Dari arena balap, lapangan tenis, festival musik, sampai galeri seni di luar negeri, semua mencatat geliat prestasi membanggakan anak-anak muda negeri ini. Sebagaimana para pemuda-pemudi di Sumpah Pemuda 1928, mereka melakukannya demi tumpah darah yang satu: Indonesia.
***
BANYAKNYA museum, galeri, universitas, kurator, hingga kritikus membuat seniman sangat pas menjadikan New York, Amerika Serikat, sebagai rumah. Begitu juga dengan perupa Entang Winarso.
’’Bisa kamu bayangkan seniman dari seluruh dunia berkarya dan hidup di sini,’’ kata Entang kepada Jawa Pos yang menghubunginya dari Surabaya pada Jumat (25/10) pekan lalu.
Meski diakuinya, meninggalkan Indonesia untuk tinggal di New York merupakan keputusan yang berat. ’’Awalnya saya mengikuti tujuan hidup hingga akhirnya bisa memperkaya pengalaman dan memperluas pergaulan secara global,’’ lanjutnya.
Sudah 10 tahun dia menetap di New York. Banyak pameran lukisan yang sudah digelarnya. Baik tunggal ataupun berkolaborasi dengan seniman internasional lain.
Di Indonesia, namanya memang sudah besar dan meraup seabrek penghargaan, seperti masuk 36 Seniman Indonesia Terbaik versi Majalah Gatra 1996 hingga 10 Terbaik Philip Morris Indonesian Art Awards. Tapi, saat berkarya di luar negeri, dia harus memulai fase mundur lagi.
Proses yang panjang dan konsisten membuat Entang akhirnya berhasil diterima di kalangan seniman internasional. Selain itu, ada satu hal yang selalu dipegangnya sampai saat ini.
’’Fokus untuk menciptakan karya yang jujur dan selalu ingat identitas, dari mana kita berasal, dan selalu jaga semangat untuk terus berkarya,’’ terang pria yang mendapatkan fellowship dari John Simon Guggenheim Memorial Foundation di New York itu.
Alumnus ISI Yogyakarta tersebut menambahkan, dirinya tidak pernah ragu untuk menambah jejaring dengan siapa pun saat berkarya di luar negeri. Menerima kesempatan meski sangat kecil untuk memamerkan karya sendiri. (rid/c7/ttg/jpc)