31.2 C
Jakarta
Sunday, June 22, 2025

Sapi Sebesar Gajah

Nyapnyup mendadak populer setelah bocah lima tahun itu sukses membongkar keberadaan kawanan pembegal yang sering beraksi di jalan utama yang menghubungkan Lubuklinggau-Curup.

KISAH berawal ketika Mar­pi­se­lo­pah mem­ba­wa putranya ke kantor polisi dan tak ada yang memercayai mereka hanya karena pe­rem­puan tiga puluh tahun itu menjadikan igauan anaknya tentang keberadaan para pembunuh suaminya itu se­bagai dasar laporan. Ibu-anak itu disuruh pulang.

Yang lebih menyakitkan lagi adalah, polisi mengimbuhi ”pengusiran itu” dengan kata-kata, ”Bujuklah putranya agar mengikhlaskan kepergian ayahnya, Bu. Jangan malah terus Ibu ingatkan dia dengan pembegalan yang ia saksikan itu. Begini jadinya. Kasihan dia sampai terus terbawa tidur.”

Ketua pengajian ibu-ibu mas­jid kompleks itu mau me­ledak. Tapi, ingatannya tentang omongan orang-orang yang bilang percuma lapor polisi! tiba-tiba mengiang dan seka­rang ia menyesal sudah mengabaikan mereka.

Sampai kemudian Suklikulisu dan istrinya memenuhi un­dang­an membaca Yasin di hari ketujuh berpulangnya ayah Nyapnyup –yang tak lain tak bukan adalah imam rutin salat Magrib di masjid kompleks. Melihat kesedihan yang masih bergelayut di wajah tetangga­nya, Nyonya Suk yang juga anggota di pengajiannya pun menawarkan diri menjadi tempat bercerita.

”Papa bisa ke belakang seben­tar?” kata Nyonya Suk, sekeluar dari ruang tengah tempat ibu-ibu berkumpul, beberapa saat setelah yasinan selesai.

”Kalau bukan karena ayahnya Nyapnyup yang jadi korban, aku takkan nelangsa begini, Pak Suk,” Marpiselopah lang­sung mengadu. ”Aku sungguh meragukan kerja polisi yang, hingga hari ketujuh kematian suamiku, tak kunjung memberi tahu kami perkembangan pe­nangkapan kawanan begal itu.”

”Polisi memang nggak bisa diandalkan,” timpal Nyonya Suk.

Suklikulisu melirik istrinya. Ia tak menyangka perempuan yang dikenal kalem itu berani mengatakan itu, meskipun kemudian ingatannya berlabuh pada trauma perempuan itu terhadap aparat berpistol. ”Aku bisa lupa diri kalau mendengar kata polisi, Kak,” katanya tiga belas tahun lalu, beberapa hari sebelum mereka menikah.

”Mamaku depresi setelah adikku tidak lulus pantohir bintara, padahal ia sudah men­jual satu-satunya kebun karet yang jadi andalan kami buat makan sejak ayah meninggal demi menyetor ratusan juta kepada oknum yang katanya berpengaruh dalam lingkaran tes itu,” kata-katanya mengan­dung api dan pisau.

Tentu saja penulis tak perlu meminta gadis itu bercerita lebih jauh sebab berita ke­ma­tian adik dari gadis ber­na­ma Rubilahrubi karena gantung diri mengisi halaman utama koran lokal dan regional hingga lebih dari satu pekan. Meskipun begitu, ia ingat, ke­gagalannya dalam tes bin­tara tak pernah mengemuka sebagai sebab tragedi itu.

”Kalian tentu tahu, bukan, bagaimana keluarga kami? Bagaimana kami hidup? Bagai­mana kami memandang aga­ma sebagai prioritas? Ba­gai­mana Nyap­nyup, Ramadan kemarin, juara membaca surah Annaba meskipun anak lima tahun itu belum bisa membaca?”

”Tidakkah me­mercayai hal-hal di luar norma aga­ma ada­lah …” Suklikulisu ragu.

”Aku mengerti maksud­mu, Suk,” Marpiselopah menyeka matanya yang mulai berair. ”Ta­pi, ini adalah gaib. Percaya pada yang gaib adalah sesuatu yang harus ada dalam diri se­orang muslim yang baik, bukan?”

Masalahnya, batin Sukli­ku­lisu, aku bukan muslim yang baik itu, Mar. Aku hanya orang biasa. Salat karena kewajiban. Ngaji nggak rutin. Dan masih suka berprasangka buruk, boros, dan sesekali congkak ka­lau royalti dari rumah pro­duksi yang memfilmkan novel-novelku cair sehingga kami bisa pelesiran atau … berkurban sapi babon seperti tahun ini.

Baca Juga :  Sajak: Pandemi Ini

”Paling tidak,” Marpiselopah mulai habis akal, ”temanilah kami ke Marilang, desa di Cu­rup yang sering Nyapnyup sebut dalam igauannya.”

Jder! Kawanan begal itu me­mang bermarkas di sudut kebun kopi di utara Marilang. Nyap­nyup, yang kala itu dibon­cengkan ayahnya di atas motor, melihat dengan mata kepala sendiri kekejaman mereka. Anehnya, para pembegal itu membiarkan saja rombongan kecil Suklikulisu memper­ha­tikan mereka dalam jarak de­kat, seakan-akan para pem­begal itu tak menyadari ke­ha­diran mereka.

Beberapa hari kemudian, setelah Suklikulisu meya­kin­kan kepolisian, kawanan itu pun diringkus. Nama Nyap­nyup masyhur. Banyak orang datang meminta petunjuk, nasihat, pengasihan, azimat, ramalan masa depan, dan lain sebagai­nya. Tapi, bocah itu bergeming. Marpiselopah pun berang, bahkan sampai meng­ancam akan memenja­ra­kan para pengunjung kalau masih mengganggu kete­nang­an mereka.

Kini, Nyapnyup sudah se­ko­lah. Kesaktiannya makin diakui. Ia disebut berlidah panas karena dua hari sebelum Pak RT diamankan, ia me­nye­but ketua kompleks itu menggelapkan dana bansos; penglihatannya juga dianggap melampaui masanya ketika seminggu sebelum Gunung Lijaulijui meletus ia menya­rank­an para penduduk yang ting­gal di lereng untuk meng­ungsi; dan masih banyak lagi.

Tapi, apa yang Nyapnyup tunjukkan di masjid pagi ini sungguh mengganggu Sukli­ku­lisu. Anak laki-laki tujuh tahun itu tertawa sepanjang salat. Memang mulanya laki-laki em­pat puluh tahun itu meng­anggap, sebagaimana yang bergeliat dalam kepala jemaah lain, sikap anak ajaib itu karena Suklikulisu salat hari raya tanpa sujud, rukuk, dan duduk tahiyat, se­be­lum kemudian ia berubah pikiran.

Karena malu keluar ru­mah sepulang salat, Suklikulisu meminta istrinya memanggil Nyapnyup ke rumah. Pe­ra­sa­an­nya, ejekan orang-orang kom­pleks tentang salat dua rakaatnya yang menyerupai salat Jenazah tadi belum akan reda (atau jangan-jangan se­dang jadi-jadinya!).

Ia tak mau jadi bulan-bulanan pe­run­dungan mereka yang me­man­faatkan kealpaannya. ”Beri Papa waktu, Ma.” Hanya itu yang bisa ia katakan ketika istrinya meminta penjelasan tentang keanehan yang terjadi di masjid tadi.

”Kan aku hanya minta Nyap­nyup yang datang?” bisik Su­klikulisu pada istrinya ketika Marpiselopah mengucap salam.

”Nyapnyup itu masih anak-anak, Pa. Wajar kalau di­dam­pingi ibunya,” istrinya meng­he­la napas. ”Jangan bilang kalau Papa juga ingin mengusir Mama dari pertemuan Papa sama anak ajaib itu!”

Karena sudah ada Marpi­selopah, melarang sang istri mendengarkan percakapan­nya dengan Nyapnyup adalah tindakan tak berguna.

”Cepatlah, Pa,” desak istrinya. ”Jangan aneh! Papa sudah cukup aneh hari ini.”

”Hari ini?” kata Suklikulisu refleks. Nada suaranya lemah. Lebih mirip gumaman.

”Sejak Papa sering cerita sudah bayar uang kurban,” putra sulung mereka, yang masih duduk di kelas 5 SD, bersuara.

”Sejak Papa sering dipuji orang-orang kompleks karena berkurban sapi,” anak kedua menambahkan.

”Sejak kami tahu sapi itu sebesar gajah,” si bungsu yang masih berusia 8 tahun tak mau kalah.

***

”Kata Nyapnyup, Pak Suk yang sepanjang salat tadi ha­nya berdiri saja itu bukanlah penyebab ia tertawa,” Mar­pi­se­lopah buka suara ketika Su­klikulisu tampak kesulit­an mengutarakan maksud.

Baca Juga :  Perahu Cinta, Martabat, dan Hidup yang Tidak Hitam Putih

Penulis yang sudah mener­bit­kan 31 buku itu sebenarnya tak sabar ingin mengetahui pemantik tawa tanpa henti bo­cah itu, tapi kerongkong­annya mendadak tandus.

”Om Suk percaya sama Nyap, kan?” Nyapnyup mengon­fir­masi ragu-ragu.

”Om Suk-lah yang mem­ba­wa­mu ke Marilang waktu itu, kan, Nyap?” istrinya me­mu­tuskan jadi juru bicara. ”Jelas dialah orang pertama yang per­caya pada karamahmu sebagai anak yang saleh, Nyap,” ia kemudian melirik ke Su­klikulisu yang sudah ber­mandi keringat.

”Kami sebenarnya me­nung­gu Pak Suk di halaman masjid karena kata Nyapnyup ia baru akan minta maaf sama Om Suk kalau sudah me­nga­takan sesuatu,” kata Mar­pi­selopah. ”Tapi, ternyata Pak Suk juga nggak datang pas sapi ba­bonnya disembelih. Jadi, pas Nyonya Suk meng­undang kami ke sini, yaaa pas lah itu.”

Nyonya Suk menoleh ke sua­minya yang masih bergeming.

”Anehnya, kata Nyap, ia per­nah melihat sapi kurbannya Pak Suk sebelum dibawa ke halaman masjid tadi.”

Suklikulisu mendongak.

”Om Suk?” Nyapnyup men­cari-cari mata Suklikulisu yang serta-merta menunduk. ”Sejak kapan Om …”

Semua menunggu. Su­kli­kulisu menelan ludah ber­kali-kali.

”… melatih kepala Om untuk memikul hewan?”

Mata Suklikulisu membesar. Tak sepatah kata kuasa ia cuatkan.

”Kenapa nanya itu, Nyap?” Nyonya Suk tak sabaran.

”Sejak keluar dari rumah, Nyap sudah heran lihat Om Suk. Kenapa kepala Om Suk kuat sekali memikul sapi sebesar gajah. Om Suk …”

Semua masih menunggu.

”… terus memikul sapi sebesar gajah itu sampai masjid. Pas salaman sama Mang Dayat. Pas ngobrol sama Pak Jum­ji­munjimun sambil duduk. Pas salat apalagi. Nyap tidak heran kenapa Om Suk nggak rukuk, nggak sujud,atau nggak tahiyat. Karena … kalau Om Suk banyak gerak, sapi sebesar gajah itu akan jatuh. Seisi masjid pasti heboh.”

Terdengar suara tawa dari ruang tengah. ”Nyapnyup nga­­rang!” Rupanya sedari tadi mereka nguping. Berbeda dengan Marpiselopah dan Nyo­nya Suk, mereka bersitatap se­akan-akan sedang mengha­dapi masalah yang serius.

”Maaf, Om, sebenarnya aku nunggu-nunggu lho itu sapi sebesar gajahnya jatuh,” lalu Nyapnyup tertawa keras hingga membuat Suklikulisu memandangnya. Tiga anak laki-laki berlarian ke ruang tamu, sebelum Nyonya Suk sigap meminta mereka men­jauh. ”Kan seru kalau sapi sebesar gajah itu ngacauin sa­lat pas lebaranan,” rupanya Nyapnyup belum selesai.

Semua hening. Masih hening. Terus hening. Hingga Mar­pi­selopah mengajak anaknya berpamitan, Nyonya Suk ma­sih menunggu konfirmasi sua­minya tentang apa yang sebe­nar­nya terjadi. Sementara Suklikulisu mulai mengkhayal terlalu tinggi: kalau ada pilihan kembali ke masa lalu, ia ingin membatalkan tindakannya berkurban sapi setengah ton.

”Sepanjang sejarah kurban di kompleks kita, sapinya Pak Suk adalah yang terbesar!” Pujian ketua panitia kurban itu memang kuasa melam­bung­kannya ke awan-ge­ma­wan kebanggaan, tapi tak ber­langsung lama.

Pagi ini: awan itu menjadi air hujan sehingga ia terjun bebas ke bumi, angslup di genangan lumpur yang kuasa mengisap segala. Tak terkecuali kesombong­an, tak terkecuali kesemuan. (*)

Nyapnyup mendadak populer setelah bocah lima tahun itu sukses membongkar keberadaan kawanan pembegal yang sering beraksi di jalan utama yang menghubungkan Lubuklinggau-Curup.

KISAH berawal ketika Mar­pi­se­lo­pah mem­ba­wa putranya ke kantor polisi dan tak ada yang memercayai mereka hanya karena pe­rem­puan tiga puluh tahun itu menjadikan igauan anaknya tentang keberadaan para pembunuh suaminya itu se­bagai dasar laporan. Ibu-anak itu disuruh pulang.

Yang lebih menyakitkan lagi adalah, polisi mengimbuhi ”pengusiran itu” dengan kata-kata, ”Bujuklah putranya agar mengikhlaskan kepergian ayahnya, Bu. Jangan malah terus Ibu ingatkan dia dengan pembegalan yang ia saksikan itu. Begini jadinya. Kasihan dia sampai terus terbawa tidur.”

Ketua pengajian ibu-ibu mas­jid kompleks itu mau me­ledak. Tapi, ingatannya tentang omongan orang-orang yang bilang percuma lapor polisi! tiba-tiba mengiang dan seka­rang ia menyesal sudah mengabaikan mereka.

Sampai kemudian Suklikulisu dan istrinya memenuhi un­dang­an membaca Yasin di hari ketujuh berpulangnya ayah Nyapnyup –yang tak lain tak bukan adalah imam rutin salat Magrib di masjid kompleks. Melihat kesedihan yang masih bergelayut di wajah tetangga­nya, Nyonya Suk yang juga anggota di pengajiannya pun menawarkan diri menjadi tempat bercerita.

”Papa bisa ke belakang seben­tar?” kata Nyonya Suk, sekeluar dari ruang tengah tempat ibu-ibu berkumpul, beberapa saat setelah yasinan selesai.

”Kalau bukan karena ayahnya Nyapnyup yang jadi korban, aku takkan nelangsa begini, Pak Suk,” Marpiselopah lang­sung mengadu. ”Aku sungguh meragukan kerja polisi yang, hingga hari ketujuh kematian suamiku, tak kunjung memberi tahu kami perkembangan pe­nangkapan kawanan begal itu.”

”Polisi memang nggak bisa diandalkan,” timpal Nyonya Suk.

Suklikulisu melirik istrinya. Ia tak menyangka perempuan yang dikenal kalem itu berani mengatakan itu, meskipun kemudian ingatannya berlabuh pada trauma perempuan itu terhadap aparat berpistol. ”Aku bisa lupa diri kalau mendengar kata polisi, Kak,” katanya tiga belas tahun lalu, beberapa hari sebelum mereka menikah.

”Mamaku depresi setelah adikku tidak lulus pantohir bintara, padahal ia sudah men­jual satu-satunya kebun karet yang jadi andalan kami buat makan sejak ayah meninggal demi menyetor ratusan juta kepada oknum yang katanya berpengaruh dalam lingkaran tes itu,” kata-katanya mengan­dung api dan pisau.

Tentu saja penulis tak perlu meminta gadis itu bercerita lebih jauh sebab berita ke­ma­tian adik dari gadis ber­na­ma Rubilahrubi karena gantung diri mengisi halaman utama koran lokal dan regional hingga lebih dari satu pekan. Meskipun begitu, ia ingat, ke­gagalannya dalam tes bin­tara tak pernah mengemuka sebagai sebab tragedi itu.

”Kalian tentu tahu, bukan, bagaimana keluarga kami? Bagaimana kami hidup? Bagai­mana kami memandang aga­ma sebagai prioritas? Ba­gai­mana Nyap­nyup, Ramadan kemarin, juara membaca surah Annaba meskipun anak lima tahun itu belum bisa membaca?”

”Tidakkah me­mercayai hal-hal di luar norma aga­ma ada­lah …” Suklikulisu ragu.

”Aku mengerti maksud­mu, Suk,” Marpiselopah menyeka matanya yang mulai berair. ”Ta­pi, ini adalah gaib. Percaya pada yang gaib adalah sesuatu yang harus ada dalam diri se­orang muslim yang baik, bukan?”

Masalahnya, batin Sukli­ku­lisu, aku bukan muslim yang baik itu, Mar. Aku hanya orang biasa. Salat karena kewajiban. Ngaji nggak rutin. Dan masih suka berprasangka buruk, boros, dan sesekali congkak ka­lau royalti dari rumah pro­duksi yang memfilmkan novel-novelku cair sehingga kami bisa pelesiran atau … berkurban sapi babon seperti tahun ini.

Baca Juga :  Sajak: Pandemi Ini

”Paling tidak,” Marpiselopah mulai habis akal, ”temanilah kami ke Marilang, desa di Cu­rup yang sering Nyapnyup sebut dalam igauannya.”

Jder! Kawanan begal itu me­mang bermarkas di sudut kebun kopi di utara Marilang. Nyap­nyup, yang kala itu dibon­cengkan ayahnya di atas motor, melihat dengan mata kepala sendiri kekejaman mereka. Anehnya, para pembegal itu membiarkan saja rombongan kecil Suklikulisu memper­ha­tikan mereka dalam jarak de­kat, seakan-akan para pem­begal itu tak menyadari ke­ha­diran mereka.

Beberapa hari kemudian, setelah Suklikulisu meya­kin­kan kepolisian, kawanan itu pun diringkus. Nama Nyap­nyup masyhur. Banyak orang datang meminta petunjuk, nasihat, pengasihan, azimat, ramalan masa depan, dan lain sebagai­nya. Tapi, bocah itu bergeming. Marpiselopah pun berang, bahkan sampai meng­ancam akan memenja­ra­kan para pengunjung kalau masih mengganggu kete­nang­an mereka.

Kini, Nyapnyup sudah se­ko­lah. Kesaktiannya makin diakui. Ia disebut berlidah panas karena dua hari sebelum Pak RT diamankan, ia me­nye­but ketua kompleks itu menggelapkan dana bansos; penglihatannya juga dianggap melampaui masanya ketika seminggu sebelum Gunung Lijaulijui meletus ia menya­rank­an para penduduk yang ting­gal di lereng untuk meng­ungsi; dan masih banyak lagi.

Tapi, apa yang Nyapnyup tunjukkan di masjid pagi ini sungguh mengganggu Sukli­ku­lisu. Anak laki-laki tujuh tahun itu tertawa sepanjang salat. Memang mulanya laki-laki em­pat puluh tahun itu meng­anggap, sebagaimana yang bergeliat dalam kepala jemaah lain, sikap anak ajaib itu karena Suklikulisu salat hari raya tanpa sujud, rukuk, dan duduk tahiyat, se­be­lum kemudian ia berubah pikiran.

Karena malu keluar ru­mah sepulang salat, Suklikulisu meminta istrinya memanggil Nyapnyup ke rumah. Pe­ra­sa­an­nya, ejekan orang-orang kom­pleks tentang salat dua rakaatnya yang menyerupai salat Jenazah tadi belum akan reda (atau jangan-jangan se­dang jadi-jadinya!).

Ia tak mau jadi bulan-bulanan pe­run­dungan mereka yang me­man­faatkan kealpaannya. ”Beri Papa waktu, Ma.” Hanya itu yang bisa ia katakan ketika istrinya meminta penjelasan tentang keanehan yang terjadi di masjid tadi.

”Kan aku hanya minta Nyap­nyup yang datang?” bisik Su­klikulisu pada istrinya ketika Marpiselopah mengucap salam.

”Nyapnyup itu masih anak-anak, Pa. Wajar kalau di­dam­pingi ibunya,” istrinya meng­he­la napas. ”Jangan bilang kalau Papa juga ingin mengusir Mama dari pertemuan Papa sama anak ajaib itu!”

Karena sudah ada Marpi­selopah, melarang sang istri mendengarkan percakapan­nya dengan Nyapnyup adalah tindakan tak berguna.

”Cepatlah, Pa,” desak istrinya. ”Jangan aneh! Papa sudah cukup aneh hari ini.”

”Hari ini?” kata Suklikulisu refleks. Nada suaranya lemah. Lebih mirip gumaman.

”Sejak Papa sering cerita sudah bayar uang kurban,” putra sulung mereka, yang masih duduk di kelas 5 SD, bersuara.

”Sejak Papa sering dipuji orang-orang kompleks karena berkurban sapi,” anak kedua menambahkan.

”Sejak kami tahu sapi itu sebesar gajah,” si bungsu yang masih berusia 8 tahun tak mau kalah.

***

”Kata Nyapnyup, Pak Suk yang sepanjang salat tadi ha­nya berdiri saja itu bukanlah penyebab ia tertawa,” Mar­pi­se­lopah buka suara ketika Su­klikulisu tampak kesulit­an mengutarakan maksud.

Baca Juga :  Perahu Cinta, Martabat, dan Hidup yang Tidak Hitam Putih

Penulis yang sudah mener­bit­kan 31 buku itu sebenarnya tak sabar ingin mengetahui pemantik tawa tanpa henti bo­cah itu, tapi kerongkong­annya mendadak tandus.

”Om Suk percaya sama Nyap, kan?” Nyapnyup mengon­fir­masi ragu-ragu.

”Om Suk-lah yang mem­ba­wa­mu ke Marilang waktu itu, kan, Nyap?” istrinya me­mu­tuskan jadi juru bicara. ”Jelas dialah orang pertama yang per­caya pada karamahmu sebagai anak yang saleh, Nyap,” ia kemudian melirik ke Su­klikulisu yang sudah ber­mandi keringat.

”Kami sebenarnya me­nung­gu Pak Suk di halaman masjid karena kata Nyapnyup ia baru akan minta maaf sama Om Suk kalau sudah me­nga­takan sesuatu,” kata Mar­pi­selopah. ”Tapi, ternyata Pak Suk juga nggak datang pas sapi ba­bonnya disembelih. Jadi, pas Nyonya Suk meng­undang kami ke sini, yaaa pas lah itu.”

Nyonya Suk menoleh ke sua­minya yang masih bergeming.

”Anehnya, kata Nyap, ia per­nah melihat sapi kurbannya Pak Suk sebelum dibawa ke halaman masjid tadi.”

Suklikulisu mendongak.

”Om Suk?” Nyapnyup men­cari-cari mata Suklikulisu yang serta-merta menunduk. ”Sejak kapan Om …”

Semua menunggu. Su­kli­kulisu menelan ludah ber­kali-kali.

”… melatih kepala Om untuk memikul hewan?”

Mata Suklikulisu membesar. Tak sepatah kata kuasa ia cuatkan.

”Kenapa nanya itu, Nyap?” Nyonya Suk tak sabaran.

”Sejak keluar dari rumah, Nyap sudah heran lihat Om Suk. Kenapa kepala Om Suk kuat sekali memikul sapi sebesar gajah. Om Suk …”

Semua masih menunggu.

”… terus memikul sapi sebesar gajah itu sampai masjid. Pas salaman sama Mang Dayat. Pas ngobrol sama Pak Jum­ji­munjimun sambil duduk. Pas salat apalagi. Nyap tidak heran kenapa Om Suk nggak rukuk, nggak sujud,atau nggak tahiyat. Karena … kalau Om Suk banyak gerak, sapi sebesar gajah itu akan jatuh. Seisi masjid pasti heboh.”

Terdengar suara tawa dari ruang tengah. ”Nyapnyup nga­­rang!” Rupanya sedari tadi mereka nguping. Berbeda dengan Marpiselopah dan Nyo­nya Suk, mereka bersitatap se­akan-akan sedang mengha­dapi masalah yang serius.

”Maaf, Om, sebenarnya aku nunggu-nunggu lho itu sapi sebesar gajahnya jatuh,” lalu Nyapnyup tertawa keras hingga membuat Suklikulisu memandangnya. Tiga anak laki-laki berlarian ke ruang tamu, sebelum Nyonya Suk sigap meminta mereka men­jauh. ”Kan seru kalau sapi sebesar gajah itu ngacauin sa­lat pas lebaranan,” rupanya Nyapnyup belum selesai.

Semua hening. Masih hening. Terus hening. Hingga Mar­pi­selopah mengajak anaknya berpamitan, Nyonya Suk ma­sih menunggu konfirmasi sua­minya tentang apa yang sebe­nar­nya terjadi. Sementara Suklikulisu mulai mengkhayal terlalu tinggi: kalau ada pilihan kembali ke masa lalu, ia ingin membatalkan tindakannya berkurban sapi setengah ton.

”Sepanjang sejarah kurban di kompleks kita, sapinya Pak Suk adalah yang terbesar!” Pujian ketua panitia kurban itu memang kuasa melam­bung­kannya ke awan-ge­ma­wan kebanggaan, tapi tak ber­langsung lama.

Pagi ini: awan itu menjadi air hujan sehingga ia terjun bebas ke bumi, angslup di genangan lumpur yang kuasa mengisap segala. Tak terkecuali kesombong­an, tak terkecuali kesemuan. (*)

Terpopuler

Artikel Terbaru

/