Ada kalanya seseorang merasa sudah berbicara dengan sopan, menggunakan kata-kata yang “biasa saja”, namun entah mengapa orang lain tampak menjaga jarak, tidak nyaman, atau bahkan menilai dirinya kurang menyenangkan.
Hal itu bukan selalu karena nada bicara yang kasar atau topik yang sensitif, sering kali, penyebabnya justru tersembunyi dalam frasa-frasa sederhana yang kita ucapkan setiap hari.
Psikologi komunikasi menyebut fenomena ini sebagai “emotional dissonance effect”, di mana kata-kata tertentu tanpa sadar menciptakan jarak emosional, menimbulkan kesan merendahkan, atau membuat lawan bicara merasa tidak dihargai.
Kita mungkin tidak bermaksud buruk, tapi bahasa yang kita gunakan memantulkan cara berpikir dan sikap batin kita. Dan sayangnya, beberapa frasa yang terdengar sepele justru bisa mengubah persepsi orang lain terhadap karakter kita.
Dilansir dari Geediting, inilah tujuh frasa umum yang menurut psikologi diam-diam membuat Anda terlihat kurang menyenangkan.
- “Terserah kamu aja.”
Sekilas, frasa ini terdengar netral. Tapi menurut psikolog komunikasi interpersonal, kalimat “terserah kamu aja” sering diartikan sebagai bentuk penarikan diri emosional.
Alih-alih terdengar fleksibel, kalimat ini justru membuat lawan bicara merasa tidak dianggap penting.
Dalam hubungan sosial atau romantis, frasa ini bisa menimbulkan kesan “dingin” atau malas berpartisipasi dalam keputusan bersama. Padahal mungkin niat Anda hanya ingin menghindari konflik.
Coba ubah dengan versi yang lebih terbuka, seperti, “Aku ikut aja, tapi kamu maunya gimana?” atau “Aku nggak masalah, tapi aku pengin tahu pendapatmu juga.” Dengan begitu, Anda tetap terdengar peduli tanpa harus mendominasi pembicaraan.
- “Aku kan sudah bilang dari awal.”
Kalimat ini sering muncul saat seseorang merasa sudah memperingatkan sebelumnya, tapi ternyata orang lain tidak mendengarkan.
Meskipun terdengar wajar, menurut penelitian dari Journal of Personality and Social Psychology, kalimat ini cenderung menimbulkan kesan menggurui atau ingin menang sendiri.
Ketika Anda mengucapkannya, lawan bicara akan merasa disalahkan dan dipermalukan, bukan dibantu.
Lebih baik ubah menjadi, “Iya, aku sempat ngomong soal itu, mungkin kita bisa bahas lagi supaya lebih jelas.” Dengan pendekatan yang lebih lembut, Anda tetap bisa menyampaikan kebenaran tanpa membuat orang lain merasa inferior.
- “Aku sih cuma ngomong jujur aja.”
Kejujuran memang penting, tapi jika disampaikan tanpa empati, bisa terdengar seperti serangan. Frasa ini biasanya digunakan untuk membela diri setelah mengucapkan sesuatu yang menyakitkan.
Dalam psikologi sosial, ini disebut defensive justification, di mana seseorang bersembunyi di balik alasan “jujur” untuk menutupi kurangnya kepekaan emosional.
Kata-kata yang terlalu tajam bisa meninggalkan luka yang tidak terlihat. Sebelum berbicara, tanyakan pada diri sendiri: “Apakah yang saya katakan membantu, atau hanya membuat saya merasa benar?”
Kejujuran yang baik bukan sekadar menyampaikan fakta, tapi juga mempertimbangkan perasaan lawan bicara.
- “Kamu tuh terlalu sensitif.”
Ungkapan ini sering diucapkan ketika seseorang menanggapi emosi orang lain dengan ketidaksabaran.
Namun menurut psikologi hubungan interpersonal, kalimat ini bisa menjadi bentuk emotional invalidation, yaitu menolak atau meremehkan perasaan seseorang.
Ketika seseorang merasa tersinggung, sedih, atau marah, kalimat “kamu terlalu sensitif” terdengar seperti vonis bahwa emosi mereka tidak sah. Ini membuat orang merasa tidak dimengerti dan cenderung menarik diri.
Sebagai gantinya, cobalah mengatakan, “Aku nggak bermaksud bikin kamu merasa begitu, boleh ceritain kenapa kamu ngerasa gitu?” Dengan begitu, Anda membuka ruang dialog, bukan perdebatan.
- “Aku udah tahu kok.”
Meskipun maksudnya mungkin untuk menunjukkan bahwa Anda sudah paham, kalimat ini justru bisa membuat orang lain merasa tidak dihargai.
Menurut psikolog komunikasi, manusia punya kebutuhan alami untuk merasa didengarkan.
Ketika seseorang berbicara dan Anda memotong dengan “aku udah tahu kok”, itu memberi sinyal bahwa pendapatnya tidak penting.
Cobalah menahan diri dan beri ruang pada mereka untuk menyampaikan pandangan hingga selesai.
Anda bisa menanggapi dengan, “Iya, aku sempat dengar juga soal itu, tapi aku pengin tahu pendapatmu.” Cara ini lebih menunjukkan rasa hormat dan memperkuat hubungan sosial.
- “Santai aja, jangan dipikirin.”
Kalimat ini sering diucapkan dengan maksud menenangkan, tapi sering kali justru membuat lawan bicara merasa tidak dipahami.
Dalam psikologi emosional, ini disebut toxic positivity, yaitu bentuk positif yang menolak realitas emosi negatif.
Ketika seseorang sedang kesal, sedih, atau stres, mereka tidak selalu membutuhkan solusi instan.
Mereka hanya butuh didengarkan. Jadi, alih-alih berkata “santai aja”, lebih baik ucapkan, “Aku tahu ini nggak mudah, tapi aku di sini kalau kamu mau cerita.”
Kalimat seperti itu jauh lebih menenangkan karena memberi ruang bagi emosi yang wajar untuk diakui.
- “Kamu tuh harusnya kayak…”
Kalimat ini terdengar seperti nasihat, tapi sebenarnya mengandung perbandingan yang bisa melukai harga diri seseorang.
Misalnya, “Kamu tuh harusnya kayak Rina, rajin banget kerja.” Meskipun niatnya mungkin baik, perbandingan seperti ini menurut psikologi sosial bisa menurunkan rasa percaya diri dan menimbulkan rasa iri atau defensif.
Setiap orang punya ritme dan kapasitasnya sendiri. Daripada membandingkan, lebih baik gunakan pendekatan afirmatif, seperti, “Aku tahu kamu bisa lebih baik, mungkin kita cari cara bareng-bareng supaya lebih semangat.”
Dengan begitu, Anda tidak hanya memberi motivasi, tapi juga dukungan emosional yang membangun.(jpc)
