PALANGKA RAYA, PROKALTENG.CO – Terdakwa kasus pembunuhan sopir ekspedisi, M. Haryono, mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Palangka Raya. Langkah ini diambil setelah majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Palangka Raya menjatuhkan vonis 8 tahun penjara terhadap dirinya.
Kuasa hukum Haryono, Parlin B Hutabarat, menyampaikan sejumlah keberatan yang menjadi dasar permohonan banding tersebut. Hal tersebut disampaikan dalam konferensi pers yang digelar di Kantor Kuasa Hukum Parlin B Hutabarat, Jalan Kalibata, Menteng, Kecamatan Jekan Raya, Kota Palangka Raya, Selasa (27/5/2025).
Parlin mengungkapkan bahwa vonis 8 tahun itu dinilai tidak mencerminkan penghargaan terhadap status kliennya sebagai Justice Collaborator (JC). Menurutnya, vonis tersebut terlalu berat bagi seseorang yang sudah bekerja sama dalam pengungkapan kasus.
Parlin juga menyoroti penerapan Pasal 365 KUHP dalam putusan majelis hakim, yang menilai Haryono turut serta dalam persekongkolan melakukan kejahatan. Ia menilai bahwa tidak ada pertimbangan psikologis terhadap situasi yang dialami Haryono saat kejadian berlangsung, yang seharusnya menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan vonis.
“Dalam situasi di mana hanya ada dua orang di dalam mobil dan salah satunya memegang senjata api, tentu posisi Haryono sangat tertekan dan tidak punya pilihan lain selain menurut, kondisi mental kliennya saat itu tidak mendapat perhatian dalam pertimbangan putusan,” kata Parlin kepada awak media, Selasa (27/5).
Lebih lanjut, kuasa hukum menjelaskan bahwa terdapat hasil asesmen dari ahli psikologi, yang menyebut Haryono mengalami syok dan ketakutan setelah penembakan terjadi.
Bahkan, ia mengalami kondisi yang disebut sebagai safety need. Yakni kebutuhan mendesak akan rasa aman. Namun sayangnya, hasil asesmen ini tidak dijadikan bahan pertimbangan oleh majelis hakim.
Parlin juga menyebutkan. Bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan Haryono merencanakan pembunuhan bersama terdakwa lain, Anton melakukan penembakan terjadi secara spontan oleh Anton tanpa ada instruksi atau diskusi sebelumnya dengan Haryono. Hal ini juga diperkuat dengan keterangan dari Anton sendiri di persidangan.
Salah satu poin lain yang disorot adalah tafsir hakim terkait pernyataan “kami dari polda” yang disebut Haryono kepada korban. Hakim menilai pernyataan itu sebagai bentuk ancaman kekerasan. Namun menurut Parlin, hal tersebut tidak relevan dan tidak berkontribusi langsung terhadap kematian korban.
“Fakta di persidangan menunjukkan bahwa Haryono tidak berbicara apa pun ketika korban masuk ke dalam mobil. Justru Anton yang melakukan komunikasi dan langsung menembak korban tanpa ada arahan dari klien kami,” tegas Parlin.
Saat ini, tim kuasa hukum tengah menyiapkan memori banding yang akan diajukan ke Pengadilan Tinggi. Parlin menegaskan bahwa pihaknya ingin agar putusan di tingkat banding benar-benar mempertimbangkan seluruh aspek secara menyeluruh, tidak hanya berdasarkan pasal-pasal hukum secara tekstual.
“Kami berharap proses banding ini tidak dilakukan secara parsial. Fakta-fakta di ruang sidang, kondisi psikologis Haryono, dan statusnya sebagai JC harus menjadi bagian dari pertimbangan utama,” ujarnya.
Parlin juga memastikan bahwa tim kuasa hukum akan terus mendampingi Haryono selama proses banding berlangsung. Mereka bahkan akan mendorong agar pembacaan putusan banding nantinya dapat disaksikan secara langsung oleh publik, mengingat kasus ini mendapat perhatian luas dari masyarakat.
Dengan mengajukan banding, Haryono dan tim kuasa hukum berharap ada koreksi terhadap putusan sebelumnya. Mereka ingin keadilan ditegakkan bukan hanya dari sisi hukum, tetapi juga dari sisi kemanusiaan dan psikologis yang menyertai peristiwa tragis tersebut. (ndo)