28.1 C
Jakarta
Friday, September 20, 2024

Intrik dan Politik dalam Dunia The

Oleh: Wina Bojonegoro

Artie Ahmad memainkan para karakter dengan terampil, baik melalui narasi maupun dialog. Tapi, minim sekali tokoh perempuan.

TEH adalah komoditas yang memiliki sejarah panjang dalam budaya dan tradisi di dunia. Di Jepang, budaya minum teh menjadi ritual penting yang dihormati. Di Tiongkok dan Korea, teh adalah minuman resmi yang disuguhkan untuk tamu, tanpa gula.

Di Turki, India, dan Thailand, teh sering disajikan dengan susu. Orang Inggris memiliki budaya minum teh di sore hari, afternoon tea, yang kemudian diadopsi oleh beberapa hotel berbintang sebagai salah satu layanan. Hingga jenis teh masyarakat Inggris pun mendunia, seperti English breakfast atau earl grey.

Di Indonesia, sejarah teh diawali masuknya benih teh dari Jepang pada tahun 1600-an. Akhirnya di masa pemerintahan Hindia Belanda dibangunlah kebun-kebun teh yang masif di era 1800-an. Hingga kini teh menjadi minuman rakyat maupun kalangan atas bergantung pada jenis dan kemasan.

Pengetahuan dan Cermin

Teh menjadi tema sentral dalam novel karya Artie Ahmad yang berjudul Risalah Teh & Tiga Keluaga. Cerpenis yang karyanya sudah melanglang buana di berbagai media tanah air itu menampilkan perkebunan teh sebagai sebuah simbol kehidupan. Meliputi intrik, politik, dan hal-hal lainnya.

Teh bukan hanya menghasilkan komoditas, melainkan juga status sosial. Tokoh dari tiga keluarga, Samhadi, Burnomo, dan Raslan, masing-masing memiliki perjuangannya sendiri berkaitan dengan kebun teh.

Mereka bertiga mewakili karakter manusia. Samhadi yang rakus dan manipulatif. Burnomo yang ambisius dan lupa diri dari mana dia berasal. Raslan sebagai buruh yang pasrah dan nerima ing pandum, namun akhirnya menjadi penjahat juga.

Baca Juga :  Sekali Lagi, Menyegarkan Pemahaman Agama

Ada juga tokoh kepala desa bernama Pambudi. Dia mewakili kondisi para petinggi publik atau anggota dewan yang suka bermain judi online, korupsi, dan akhirnya berbuat kejahatan juga.

Para karakter dimainkan dengan terampil oleh sang penulis, baik melalui narasi maupun dialog. Karakter kuat pada masing-masing tokoh membuat pembaca dengan gamblang membayangkan bagaimana rupa mereka jika suatu saat novel ini dialihwahanakan menjadi film, misalnya.

Keseluruhan cerita dipaparkan dengan bahasa yang lugas mengingatkan pada gaya bertutur para penulis era Pramoedya. Tak ada istilah yang ndakik-ndakik, kecuali soal teh pu-er yang memaksa pembaca harus Googling. Riset pastilah sangat dibutuhkan dalam menyusun novel ini, hingga pembaca paham ternyata proses membuat teh adalah digoreng dengan wajan tanah.

Pengetahuan jenis-jenis teh dan dari kebun mana saja berasal juga ditemukan dalam novel ini. Jika selama ini kita hanya mengenal kebun teh di Jawa Barat dan Jawa Tengah, di buku ini orang jadi tahu bahwa di Sumatera juga ada kebun teh. Meski kebun teh di Wonosari, Kabupaten Malang, lupa disebutkan, setidaknya kita menambah khazanah bacaan teh melalui buku ini.

Plot dalam novel ini menarik. Keadaan kekinian dikembangkan melalui flashback yang dimainkan di berbagai bab hingga pembaca memahami landasan perilaku dan peristiwa para tokohnya.

Misalnya, setelah kematian Nora, Burnomo mengingat pertemuannya dengan perempuan cantik itu. Hal yang tak disuguhkan penulis di awal-awal membuat kita mencari tahu siapa sih sebenarnya Nora ini? Beberapa penjelasan lain berupa flashback pun bermunculan di sela-sela cerita yang mengalir renyah.

Baca Juga :  Menghidupkan Aksara Jawa dalam Imajinasi Anak-Anak

Beberapa Pertanyaan

Pertama, novel ini sangat minim tokoh perempuan. Hanya ada Nora yang lemah dan memilih bunuh diri, dua pelakor yang menjadi simpanan Burnomo, istri Pambudi yang menjadi korban keculasan suaminya sendiri, dan istri Samhadi yang hadir sepintas lalu.

Hal ini menimbulkan pertanyaan: mengapa pria mendapat porsi sangat besar, sementara perempuan hanya pelengkap dan bahkan menjadi korban kelakuan para pria hingga tak mampu melindungi dirinya sendiri? Apakah penulis ingin mengatakan bahwa di negeri ini perempuan memang hanya pelengkap meski jumlah penduduk perempuan dan pria seimbang?

Kedua, pemilihan diksi ”menyoal” dan ”memanglah” yang kerap digunakan penulis sepanjang cerita, baik digunakan sebagai narasi maupun dialog para tokoh, sedikit mengganggu. Di sini peran seorang penyunting sangat penting untuk meminimalkan penggunaan diksi berulang yang membuat pembaca kehilangan intensitas bacaan karena susah membedakan ini kalimat tokoh atau kalimat sang penulis?

Ketiga, pada halaman 208 ada pernyataan tokoh Burnomo: Kita serupa namun tak sama, kamu miskin harta, aku miskin hati. Mengapa harus ada penegasan tokoh dengan kesimpulan ini? Bukankah seharusnya ini kesimpulan yang timbul dari pembaca?

Selamat kepada penulis yang telah menancapkan kuku di dunia sastra dengan baik. (*)

Judul: Risalah Teh & Tiga Keluarga

Penulis: Artie Ahmad

Penerbit: Falcon

Tebal: 209 hal

Penyunting: Ariel Seraphino

Perancang sampul: Abdul M.

ISBN: 978-602-6714-96-1

*) Wina Bojonegoro, menulis cerpen sejak 1988. Pendiri Perempuan Penulis Padma (Perlima), menerima Anugerah Sabda Budaya Sastra dari Universitas Brawijaya (2018). Segera menerbitkan buku puisi solo berjudul Bilangan 60.

Oleh: Wina Bojonegoro

Artie Ahmad memainkan para karakter dengan terampil, baik melalui narasi maupun dialog. Tapi, minim sekali tokoh perempuan.

TEH adalah komoditas yang memiliki sejarah panjang dalam budaya dan tradisi di dunia. Di Jepang, budaya minum teh menjadi ritual penting yang dihormati. Di Tiongkok dan Korea, teh adalah minuman resmi yang disuguhkan untuk tamu, tanpa gula.

Di Turki, India, dan Thailand, teh sering disajikan dengan susu. Orang Inggris memiliki budaya minum teh di sore hari, afternoon tea, yang kemudian diadopsi oleh beberapa hotel berbintang sebagai salah satu layanan. Hingga jenis teh masyarakat Inggris pun mendunia, seperti English breakfast atau earl grey.

Di Indonesia, sejarah teh diawali masuknya benih teh dari Jepang pada tahun 1600-an. Akhirnya di masa pemerintahan Hindia Belanda dibangunlah kebun-kebun teh yang masif di era 1800-an. Hingga kini teh menjadi minuman rakyat maupun kalangan atas bergantung pada jenis dan kemasan.

Pengetahuan dan Cermin

Teh menjadi tema sentral dalam novel karya Artie Ahmad yang berjudul Risalah Teh & Tiga Keluaga. Cerpenis yang karyanya sudah melanglang buana di berbagai media tanah air itu menampilkan perkebunan teh sebagai sebuah simbol kehidupan. Meliputi intrik, politik, dan hal-hal lainnya.

Teh bukan hanya menghasilkan komoditas, melainkan juga status sosial. Tokoh dari tiga keluarga, Samhadi, Burnomo, dan Raslan, masing-masing memiliki perjuangannya sendiri berkaitan dengan kebun teh.

Mereka bertiga mewakili karakter manusia. Samhadi yang rakus dan manipulatif. Burnomo yang ambisius dan lupa diri dari mana dia berasal. Raslan sebagai buruh yang pasrah dan nerima ing pandum, namun akhirnya menjadi penjahat juga.

Baca Juga :  Sekali Lagi, Menyegarkan Pemahaman Agama

Ada juga tokoh kepala desa bernama Pambudi. Dia mewakili kondisi para petinggi publik atau anggota dewan yang suka bermain judi online, korupsi, dan akhirnya berbuat kejahatan juga.

Para karakter dimainkan dengan terampil oleh sang penulis, baik melalui narasi maupun dialog. Karakter kuat pada masing-masing tokoh membuat pembaca dengan gamblang membayangkan bagaimana rupa mereka jika suatu saat novel ini dialihwahanakan menjadi film, misalnya.

Keseluruhan cerita dipaparkan dengan bahasa yang lugas mengingatkan pada gaya bertutur para penulis era Pramoedya. Tak ada istilah yang ndakik-ndakik, kecuali soal teh pu-er yang memaksa pembaca harus Googling. Riset pastilah sangat dibutuhkan dalam menyusun novel ini, hingga pembaca paham ternyata proses membuat teh adalah digoreng dengan wajan tanah.

Pengetahuan jenis-jenis teh dan dari kebun mana saja berasal juga ditemukan dalam novel ini. Jika selama ini kita hanya mengenal kebun teh di Jawa Barat dan Jawa Tengah, di buku ini orang jadi tahu bahwa di Sumatera juga ada kebun teh. Meski kebun teh di Wonosari, Kabupaten Malang, lupa disebutkan, setidaknya kita menambah khazanah bacaan teh melalui buku ini.

Plot dalam novel ini menarik. Keadaan kekinian dikembangkan melalui flashback yang dimainkan di berbagai bab hingga pembaca memahami landasan perilaku dan peristiwa para tokohnya.

Misalnya, setelah kematian Nora, Burnomo mengingat pertemuannya dengan perempuan cantik itu. Hal yang tak disuguhkan penulis di awal-awal membuat kita mencari tahu siapa sih sebenarnya Nora ini? Beberapa penjelasan lain berupa flashback pun bermunculan di sela-sela cerita yang mengalir renyah.

Baca Juga :  Menghidupkan Aksara Jawa dalam Imajinasi Anak-Anak

Beberapa Pertanyaan

Pertama, novel ini sangat minim tokoh perempuan. Hanya ada Nora yang lemah dan memilih bunuh diri, dua pelakor yang menjadi simpanan Burnomo, istri Pambudi yang menjadi korban keculasan suaminya sendiri, dan istri Samhadi yang hadir sepintas lalu.

Hal ini menimbulkan pertanyaan: mengapa pria mendapat porsi sangat besar, sementara perempuan hanya pelengkap dan bahkan menjadi korban kelakuan para pria hingga tak mampu melindungi dirinya sendiri? Apakah penulis ingin mengatakan bahwa di negeri ini perempuan memang hanya pelengkap meski jumlah penduduk perempuan dan pria seimbang?

Kedua, pemilihan diksi ”menyoal” dan ”memanglah” yang kerap digunakan penulis sepanjang cerita, baik digunakan sebagai narasi maupun dialog para tokoh, sedikit mengganggu. Di sini peran seorang penyunting sangat penting untuk meminimalkan penggunaan diksi berulang yang membuat pembaca kehilangan intensitas bacaan karena susah membedakan ini kalimat tokoh atau kalimat sang penulis?

Ketiga, pada halaman 208 ada pernyataan tokoh Burnomo: Kita serupa namun tak sama, kamu miskin harta, aku miskin hati. Mengapa harus ada penegasan tokoh dengan kesimpulan ini? Bukankah seharusnya ini kesimpulan yang timbul dari pembaca?

Selamat kepada penulis yang telah menancapkan kuku di dunia sastra dengan baik. (*)

Judul: Risalah Teh & Tiga Keluarga

Penulis: Artie Ahmad

Penerbit: Falcon

Tebal: 209 hal

Penyunting: Ariel Seraphino

Perancang sampul: Abdul M.

ISBN: 978-602-6714-96-1

*) Wina Bojonegoro, menulis cerpen sejak 1988. Pendiri Perempuan Penulis Padma (Perlima), menerima Anugerah Sabda Budaya Sastra dari Universitas Brawijaya (2018). Segera menerbitkan buku puisi solo berjudul Bilangan 60.

Terpopuler

Artikel Terbaru