: Beijing Institute of Technology (北京理工大学). Mereka mendalami computer science.

Mereka hanya dua bersaudara. Ayah mereka sudah lama meninggal. Ibu mereka menjaga toko alat pancing di Bandar Lampung. Sendirian. Mereka tidak pulang demi menghemat biaya. Lebih baik menabung. Agar Imlek nanti bisa pulang, berhari raya bersama sang ibu.

Dengan hadirnya Justin saya bisa pulang ke Indonesia dengan tenang. Saya janji akan terus memonitor jadwal transplant dari jauh.

Justin saya minta datang ke rumah sakit sebelum saya pulang. Setelah berkenalan, Nisa dan suami merasa cocok. Justin anak muda yang baik.

Bahasa Mandarin Justin juga sudah sangat mumpuni. Apalagi yang menyangkut teknologi komputer. Ia hanya perlu beberapa kata baru di bidang medis.

Akhirnya saya tahu kenapa Justin punya kepribadian yang sangat baik. Justin sudah biasa mengalah di pergaulan. Sudah biasa mengakomodasikan keinginan orang lain. Tidak judes. Tidak kaku. Tidak ego. Karena itu ia terpilih sebagai ketua mahasiswa Indonesia seluruh Tiongkok: PPI Tiongkok. Ia sudah biasa ngemong banyak keinginan.

Sebelum pulang saya tanya Nisa: apakah masih ada ganjalan.

“Soal visa,” katanyi. “Masa tinggal saya akan habis sebelum transplant dilakukan,” tambahnyi.

Baca Juga :  Hati Nikah

Ups… Saya usulkan beberapa kemungkinan. Ini kan urusan medis. Siapa tahu RS bisa bantu. Justin bisa berkomunikasi dengan RS dan dengan imigrasi setempat.

Lalu saya berikan jalan terakhir dan terjelek –kalau semua usaha memperpanjangnya gagal.

“Anda terbang ke Hong Kong. Begitu mendarat, Anda masuk lagi ke terminal keberangkatan untuk kembali ke Beijing,” kata saya.

Beijing-Hong Kong tiga jam. Pagi-pagi bisa berangkat, sorenya bisa tiba kembali di Beijing. Banyak sekali penerbangan Beijing-Hong Kong.

Waktu membuat visa di Surabaya dulu, visa Nisa bisa dipakai dua kali ke Tiongkok. Setiap kali ke Tiongkok boleh tinggal di sana 30 hari. Maka begitu 30 hari Nisa harus meninggalkan Tiongkok. Lalu bisa balik lagi 30 hari lagi. Yang penting sudah meninggalkan Tiongkok dulu.

Sebenarnya ada cara yang lebih singkat. Ke Korea dulu. Hanya satu jam penerbangan. Tapi Nisa tidak punya visa Korea. Sedang untuk ke Hong Kong tidak perlu visa

Saya percaya Nisa bisa melakukan semua itu seorang diri. Kelak akan saya ceritakan mengapa saya punya keyakinan itu kepada Nisa. Bahkan sebenarnya Nisa bisa merawat sang suami sendirian. Tidak perlu ada orang lain.

Masalahnya: pada saatnya nanti Nisa tidak mungkin merawat suaminyi. Dia sendiri harus dirawat. Dalam waktu bersamaan. Bahkan Nisa harus lebih dulu masuk ruang operasi. Bagian bawah dadanyi harus disayat. Untuk diambil separo hatinyi.

Di ruang operasi yang sama, sang suami juga disayat di bagian bawah dadanya. Hatinya yang sudah rusak harus dikeluarkan. Akan diisi separo hati dari sang istri.

Berarti harus ada orang lain. Itulah sebabnya Lilik dan suami hanya akan dua-tiga hari saja di Mojokerto. Lalu balik lagi ke Beijing: Lilik akan merawat Nisa. Suaminyi akan merawat Olik.

Saya sendiri akan balik Beijing bila saat transplant-nya hampir tiba.(Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru