Tidak semua janji yang dibuat akan sampai pada titik pertemuan, dan tidak semua rencana yang sudah disusun rapi akan benar-benar terlaksana. Ada orang-orang yang, entah karena alasan yang jelas atau terselubung, tiba-tiba membatalkan rencana di menit-menit terakhir.
Bagi yang menunggu, hal ini bisa memicu rasa kecewa, kesal, bahkan merasa tidak dihargai. Namun di balik itu, dunia psikologi mengungkap bahwa kebiasaan membatalkan mendadak sering kali berakar pada sifat, kebiasaan, bahkan kondisi mental tertentu yang mungkin tidak disadari oleh pelakunya sendiri.
Bukan sekadar alasan klasik seperti “capek” atau “mendadak ada urusan”, tetapi ada dinamika batin, bias kognitif, hingga mekanisme pertahanan diri yang bekerja di baliknya.
Dilansir dari Geediting, inilah delapan alasan psikologis yang membuat seseorang sering membatalkan janji.
- Sulit Menindaklanjuti Rencana Karena Kurang Kesadaran
Sebagian orang membuat janji atau rencana dengan semangat di awal, tetapi tidak memikirkan proses tindak lanjutnya. Saat hari H tiba, rasa malas, kelelahan, atau sekadar keengganan bisa mengambil alih.
Hal ini sering terjadi pada mereka yang memiliki kesadaran diri rendah terhadap konsekuensi membatalkan.
Dalam pikirannya, membatalkan mungkin dianggap hal kecil, padahal bagi orang lain itu bisa berdampak besar.
Kesadaran ini penting, karena tanpa kemampuan untuk mempertimbangkan efek dari tindakan, seseorang akan terus mengulangi kebiasaan membatalkan tanpa rasa bersalah.
- Menghindar Karena Takut Dinilai atau Dihakimi
Ada orang yang bukan malas keluar rumah, tapi justru merasa takut dengan interaksi yang akan terjadi. Mereka cemas akan dinilai, dihakimi, atau dibandingkan dengan orang lain.
Perasaan ini sering kali mendorong perilaku menghindar, bahkan setelah rencana dibuat. Saat membatalkan, mereka mungkin merasa lega, tapi di balik itu ada rasa bersalah yang menumpuk.
Kecenderungan ini biasanya dimiliki oleh pribadi yang terlalu memikirkan pendapat orang lain, sehingga sulit merasa nyaman dalam situasi sosial tertentu.
- Cemas Berlebihan Menjelang Acara
Rasa gugup atau cemas sebelum menghadiri suatu acara memang wajar, namun pada sebagian orang, kecemasan ini meningkat drastis hingga terasa seperti beban besar. Detak jantung yang cepat, pikiran negatif, dan bayangan skenario buruk membuat mereka akhirnya memilih membatalkan.
Psikologi menyebut ini sebagai social anxiety, dan sering kali hal ini membuat seseorang merasa tidak sanggup menghadapi suasana yang ramai atau penuh interaksi. Akhirnya, membatalkan rencana menjadi jalan pintas untuk menenangkan diri.
- Terjebak dalam Kebiasaan “Yang Penting Sekarang”
Bias masa kini (present bias) membuat seseorang lebih fokus pada kenyamanan saat ini dibandingkan manfaat jangka panjang. Misalnya, mereka sudah berjanji untuk bertemu, tapi saat waktunya tiba, bersantai di rumah terasa jauh lebih menyenangkan.
Dalam pikiran mereka, “Nanti juga ada kesempatan lain,” padahal kesempatan itu belum tentu datang lagi.Bias ini membuat niat baik di awal kalah oleh godaan kenyamanan sesaat.
- Lelah Berkepanjangan yang Mengubah Skala Prioritas
Kelelahan fisik atau mental sering kali membuat seseorang mengubah rencana secara mendadak. Orang dengan kelelahan kronis, baik karena pekerjaan, stres, atau kurang tidur akan cenderung memprioritaskan istirahat.
Saat kondisi tubuh sudah lemah, berinteraksi dan menghadiri acara terasa seperti beban besar. Hal ini bukan semata-mata alasan, melainkan reaksi tubuh yang memaksa seseorang memilih aktivitas dengan energi terendah.
- Terlalu Banyak Berjanji Karena Ingin Menyenangkan Orang
Orang yang suka menyenangkan orang lain (people pleaser) sering kali membuat terlalu banyak janji demi menghindari penolakan atau kekecewaan orang lain.
Mereka akan mengiyakan ajakan tanpa memikirkan kapasitas diri. Namun saat jadwal menumpuk, rasa panik muncul, dan jalan keluar tercepat adalah membatalkan sebagian rencana.
Ironisnya, tindakan ini justru membuat orang lain kecewa, sesuatu yang sebenarnya mereka ingin hindari sejak awal.
- Rasa Lega dan “Kemenangan Kecil” Saat Membatalkan
Mungkin terdengar aneh, tapi bagi sebagian orang, membatalkan rencana justru memberi rasa lega yang diikuti oleh sedikit euforia. Psikologi menjelaskan hal ini berkaitan dengan dopamin, zat kimia otak yang memicu rasa senang.
Saat tekanan sosial untuk hadir hilang, tubuh merespons dengan rasa bebas yang menyenangkan. Meski sementara, sensasi ini bisa membuat kebiasaan membatalkan menjadi perilaku yang berulang.
- Jadi Kebiasaan yang Terbentuk dari Pengalaman
Jika seseorang terbiasa membatalkan rencana tanpa konsekuensi berarti, otak akan menganggapnya sebagai perilaku yang aman dan normal. Lama-kelamaan, membatalkan tidak lagi terasa seperti pelanggaran komitmen, melainkan pilihan biasa.
Kebiasaan ini bisa terbentuk dari pengalaman masa lalu, lingkungan yang permisif, atau bahkan budaya pertemanan yang tidak menuntut kepastian. Akibatnya, siklus ini terus berulang tanpa disadari.(jpc)