SEPERTI apa gerak dan produksi bahasa kita hari ini? Tentu kita
begitu mafhum, bagaimana bahasa berjalan menelusuri kampung-kampung, kota,
sekolah, perguruan tinggi, pondok pesantren, dan segenap ruang lain yang sangat
memungkinkan penuh dengan laku komunikasi diri terhadap liyan.
Dari situ bahasa bergerak sesuai
dengan siapa yang menggunakannya. Bahasa menelusuri gerak zaman yang terus
melaju dengan cepat, bersanding dan beriringan dengan perkembangan teknologi
informasi.
Jika sejenak menengok bagaimana
komunikasi jarak jauh yang diselami pada tahun-tahun lampau sebelum ponsel,
komputer, dan internet bermekaran, kita akan mendapati masyarakat berkirim
surat dari kota satu dengan kota lain, dari pulau satu dengan pulau lain, atau
bahkan dari negara satu dengan negara lain. Surat dikirim melalui kantor pos.
Penerima menanti berhari-hari dengan sepenuh sabar hingga surat itu mendarat.
Kemudian, pengirim menanti kembali balasan surat dengan sangat tabah.
Berlarik-larik surat dituliskan. Berlembar-lembar pesan, segala rasa dan emosi,
ditumpahkan dalam surat.
Selepas itu, hadirlah ponsel, komputer,
dan internet. Kita seakan dihadapkan pada sebuah jagat yang tak berjarak, tak
terbatas. Segalanya tampak begitu dekat. Kita seakan dengan leluasa dapat berkirim
pesan dengan begitu cepat.
Bahkan lagi, semenjak media
sosial tumbuh subur di antara kita, segalanya begitu rupa bertumpah ruah di
mana-mana. Pesan singkat begitu mudah kita layangkan. Belum lagi saat marak
grup WhatsApp. Ah, segala yang sesungguhnya tak akan pernah diungkapkan, karena
ada grup WhatsApp, maka diluncurkanlah, disebarkan. Karena begitu mudah dan
sangat murahnya hitungan pengiriman pesan, berselancarlah segala kata dan
gambar. Menyesaki mata kita saat membuka ponsel.
Barangkali kita ingat bagaimana
saat belum ada WhatsApp. Kita akan sangat berhati-hati dan sangat menghitung
berapa jumlah huruf yang akan kita kirimkan melalui pesan singkat (SMS) dari
ponsel jadul kita. Sebuah alat telekomunikasi yang hanya digunakan untuk
mengirim pesan singkat dan melakukan panggilan suara (telepon).
Bahkan, saat itu sempat terjadi
kecemasan di antara para pemerhati dan pencinta bahasa, yang katanya berdalih
akan merusak produksi bahasa! Kata-kata sedemikian rupa disingkat hingga setiap
kata menyusut menjadi dua atau tiga huruf.
Bahkan, saya ingat, saat masih
duduk di bangku SMA dulu, di kalangan saya dan teman-teman kala itu marak
menggunakan pesan singkat tanpa menggunakan spasi, dengan kata-kata yang sudah
disingkat pula dengan dua atau tiga huruf. Bayangkan, itu semua karena
menghemat biaya pengiriman pesan singkat dari ponsel!
Lantas bagaimana saat ini, saat
segalanya sudah tumpah ruah dan dapat dilakukan melalui ponsel pintar dalam
genggaman tangan kita? Kita seakan tak berkutik saat ponsel pintar bertengger
dalam timangan jari-jari kita. Saat berkumpul bersama teman, duduk dan ngopi
bersama, tentu tak jarang di antara kita justru kerap didapati asyik sendiri
dengan ponsel pintar.
Tidak fokus dengan perbincangan
dalam pertemuan yang sesungguhnya sudah dijanjikan dan direncanakan itu.
Bahkan, kita pun seakan tak kuasa dengan godaan-godaan yang muncul dari
pemberitahuan dalam setiap aplikasi serta segenap fitur dari ponsel pintar
kita. Sudah buka WhatsApp, kemudian buka Facebook, Twitter, Instagram, YouTube,
belum lagi saat tergoda mati-matian dalam rentetan permainan (game). Sudahlah,
usai sudah! Dalam lingkaran perjumpaan hanya didapati di antaranya
senyum-senyum sendiri, tertawa-tawa sendiri, asyik dengan candaan dalam
WhatsApp atau media sosial lainnya.
Dari segenap ilustrasi pengisahan
yang tak panjang itu, setidaknya kita dapat menelusuk pelan: bagaimana gerak
dan produksi bahasa kita saat ini? Jika sudah pasti, kita cukup dibuat
tergesa-gesa dalam setiap langkah komunikasi kita. Setiap ada informasi, tanpa
ditimbang matang, langsung saja dilempar, disebar ke seluruh media sosial yang
kita miliki.
Ya, jika informasi itu benar.
Namun, jika segala informasi yang kita sebar itu hoax, pasti kita jadi ikut
andil pula dalam kerja penyebaran kebohongan. Bayangkan! Semua itu karena
kemudahan.
Warganet pun saat ini mudah
terbakar atas segala pemberitaan yang digoreng di sana-sini. Siap saja mudah
berkomentar, melepas segala perkataan dengan tanpa filter apa pun. Tidak hanya
bergurau, meledek, atau menghina teman. Bahkan, kepada presiden pun, mereka
begitu leluasa melempar hinaan dan tuduhan-tuduhan. Ujaran-ujaran kebencian pun
diproduksi dengan begitu masif, melenggang bergerak ke mana-mana, menampar dan
dilempar kepada siapa saja.
Lalu, jika awalnya ada yang
gelisah dengan penyingkatan kata-kata, kini tidak lagi berhenti di situ. Pada
era media sosial kali ini, kita begitu gandrung untuk setiap saat menatap layar
ponsel pintar kita. Komunikasi bergerak dengan cepat, murah, dan sangat mudah.
Saat begitu banyaknya media sosial yang kita pegang, akhirnya kita seakan
dibuat mentah dalam memproduksi bahasa. Dari situ emotikon menjadi sandaran
utama.
Emotikon dikenal akrab dalam KBBI
V sebagai sebuah ilustrasi, ikon, atau kelompok karakter pada papan tombol yang
menunjukkan ekspresi wajah, sikap, atau emosi, biasa digunakan dalam komunikasi
elektronik, media sosial, dan sebagainya. Emotikon seakan tengah meremukkan
bahasa komunikasi kita.
Saat zaman surat bergelimang,
segala rasa dan emosi tumpah ruah dalam berlarik kata-kata, dalam untaian
ukiran tulisan tangan di atas berlembar-lembar kertas. Kini rasa dan emosi yang
ditumpahkan dalam kata-kata seakan kian usai. Kita lebih memilih menggunakan
emotikon untuk mewakili segala rasa dan emosi kita. Entah dengan menggunakan
emotikon senyum, sedih, tertawa kecil, hingga tertawa lebar (besar).
Sedikit-sedikit pula kita akan melempar jempol hingga puluhan saat didapati
informasi yang atau segala sesuatu yang istimewa dan membanggakan.
Bisa jadi, produksi emotikon itu
karena kita terlalu sibuk, entah atas kesibukan kerja atau sibuk mengurusi
seabrek pemberitahuan dalam media sosial kita. Lalu bisa juga, kita sudah malas
memproduksi kata-kata. Atau bahkan kita sudah jemu menanggapi pesan atau
informasi yang dikirim lawan komunikasi kita. Namun, setidaknya produksi bahasa
komunikasi kita kian tak bertulang dan menjadi hambar. Tak lagi ditumpahi rasa
dan emosi dalam pesan-pesan singkat di ponsel pintar kita. (***)
(Penulis adalah pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni
Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) ini menulis puisi, cerita pendek, esai, dan
resensi buku. Tahun ini dia mengikuti Residensi Sastrawan Berkarya dari Badan
Bahasa di Polewali Mandar, Sulawesi Barat)