27.3 C
Jakarta
Saturday, March 15, 2025

Hotel Orang Mati

Ketika Maria melihat seorang perempuan duduk sendirian di kursi panjang pinggir jalan, ia merasa pernah mengenalnya. Maria juga duduk di bangku panjang serupa, di seberang jalan, di seberang perempuan itu. Maria mengamat-amati perempuan di seberangnya seraya menebak-nebak siapakah gerangan ia. Sampai memutuskan kembali ke hotel, Maria belum bisa memastikan siapa perempuan itu.

KEPADA suaminya Maria bercerita, dan sambil mengayun-ayunkan kaki di air kolam suaminya menimpali: ”Mata kita melihat apa yang sangat ingin kita lihat. Mungkin kamu sedang merindukan seseorang. Seorang kawan lama, barangkali?”

Maria dan suaminya menghabiskan masa libur nasional yang bersambung dengan libur akhir pekan dengan mengunjungi kawasan wisata dan menginap di sebuah hotel. Tadi pagi saat Maria berjalan-jalan, suaminya masih berbaring di ranjang. Itu hari kedua liburan mereka.

Karena kata ”kawan lama” yang diucapkan suaminya, Maria menjulurkan ingatannya sampai di kejauhan. Ia memang pernah punya kawan dekat, baik di masa kanak-kanak maupun di masa remaja. Namun, ketika kehidupan melaju mereka semua tertinggal di masa lalu. Maria tak pernah bertemu lagi dengan mereka, karena itu ia merasa kawan-kawannya selamanya membeku di masa kanak-kanak atau masa remaja.

”Kegiatan merindukan hanya milik orang yang punya waktu luang. Maksudku betul-betul luang; tidak ada pekerjaan, tidak sedang liburan, bahkan tidak sedang berencana apa-apa,” jawab Maria.

Ia keluar dari kolam dan duduk di samping suaminya. Saat itu dua orang tamu hotel yang baru tiba melintas di depan kolam. Satunya orang India; laki-laki berkulit gelap. Satunya lagi seorang perempuan bermata sipit dan berkulit luar biasa putih sehingga cemerlang di bawah langit sore.

Mereka tampak masih remaja. Perempuan itu sepertinya dari Korea, begitu pikir Maria. Seorang staf hotel berbicara dengan tamu-tamu tersebut sambil sesekali melirik Maria.

Ponsel Maria berdering dalam kamar. Maria beranjak, lantas dari tepi kolam suami Maria dapat mendengar pembicaraan istrinya dengan seseorang. Nyatalah, panggilan telepon itu tidak diduga-duga. Kesan dari reaksi Maria menunjukkan bahwa yang meneleponnya pasti seorang kawan lama.

Malamnya, saat mereka duduk di kursi teras, suami Maria bertanya: ”Siapa yang meneleponmu tadi?”

”Oh, itu Maria, kawan lamaku.”

”Maria? Namanya sama dengan namamu?”

”Iya. Nama kami kebetulan sama.”

”Dan Maria adalah perempuan yang kamu lihat di bangku panjang tadi pagi?”

Maria diam sebentar. Sekonyong-konyong ia menyadari bahwa sebetulnya ia lupa bagaimana rupa Maria, kawan lamanya itu. Namun, ia menjawab juga: ”Bukan…”

Di mata suaminya Maria tampak ragu-ragu. ”Seperti apa rupanya Maria ini?” tanyanya. Maria kembali diam. Sekarang ia bahkan merasa bimbang adakah ia pernah punya kawan yang namanya sama dengan namanya? Maria memejamkan mata, berusaha menjangkau bagian tersembunyi dari ingatannya.

Lantas ia diserang suatu keyakinan bahwa sesungguhnya Maria sudah mati.

”Pernah ada peristiwa kebakaran di sekolahku. Entah bagaimana ceritanya, kabarnya api bersumber dari laboratorium. Sepertinya setelah itu Maria menghilang,” ujar Maria.

Baca Juga :  Membaca Retakan-Retakan Peristiwa Darah Api

”Bagaimana mungkin kamu melupakan peristiwa semacam itu?”

”Peristiwa itu sudah lama. Di sekolah menengah. Tapi, kebakaran itu memang terjadi. Aku masih ingat api yang berkobar-kobar dan bangunan yang hangus jadi arang.”

”Dan Maria?”

”Nah, itu. Aku lupa apakah Maria yang menghilang setelah peristiwa itu atau anak lain. Seingatku ia ada di kelas lain, bukan di kelas yang sama denganku.”

”Kamu bikin aku pusing, Maria.”

Maria menatap suaminya sebelum berkata: ”Maria ada di kota ini, lho. Dia akan datang ke hotel ini besok pagi.”

Sekitar pukul tiga dini hari, Maria terbangun. Suatu mimpi baru saja dialaminya. Ia berada di sebuah laboratorium yang terbakar. Api menjulang dalam wujudnya yang mutlak. Di tengah kobaran api, Maria hanya berdiri tanpa melakukan apa-apa. Lantas ia melihat seorang perempuan berjalan, keluar dari api. Maria memanggil-manggil perempuan itu. Entahlah, bagaimana ia bisa tahu nama perempuan itu, sedang perempuan itu terus berjalan tanpa menoleh.

Ketika terjaga, Maria diserang suatu perasaan yang timbul dari mimpi itu. Suatu perasaan yang setelah dipikir-pikir tidak lain adalah perasaan sedih. Untuk menenangkan diri, Maria beranjak ke teras. Ia membuka pintu dengan hati-hati agar suaminya tidak terganggu.

Maria duduk di kursi teras. Permukaan kolam di hadapannya demikian tenang sebab mesin udaranya sudah dimatikan. Hotel itu memang menyediakan kolam kecil untuk tiap-tiap kamar. Namun, di dini hari seperti itu, kolam tersebut seakan kosong, tanpa setetes pun air. Hanya ketika Maria melihat tepi-tepinya tampaklah bahwa kolam itu memang berisi air.

Beberapa meter di seberang kamarnya, Maria melihat dua orang duduk di ayunan yang disediakan di sekitar ruang terbuka. Maria mengenali mereka: itu laki-laki India dan perempuan Korea. Laki-laki India melambaikan tangan ke arah Maria. Dengan ragu-ragu Maria membalas lambaian itu.

Timbul keinginannya untuk bergabung dengan mereka. Minum bir seraya bercerita macam-macam. Namun, niat itu lenyap setelah Maria melihat mereka berpelukan dan berciuman dengan ganas.

Maria kembali ke kamar. Ia berharap suaminya terjaga. Namun, justru dirinyalah yang terlelap.

Paginya, Maria dan suaminya berenang bersama. ”Semalam aku bermimpi agak aneh…” ucap suaminya. Maria naik ke tepi kolam, menatap suaminya tanpa berkata apa-apa. ”Aku melihatmu di situ,” ujar suami Maria sambil menunjuk ke arah ayunan, lantas ia bergerak ke tepi kolam dan duduk di samping Maria.

”Aku melihatmu,” kata suami Maria nyaris berbisik, ”sedang berpelukan dan berciuman dengan cewek Korea itu.” Suami Maria terbahak-bahak oleh kata-katanya sendiri. ”Maksudmu, perempuan yang datang bersama laki-laki India?” tanya Maria keheranan. Suaminya terus terbahak-bahak.

Saat itu seorang perempuan sekonyong-konyong muncul dari jalan di depan kamar. Perempuan itu melihat seseorang duduk di tepi kolam, lantas berseru: ”Maria!”

Maria terperanjat, sontak bangkit dan menghambur ke arah perempuan itu. Mereka berpelukan cukup lama. Kepada suami Maria, perempuan itu memperkenalkan dirinya sebagai Maria. ”Kebetulan nama kami sama,” ujarnya. Ia mengaku sudah beberapa hari berada di kawasan wisata itu. Maria, meskipun menyambut dengan baik, sesungguhnya masih berusaha mengingat-ingat siapa sesungguhnya tamunya itu.

Baca Juga :  Yang Lahir di Musim Rindu

”Sepertinya aku melihatmu beberapa hari lalu, di bangku panjang pinggir jalan dekat pasar rakyat,” kata sang tamu sambil mengamat-amati Maria. Orang yang diajak bicara diam saja. Saat itu mereka duduk berdua di kursi teras.

Suami Maria membiarkan keduanya menghadapi saat-saat pertemuan dan pengingatan tersebut. Maria masih berusaha mengingat-ingat siapa tamunya itu; usahanya sedemikian keras hingga kepalanya terasa panas dan ia merasa tak lagi berada di beranda hotel, melainkan di sebuah laboratorium yang terbakar.

Saat ruang dan waktu kembali hadir sebagai sesuatu yang kini dan di sini, Maria seperti tidak sengaja melihat suaminya duduk di ayunan sambil berbincang-bincang dengan laki-laki India itu. Sementara perempuan Korea duduk di rumput. Tanpa sadar Maria melambaikan tangannya, dan perempuan Korea itu membalas lambaiannya.

Sang tamu, yang melihat Maria melambai, bertanya: ”Kamu melambai kepada siapa?”

”Oh, itu tamu hotel ini. Orang Korea.”

Maria ingat ketika ia menunggu resepsionis mengurus kesiapan kamar untuknya, ia sempat membaca koran ibu kota edisi akhir pekan. Koran itu sudah usang, terbit kira-kira tiga tahun sebelumnya. Entah kenapa koran itu masih ada di sana.

Maria sempat membaca berita perihal kasus kebakaran di sebuah sekolah menengah beberapa waktu sebelumnya. Saat kebakaran terjadi, sekolah itu sedang menerima kunjungan belajar dari para siswa asal India dan Korea.

Kasus itu mengundang munculnya berbagai teori konspirasi. Namun, bukan kasus itu benar yang diingat Maria, melainkan sebuah cerita pendek yang terbit di koran yang sama. Cerita pendek itu tak dapat sungguh-sungguh dipahaminya, tapi Maria terpesona membaca kalimat pembukanya:

”Orang yang sudah mati akan tetap hidup dalam ingatan orang yang masih hidup. Sampai kemudian ingatan tentang orang yang sudah mati itu pelan-pelan mengabur, dan ketika ingatan itu benar-benar hilang, orang yang sudah mati akan hidup kembali sebagaimana ia hidup sebelum ia mati.”

”Tidak ada siapa-siapa di sana, Maria.” Maria berucap pelan.

Dari seberang kamar, dari balik tanaman dekat ayunan, staf hotel mengamat-amati Maria. Sudah lama hotel itu tidak dikunjungi tamu, bahkan pemilik hotel sudah berencana menutupnya.

Maka, ketika tiga hari lalu ada seorang perempuan berniat menginap di sana, ia merasa heran. Dan rasa herannya itu bertambah-tambah saat ia memperhatikan bahwa tamunya itu selalu berbicara dengan seseorang seakan-akan memang ada orang lain yang sedang bersamanya. (*)

KIKI SULISTYO, Lahir di Ampenan, Lombok. Ia telah meraih beberapa penghargaan. Kumpulan cerpennya yang terbaru berjudul Musik Akhir Zaman (Indonesia Tera, 2024).

Ketika Maria melihat seorang perempuan duduk sendirian di kursi panjang pinggir jalan, ia merasa pernah mengenalnya. Maria juga duduk di bangku panjang serupa, di seberang jalan, di seberang perempuan itu. Maria mengamat-amati perempuan di seberangnya seraya menebak-nebak siapakah gerangan ia. Sampai memutuskan kembali ke hotel, Maria belum bisa memastikan siapa perempuan itu.

KEPADA suaminya Maria bercerita, dan sambil mengayun-ayunkan kaki di air kolam suaminya menimpali: ”Mata kita melihat apa yang sangat ingin kita lihat. Mungkin kamu sedang merindukan seseorang. Seorang kawan lama, barangkali?”

Maria dan suaminya menghabiskan masa libur nasional yang bersambung dengan libur akhir pekan dengan mengunjungi kawasan wisata dan menginap di sebuah hotel. Tadi pagi saat Maria berjalan-jalan, suaminya masih berbaring di ranjang. Itu hari kedua liburan mereka.

Karena kata ”kawan lama” yang diucapkan suaminya, Maria menjulurkan ingatannya sampai di kejauhan. Ia memang pernah punya kawan dekat, baik di masa kanak-kanak maupun di masa remaja. Namun, ketika kehidupan melaju mereka semua tertinggal di masa lalu. Maria tak pernah bertemu lagi dengan mereka, karena itu ia merasa kawan-kawannya selamanya membeku di masa kanak-kanak atau masa remaja.

”Kegiatan merindukan hanya milik orang yang punya waktu luang. Maksudku betul-betul luang; tidak ada pekerjaan, tidak sedang liburan, bahkan tidak sedang berencana apa-apa,” jawab Maria.

Ia keluar dari kolam dan duduk di samping suaminya. Saat itu dua orang tamu hotel yang baru tiba melintas di depan kolam. Satunya orang India; laki-laki berkulit gelap. Satunya lagi seorang perempuan bermata sipit dan berkulit luar biasa putih sehingga cemerlang di bawah langit sore.

Mereka tampak masih remaja. Perempuan itu sepertinya dari Korea, begitu pikir Maria. Seorang staf hotel berbicara dengan tamu-tamu tersebut sambil sesekali melirik Maria.

Ponsel Maria berdering dalam kamar. Maria beranjak, lantas dari tepi kolam suami Maria dapat mendengar pembicaraan istrinya dengan seseorang. Nyatalah, panggilan telepon itu tidak diduga-duga. Kesan dari reaksi Maria menunjukkan bahwa yang meneleponnya pasti seorang kawan lama.

Malamnya, saat mereka duduk di kursi teras, suami Maria bertanya: ”Siapa yang meneleponmu tadi?”

”Oh, itu Maria, kawan lamaku.”

”Maria? Namanya sama dengan namamu?”

”Iya. Nama kami kebetulan sama.”

”Dan Maria adalah perempuan yang kamu lihat di bangku panjang tadi pagi?”

Maria diam sebentar. Sekonyong-konyong ia menyadari bahwa sebetulnya ia lupa bagaimana rupa Maria, kawan lamanya itu. Namun, ia menjawab juga: ”Bukan…”

Di mata suaminya Maria tampak ragu-ragu. ”Seperti apa rupanya Maria ini?” tanyanya. Maria kembali diam. Sekarang ia bahkan merasa bimbang adakah ia pernah punya kawan yang namanya sama dengan namanya? Maria memejamkan mata, berusaha menjangkau bagian tersembunyi dari ingatannya.

Lantas ia diserang suatu keyakinan bahwa sesungguhnya Maria sudah mati.

”Pernah ada peristiwa kebakaran di sekolahku. Entah bagaimana ceritanya, kabarnya api bersumber dari laboratorium. Sepertinya setelah itu Maria menghilang,” ujar Maria.

Baca Juga :  Membaca Retakan-Retakan Peristiwa Darah Api

”Bagaimana mungkin kamu melupakan peristiwa semacam itu?”

”Peristiwa itu sudah lama. Di sekolah menengah. Tapi, kebakaran itu memang terjadi. Aku masih ingat api yang berkobar-kobar dan bangunan yang hangus jadi arang.”

”Dan Maria?”

”Nah, itu. Aku lupa apakah Maria yang menghilang setelah peristiwa itu atau anak lain. Seingatku ia ada di kelas lain, bukan di kelas yang sama denganku.”

”Kamu bikin aku pusing, Maria.”

Maria menatap suaminya sebelum berkata: ”Maria ada di kota ini, lho. Dia akan datang ke hotel ini besok pagi.”

Sekitar pukul tiga dini hari, Maria terbangun. Suatu mimpi baru saja dialaminya. Ia berada di sebuah laboratorium yang terbakar. Api menjulang dalam wujudnya yang mutlak. Di tengah kobaran api, Maria hanya berdiri tanpa melakukan apa-apa. Lantas ia melihat seorang perempuan berjalan, keluar dari api. Maria memanggil-manggil perempuan itu. Entahlah, bagaimana ia bisa tahu nama perempuan itu, sedang perempuan itu terus berjalan tanpa menoleh.

Ketika terjaga, Maria diserang suatu perasaan yang timbul dari mimpi itu. Suatu perasaan yang setelah dipikir-pikir tidak lain adalah perasaan sedih. Untuk menenangkan diri, Maria beranjak ke teras. Ia membuka pintu dengan hati-hati agar suaminya tidak terganggu.

Maria duduk di kursi teras. Permukaan kolam di hadapannya demikian tenang sebab mesin udaranya sudah dimatikan. Hotel itu memang menyediakan kolam kecil untuk tiap-tiap kamar. Namun, di dini hari seperti itu, kolam tersebut seakan kosong, tanpa setetes pun air. Hanya ketika Maria melihat tepi-tepinya tampaklah bahwa kolam itu memang berisi air.

Beberapa meter di seberang kamarnya, Maria melihat dua orang duduk di ayunan yang disediakan di sekitar ruang terbuka. Maria mengenali mereka: itu laki-laki India dan perempuan Korea. Laki-laki India melambaikan tangan ke arah Maria. Dengan ragu-ragu Maria membalas lambaian itu.

Timbul keinginannya untuk bergabung dengan mereka. Minum bir seraya bercerita macam-macam. Namun, niat itu lenyap setelah Maria melihat mereka berpelukan dan berciuman dengan ganas.

Maria kembali ke kamar. Ia berharap suaminya terjaga. Namun, justru dirinyalah yang terlelap.

Paginya, Maria dan suaminya berenang bersama. ”Semalam aku bermimpi agak aneh…” ucap suaminya. Maria naik ke tepi kolam, menatap suaminya tanpa berkata apa-apa. ”Aku melihatmu di situ,” ujar suami Maria sambil menunjuk ke arah ayunan, lantas ia bergerak ke tepi kolam dan duduk di samping Maria.

”Aku melihatmu,” kata suami Maria nyaris berbisik, ”sedang berpelukan dan berciuman dengan cewek Korea itu.” Suami Maria terbahak-bahak oleh kata-katanya sendiri. ”Maksudmu, perempuan yang datang bersama laki-laki India?” tanya Maria keheranan. Suaminya terus terbahak-bahak.

Saat itu seorang perempuan sekonyong-konyong muncul dari jalan di depan kamar. Perempuan itu melihat seseorang duduk di tepi kolam, lantas berseru: ”Maria!”

Maria terperanjat, sontak bangkit dan menghambur ke arah perempuan itu. Mereka berpelukan cukup lama. Kepada suami Maria, perempuan itu memperkenalkan dirinya sebagai Maria. ”Kebetulan nama kami sama,” ujarnya. Ia mengaku sudah beberapa hari berada di kawasan wisata itu. Maria, meskipun menyambut dengan baik, sesungguhnya masih berusaha mengingat-ingat siapa sesungguhnya tamunya itu.

Baca Juga :  Yang Lahir di Musim Rindu

”Sepertinya aku melihatmu beberapa hari lalu, di bangku panjang pinggir jalan dekat pasar rakyat,” kata sang tamu sambil mengamat-amati Maria. Orang yang diajak bicara diam saja. Saat itu mereka duduk berdua di kursi teras.

Suami Maria membiarkan keduanya menghadapi saat-saat pertemuan dan pengingatan tersebut. Maria masih berusaha mengingat-ingat siapa tamunya itu; usahanya sedemikian keras hingga kepalanya terasa panas dan ia merasa tak lagi berada di beranda hotel, melainkan di sebuah laboratorium yang terbakar.

Saat ruang dan waktu kembali hadir sebagai sesuatu yang kini dan di sini, Maria seperti tidak sengaja melihat suaminya duduk di ayunan sambil berbincang-bincang dengan laki-laki India itu. Sementara perempuan Korea duduk di rumput. Tanpa sadar Maria melambaikan tangannya, dan perempuan Korea itu membalas lambaiannya.

Sang tamu, yang melihat Maria melambai, bertanya: ”Kamu melambai kepada siapa?”

”Oh, itu tamu hotel ini. Orang Korea.”

Maria ingat ketika ia menunggu resepsionis mengurus kesiapan kamar untuknya, ia sempat membaca koran ibu kota edisi akhir pekan. Koran itu sudah usang, terbit kira-kira tiga tahun sebelumnya. Entah kenapa koran itu masih ada di sana.

Maria sempat membaca berita perihal kasus kebakaran di sebuah sekolah menengah beberapa waktu sebelumnya. Saat kebakaran terjadi, sekolah itu sedang menerima kunjungan belajar dari para siswa asal India dan Korea.

Kasus itu mengundang munculnya berbagai teori konspirasi. Namun, bukan kasus itu benar yang diingat Maria, melainkan sebuah cerita pendek yang terbit di koran yang sama. Cerita pendek itu tak dapat sungguh-sungguh dipahaminya, tapi Maria terpesona membaca kalimat pembukanya:

”Orang yang sudah mati akan tetap hidup dalam ingatan orang yang masih hidup. Sampai kemudian ingatan tentang orang yang sudah mati itu pelan-pelan mengabur, dan ketika ingatan itu benar-benar hilang, orang yang sudah mati akan hidup kembali sebagaimana ia hidup sebelum ia mati.”

”Tidak ada siapa-siapa di sana, Maria.” Maria berucap pelan.

Dari seberang kamar, dari balik tanaman dekat ayunan, staf hotel mengamat-amati Maria. Sudah lama hotel itu tidak dikunjungi tamu, bahkan pemilik hotel sudah berencana menutupnya.

Maka, ketika tiga hari lalu ada seorang perempuan berniat menginap di sana, ia merasa heran. Dan rasa herannya itu bertambah-tambah saat ia memperhatikan bahwa tamunya itu selalu berbicara dengan seseorang seakan-akan memang ada orang lain yang sedang bersamanya. (*)

KIKI SULISTYO, Lahir di Ampenan, Lombok. Ia telah meraih beberapa penghargaan. Kumpulan cerpennya yang terbaru berjudul Musik Akhir Zaman (Indonesia Tera, 2024).

Terpopuler

Artikel Terbaru