25 C
Jakarta
Tuesday, June 17, 2025

Penasihat Hukum Sebut Oknum TNI AL Pembunuh Jurnalis di Kalsel Dihukum Mati

PROKALTENG.CO-Penasihat hukum keluarga jurnalis asal Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Juwita, 23, korban yang dibunuh oknum TNI AL Kelasi Satu Jumran, mengatakan seharusnya hakim memvonis terdakwa dengan pidana maksimal. Yakni berupa hukuman mati, di atas hukuman yang dituntut oditurat militer.

”Berdasar fakta persidangan, seharusnya hukuman mati, namun ternyata penjara seumur hidup. Padahal hakim bisa menggunakan ultra petita, hakim boleh putus di atas tuntutan, itu banyak diterapkan hakim dalam berbagai kasus,” kata Penasihat Hukum Keluarga Korban Muhamad Pazri seperti dilansir dari Antara di Banjarbaru.

Pazri menilai putusan ini kurang memberikan rasa keadilan bagi keluarga korban. Padahal terdakwa secara sah dan meyakinkan dijerat pasal 340 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pembunuhan berencana yang memberikan opsi pidana mati.

”Karena terdakwa adalah aparat negara, hukuman mati bisa menjadi efek jera agar aparat tidak semena-mena kepada sipil,” ucap Muhamad Pazri.

Selain itu, Pazri menyoroti biaya ganti rugi (restitusi) Rp 287 juta yang diajukan keluarga korban, tidak dikabulkan. Sebab, hakim mempertimbangkan kondisi ekonomi serta alasan lainnya.

Baca Juga :  Sambut Tujuhbelasan, Polisi Bagikan Bendera Gratis

Padahal, kata dia, biaya ganti rugi itu telah mendapatkan rekomendasi dari LPSK dan Komnas HAM. Namun rekomendasi tersebut tidak dipertimbangkan hakim dalam amar putusan.

Pazri mengatakan, seharusnya hakim mengabulkan restitusi tersebut. Pertimbangan hakim karena terdakwa tidak mampu dinilai tidak mendasar, karena ada pihak yang bertanggung jawab sebagai ahli waris terdakwa.

”Jika terdakwa tidak dapat membayar restitusi karena tidak mampu atau meninggal dunia, ahli waris dapat menggantikan posisi terdakwa dalam memenuhi kewajiban membayar restitusi untuk keadilan bagi keluarga korban,” tutur Muhamad Pazri.

Dalam putusan hakim tersebut, Pazri menegaskan bahwa keluarga korban merasa bahwa putusan belum memberikan keadilan.

Sebelumnya, majelis hakim menolak seluruh biaya restitusi dengan alasan bahwa terdakwa telah dijatuhi pidana penjara seumur hidup.

”Berdasar pasal 67 KUHP, seseorang yang dijatuhi pidana mati atau penjara seumur hidup, maka tidak boleh dijatuhi pidana lain selain pencabutan hak-hak tertentu dan atau pengumuman putusan hakim. Sehingga biaya restitusi tidak boleh dibebankan kepada terdakwa,” kata Ketua Majelis Hakim Letkol CHK Arie Fitriansyah saat membacakan amar putusan kasus pembunuhan jurnalis di Ruang Sidang Antasari, Dilmil I-06 Banjarmasin di Banjarbaru, Senin.

Baca Juga :  Mural Sindiran di Kalsel Dihapus Satpol PP

Dalam vonis pidana penjara seumur hidup tersebut, terdakwa memutuskan untuk berpikir-pikir terlebih dahulu, hakim memberikan waktu selama tujuh hari terhitung mulai pada Selasa (17/6). Apabila tidak ada konfirmasi maka terdakwa dianggap menerima amar putusan tersebut.

Peristiwa pembunuhan jurnalis Juwita itu terjadi di Jalan Trans-Gunung Kupang, Kelurahan Cempaka, Kecamatan Cempaka, Kota Banjarbaru, pada 22 Maret 2025. Jasad korban ditemukan warga tergeletak di tepi jalan sekitar pukul 15.00 WITA bersama motor miliknya yang kemudian muncul dugaan menjadi korban kecelakaan tunggal.

Korban bekerja sebagai jurnalis media dalam jaringan (daring) lokal di Banjarbaru dan telah mengantongi uji kompetensi wartawan (UKW) dengan kualifikasi wartawan muda.

Warga yang menemukan pertama kali justru tidak melihat tanda-tanda korban mengalami kecelakaan lalu lintas. Di bagian leher korban terdapat sejumlah luka lebam, dan kerabat korban juga menyebut ponsel milik Juwita tidak ditemukan di lokasi. (jpg)

PROKALTENG.CO-Penasihat hukum keluarga jurnalis asal Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Juwita, 23, korban yang dibunuh oknum TNI AL Kelasi Satu Jumran, mengatakan seharusnya hakim memvonis terdakwa dengan pidana maksimal. Yakni berupa hukuman mati, di atas hukuman yang dituntut oditurat militer.

”Berdasar fakta persidangan, seharusnya hukuman mati, namun ternyata penjara seumur hidup. Padahal hakim bisa menggunakan ultra petita, hakim boleh putus di atas tuntutan, itu banyak diterapkan hakim dalam berbagai kasus,” kata Penasihat Hukum Keluarga Korban Muhamad Pazri seperti dilansir dari Antara di Banjarbaru.

Pazri menilai putusan ini kurang memberikan rasa keadilan bagi keluarga korban. Padahal terdakwa secara sah dan meyakinkan dijerat pasal 340 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pembunuhan berencana yang memberikan opsi pidana mati.

”Karena terdakwa adalah aparat negara, hukuman mati bisa menjadi efek jera agar aparat tidak semena-mena kepada sipil,” ucap Muhamad Pazri.

Selain itu, Pazri menyoroti biaya ganti rugi (restitusi) Rp 287 juta yang diajukan keluarga korban, tidak dikabulkan. Sebab, hakim mempertimbangkan kondisi ekonomi serta alasan lainnya.

Baca Juga :  Sambut Tujuhbelasan, Polisi Bagikan Bendera Gratis

Padahal, kata dia, biaya ganti rugi itu telah mendapatkan rekomendasi dari LPSK dan Komnas HAM. Namun rekomendasi tersebut tidak dipertimbangkan hakim dalam amar putusan.

Pazri mengatakan, seharusnya hakim mengabulkan restitusi tersebut. Pertimbangan hakim karena terdakwa tidak mampu dinilai tidak mendasar, karena ada pihak yang bertanggung jawab sebagai ahli waris terdakwa.

”Jika terdakwa tidak dapat membayar restitusi karena tidak mampu atau meninggal dunia, ahli waris dapat menggantikan posisi terdakwa dalam memenuhi kewajiban membayar restitusi untuk keadilan bagi keluarga korban,” tutur Muhamad Pazri.

Dalam putusan hakim tersebut, Pazri menegaskan bahwa keluarga korban merasa bahwa putusan belum memberikan keadilan.

Sebelumnya, majelis hakim menolak seluruh biaya restitusi dengan alasan bahwa terdakwa telah dijatuhi pidana penjara seumur hidup.

”Berdasar pasal 67 KUHP, seseorang yang dijatuhi pidana mati atau penjara seumur hidup, maka tidak boleh dijatuhi pidana lain selain pencabutan hak-hak tertentu dan atau pengumuman putusan hakim. Sehingga biaya restitusi tidak boleh dibebankan kepada terdakwa,” kata Ketua Majelis Hakim Letkol CHK Arie Fitriansyah saat membacakan amar putusan kasus pembunuhan jurnalis di Ruang Sidang Antasari, Dilmil I-06 Banjarmasin di Banjarbaru, Senin.

Baca Juga :  Mural Sindiran di Kalsel Dihapus Satpol PP

Dalam vonis pidana penjara seumur hidup tersebut, terdakwa memutuskan untuk berpikir-pikir terlebih dahulu, hakim memberikan waktu selama tujuh hari terhitung mulai pada Selasa (17/6). Apabila tidak ada konfirmasi maka terdakwa dianggap menerima amar putusan tersebut.

Peristiwa pembunuhan jurnalis Juwita itu terjadi di Jalan Trans-Gunung Kupang, Kelurahan Cempaka, Kecamatan Cempaka, Kota Banjarbaru, pada 22 Maret 2025. Jasad korban ditemukan warga tergeletak di tepi jalan sekitar pukul 15.00 WITA bersama motor miliknya yang kemudian muncul dugaan menjadi korban kecelakaan tunggal.

Korban bekerja sebagai jurnalis media dalam jaringan (daring) lokal di Banjarbaru dan telah mengantongi uji kompetensi wartawan (UKW) dengan kualifikasi wartawan muda.

Warga yang menemukan pertama kali justru tidak melihat tanda-tanda korban mengalami kecelakaan lalu lintas. Di bagian leher korban terdapat sejumlah luka lebam, dan kerabat korban juga menyebut ponsel milik Juwita tidak ditemukan di lokasi. (jpg)

Terpopuler

Artikel Terbaru