KIRUN ditanya oleh istri: punya uang berapa?
โPunya Rp 500.000,โ katanya.
Lalu ia merogoh kantong kanan. Ia berikan ke istri.
โItu kantong kiri juga kelihatan tebal. Apa isinya?โ
โIni juga uang. Rp 500.000,โ jawabnya.
โKenapa tidak dijadikan satu saja dan bilang punya uang Rp 1 juta?โ
โTidak bisa begitu,โ kata Kirun. โYang kanan ini uang Pertamax. Yang kiri ini uang Pertalite. Kalau dijadikan satu namanya uang oplosanโ.
Saya ke rumah Kirun Rabu lalu. Mudah. Tidak jauh dari mulut tol Madiun. Tinggal belok kanan sekitar 1 km. Berdekatan dengan rumah Jenderal Yudo Margono, mantan Panglima TNI yang kini menjabat komut PT Hutama Karya.
Dua-duanya seniman. Kirun seniman plus pelawak. Yudo seniman plus tentara. Yang pandai melucu malah istrinya, komisaris besar dari kepolisian: Bu Vero Veronica Yulis Prihayati).
Di usianya yang 65 tahun Kirun tergolong seniman yang tetap laris. Hampir tidak ada hari lowong untuk tanggapan โnaik panggung. Kirun memang mirip Soimah โserba bisa. Bisa wayang orang, wayang kulit, ludruk, ketoprak, sinden, dan belakangan sering pula diminta memberikan ceramah agama.
โBanyak mana tanggapan untuk melawak atau ceramah agama?โ
โSaya tetap pelawak,โ jawabnya.
โKan sering juga ceramah agamaโ.
โItu salahnya yang mengundangโ.
Saya tidak memberi tahu kalau akan mampir ke rumahnya. Selama ini saya hanya merasa tidak reciprocal โmeminjam istilah tarif impornya Donald Trump. Kirun sudah beberapa kali ke rumah saya. Saya harus melakukan tit for tat.
Kalau pun pagi itu Kirun tidak ada di rumah juga tidak apa-apa. Tujuan utamanya kan silaturahmi. Tujuan lainnya hanya sampingan: membicarakan skenario ketoprak-tokoh untuk ulang tahun Harian Disway Surabaya yang akan datang.
Rumah Kirun di pinggir jalan raya jurusan alternatif Balerejo-Ngawi. Tidak perlu salah masuk. Banyak karangan bunga di halamannya: Selamat HUT ke-41 Padepokan Seni Kirun (Padski). Salah satu pengirimnya tetangganya sendiri: Jenderal Yudo Margono.
Pak Yudo, kalau lagi pulang kampung, sering naik sepeda motor ke rumah Kirun. Ngobrol soal kesenian Jawa. Waktu menjabat Panglima TNI Yudo begitu sering menanggap wayang kulit. Mungkin Yudo adalah juara penyelenggara pertunjukan wayang kulit โsekaligus juara menontonnya sampai pagi.
โItu. Pak Kirun ada,โ ujar Tomy Gutomo, dirut Harian Disway yang bersama saya.
Ia lagi rebahan di kursi panjang kayu jati: tidak melihat kami datang. Mobil listrik memang tanpa suara. Kami pun mendekat ke kursinya. Lhadalahโฆ. Kirun kaget.
Kami ngobrol di situ. Di ruang terbuka antara rumahnya dan tobongnya. Rumah itu besar sekali. Bagian depannya sebuah joglo Jawa yang besar. Joglo bintang empat. Terasa seperti joglo mewah. Dengan perabotan yang juga berkelas. Kelihatannya sering ada acara besar di joglo itu, termasuk kawinan.
Di belakang joglo itu ada kamar-kamar bernomor. Lalu ada tangga naik โke kamar-kamar di atas.
Di sebelah lain ruang duduk terbuka itu ada kamar-kamar lain yang juga bernomor. Di belakang kamar-kamar itulah tobongnya: panggung permanen untuk pertunjukan ketoprak. Sangat terawat, pertanda sering ada pertunjukan atau latihan di situ. Lukisan di panggung itu selalu diperbarui. Sangat terjaga. Mengalahkan panggung Sriwedari Solo sekali pun.
Kirun hidup dari kesenian dan ia menghidup-hidupkan kesenian.
Di dinding-dinding tobong itu banyak gambar lukisan Gus Dur ukuran besar-besar. Itulah tokoh idola Kirun: Gus Dur. Ia merasa cocok dengan jalan pikiran Gus Dur dalam memandang agama dan budaya.
โAgomo. Budoyo. Negoroโ.
Tulisan itu ada di beberapa bagian di kompleks padepokan seni Kirun. Termasuk di mobil-mobilnya.
Agomo adalah cinta-kasih. Semua agama mengajarkan cinta. Budoyo adalah roso rumongso. Sopan santun. Tata krama. Dan negoro adalah tatanan.
Ada empat mobil yang parkir di garasi terbukanya. Termasuk Alphard. Lalu ada masjid kecil di halaman depan. Bentuk masjidnya seperti kelenteng. Dibuat mirip masjid Cheng Hoo di Surabaya.
Kirun memang pernah ke masjid di Guangzhou, Tiongkok. Pandangannya tentang Tiongkok dan Islam berubah sejak dari sana. Ia juga ke Shenzhen: melihat bagaimana negara di sana melestarikan budaya Tiongkok. Ia nonton ludruk Tiongkok di Shenzhen. Di sana disebut cha guan.
Pandangan Kirun yang lapang juga lantaran kirun banyak jalan ke berbagai negara. Juga ke berbagai daerah. Ia melihat begitu banyak perbedaan tanpa harus bermusuhan.
Kirun pernah empat tahun di Papua. Di Sorong. Di Manokwari. Di Jayapura. Waktu itu Kodam di sana โjuga di provinsi lainโ punya bagian kesenian untuk sosialisasi program-program pemerintah. Kirun menjadi pegawai sipil di Kodam. Dengan tugas utama di panggung-panggung kesenian.
โMenghidup-hidupkan kesenianโ sudah menjadi prinsip dalam hidupnya. Kesenian telah memberinya hidup yang baik. Ia melihat alangkah keringnya kehidupan tanpa kesenian.
Di pemerintahan, katanya, generasi berganti. Di tentara terus berganti. Di tokoh-tokoh agama juga terus terjadi pergantian generasi. Kalau di kesenian tidak terjadi hal yang sama, kesenian ini akan punah. Lalu identitas bangsa ini akan ikut hilang.
Kirun hanya tamatan SMP. Di desa itu. Lalu main wayang orang. Ikut ketoprak. Ludruk. Dan apa saja. Salah satu dari dua anaknya baru saja lulus Institut Seni Indonesia Solo. Jurusan karawitan. Satunya lagi wanita, kawin dengan tentara.
โKompleks padepokan ini luas sekali. Ada dua hektare?โ
โYa segitulah kira-kiraโ.
โMengapa banyak kamar bernomor?โ
โSeniman dari mana-mana sering ke sini. Menginap di sini,โ katanya. Gratis. Ia pun menyebut nama-nama seperti Soimah, Sudjiwo Tedjo, Gus Mus, dan banyak lagi. Berarti padepokan ini juga dilengkapi wisma seni. Cocok dengan nama padepokan.
Tak terasa lebih satu jam saya ngobrol dengan Kirun. Waktunya ke Takeran, Magetan โngurus pesantren. Saya pun minta izin membawa beberapa makanan kecil ke mobil.
Saat melihat saya datang tadi Kirun langsung panggil anak muda di situ. โCepat ke pasar. Beli jongkong, cenil, dan grontol. Beliau suka suguhan seperti itu. Sama-sama orang desa,โ ujar Kirun.
Kirun benar dengan segala ucapannya itu. (DAHLAN ISKAN)