Umur Fahrul 24 tahun. Masih perjaka. Ia sudah punya hak paten lima buah. Semua terkait hasil penelitiannya sebagai sarjana biologi.
Nama lengkapnya Fahrul Nurkolis. Asli Caruban, ibu kota baru kabupaten Madiun. Di situ ia sekolah sampai tamat SMA.
Saat masih kelas lima SD, ibunya kian tidak bisa melihat. Lalu buta total. Mata sang ibu tetap kelihatan membuka, seperti orang normal, tapi tidak ada yang bisa dilihat.
Hasil pemeriksaan: ada tumor di otaknyi. tumor berhasil dikeluarkan. Nyawanyi selamat. Tapi harus ada yang dikorbankan: syaraf matanyi.
Ayah Fahrul yang semula sering ke luar Jawa berhenti bekerja. Sang ayah ahli potong pohon besar. Dengan alat gergaji mesin.
Sejak tidak bisa lagi pergi-pergi ayah Fahrul beternak kambing. Di belakang rumah. Juga pelihara ikan nila. Tanam cabe.
Di SMAN 2 Mejayan, Caruban, Fahrul ingin jadi dokter. Ia selalu ingat ibunya yang sakit. Tapi ia takut darah. Maka ia pilih jurusan biologi. Ia cari universitas yang bisa memberikan beasiswa.
Berbagai lamaran ia layangkan. Yang menerimanya: Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di fakultas Saintek. Jurusan biologi.
Kini UIN tidak hanya punya fakultas agama. Di Saintek itu ada jurusan lain: informatika dan fisika murni. Segera buka: fakultas kedokteran.
Saat mendaftar itu Fahrul melampirkan banyak sertifikat. Selama di SMA ia rajin ikut karya ilmiah remaja. Sering ikut lomba yang diadakan berbagai universitas. Sering menang.
Salah satunya: penelitian terhadap mangga. Mengapa penderita gula darah tidak disarankan makan mangga. Kadar gulanya ternyata memang tinggi. Tapi ia temukan: dari mangga bisa dibuat gula. Kristal. Seperti gula pasir. Hanya warnanya agak merah.
Setelah jadi gula, justru boleh diminum oleh penderita diabetes. Itu karena senyawa bio aktifnya bisa dikonsentrasikan dalam bentuk gula.
Saat di semester dua di UIN Sunan Kalijaga hasil penelitian itu ia sempurnakan. Lalu ia mendapat undangan untuk mempresentasikannya di sebuah konferensi biologi di Bangkok. Dapat penghargaan.
Yang lebih menggembirakannya: di Bangkok itu Fahrul kenal dengan Dr dr Nelly Mayulu dari Manado. Ia peneliti rumput laut di Universitas Sam Ratulangi. Khusus terkait dengan kandungan gizinya.
Setelah melihat keseriusan Fahrul, Dr Nelly minta anak itu untuk melakukan penelitian atas anggur laut. Itu salah satu jenis rumput laut. Kalau rumput laut yang biasa Anda lihat itu tidak berdaun, ini punya ”daun”. Bentuk daunnya seperti buah anggur.
Bagi masyarakat Jepara, Jateng, kegunaan jenis anggur laut ini untuk urap. Pun di Nusa Dua, Bali. Atau di wilayah pantai lainnya. Mereka menyebutnya: sayur urap lawi-lawi.
Saat tawaran ke Manado itu tiba kebetulan sedang ada Covid-19. Kampus tutup. Kuliah bisa dari mana saja. Fahrul pun ke Manado. Ia diminta tinggal di rumah Dr Nelly. Setahun penuh. Makan pun ditanggung orang baik itu. Bahkan Dr Nelly pula yang membayar biaya penelitiannya.
Hasilnya: jauh lebih baik dari gula mangga. Bahkan tidak harus diproses menjadi gula. Cukup diwujudkan dalam bentuk tepung –yang senyawa bio aktifnya sudah dikonsentrasikan.
Tidak hanya untuk diabetes. Juga untuk mengendalikan sel kanker.
Selama setahun di Manado –banyak anggur laut di sana– Fahrul sudah melakukan uji coba lengkap. Terhadap binatang uji coba: tikus. Hasilnya sangat memuaskan.
Fahrul pun mematenkan penemuannya itu: dua dari anggur laut, satu dari mangga, satu lagi dari sarang burung.
Sarang burung, kalau dikonsentrasikan bio aktifnya, ternyata baik untuk diabetes dan obesitas. Lebih baik dari mangga. Tapi kalah jauh dari anggur laut.
Kapan hasil penelitian itu bisa jadi barang industri? Konkretnya: kapan saya bisa beli –untuk istri saya? Bukankah mereka yang terkena gula darah jumlahnya puluhan juta? Semua merasa menderita?
Fahrul sudah melakukan pembicaraan dengan dunia industri. Yang sudah deal: dengan Prof Dr Nurpudji. Dia guru besar Unhas, Makassar. Dia sudah punya perusahaan: memproduksi albumin dalam bentuk kapsul. Bahan bakunya Anda sudah bisa menduga: ikan gabus. Haruan. Di Jawa disebut ikan kutuk.
Prof Nur akan menjadikan penemuan Fahrul sebagai kapsul produk suplemen. Belum bisa menjadi obat. Perlu banyak tahap penelitian klinis untuk menjadikannya obat.
Fahrul kini mengambil S-2 di Unair Surabaya. Jurusan Farmakologi –masuknya di fakultas kedokteran, bukan fakultas farmasi.
“Kapan kawin?”
“Masih ada 15 penelitian lagi yang sedang saya tekuni,” katanya.
“Kenapa melebar? Kenapa tidak menukik lebih dalam?”
“Saya itu peneliti. Bukan orang industri,” katanya. “Indonesia begitu kaya dengan bahan yang bisa diolah. Jangan sampai seperti sambiloto dan kemukus jak patennya di tangan Jepang,” ujar Fahrul.
UIN sudah mulai melahirkan peneliti seperti Fahrul. Yang tidak hanya bicara apakah keluar air mata bisa membatalkan puasa.(Dahlan Iskan)