POLITIK di Indonesia bersengketa perasaan. Konon, politik bisa menghasilkan benci, dendam, pujian, atau girang. Kita sedang dalam politik berperasaan. Anggapan muncul setelah menikmati pidato Presiden Joko Widodo dalam peringatan HUT Golkar di Jakarta, 6 November 2023. Peringatan disampaikan bahwa politik-perasaan membesar di Indonesia ketimbang politik berpijak gagasan.
Kita mundur dulu untuk kembali mengingat gagasan dan perasaan dalam sejarah berpolitik. Pada 1926 Tan Malaka berseru: ”Ketahuilah bahwa rakyat kita, yang beribu tahun diajar jongkok, yang belum pernah mempunyai hak sebagai manusia, itu tak mudah dididik! Janganlah kamu putus asa kalau daya upayamu tidak lekas memperlihatkan hasil yang nyata. Teruskan pekerjaanmu yang mulia-mulia itu, di tengah-tengah ratap tangis rakyat melarat. Teruskan pekerjaanmu walaupun bui, buangan, tonggak gantungan selalu mengancam.”
Gerakan politik melawan penjajah memerlukan gagasan mewujud menjadi tindakan-tindakan. Di situ sejarah tetap menguak perasaan-perasaan: duka. Dulu orang-orang dalam ”ratap tangis” mengetahui nasib buruk akibat kolonialisme dan kapitalisme. Tan Malaka tak menggubah novel atau roman, tapi sadar perasaan-perasaan ditanggungkan kaum terjajah. Perasaan tak harus melemahkan dan mengesahkan kalah. Perasaan justru memicu pembesaran gagasan menggugat dan melawan.
Di ruang berbeda, Semaoen mengisahkan gagasan dan perasaan dalam Hikayat Kadiroen (1920). Lakon asmara, belas kasih, tata krama, kedermawanan, bela rasa, kepriayian, dan pekerjaan ditampilkan dalam cerita mencampur gagasan-gagasan perlawanan dan gejolak-gejolak perasaan kaum pergerakan politik di tanah jajahan.
Tokoh bernama Citro berseru: ”Selain itu, manusia atau rakyat, kita ajak untuk hidup rukun menjadi satu upaya bisa secara bersama-sama pula. Nah, apakah ini bukan pekerjaan yang berdasarkan perbaikan batin? Memang kalau tiap-tiap orang hanya mencari hal-hal yang duniawi saja, tentu ia lalu sering rusak batinnya.
Tetapi kalau bersama-sama secara rukun bersatu memperbaiki semua kebutuhan dunia… Sehingga hati atau manusia akan bergerak berbarengan menjadi baik.” Gubahan sastra oleh Semaoen penuh sodoran ide-ide, tapi tak melupa perasaan-perasaan ditanggungkan kaum terjajah.
Pada masa lalu, Tan Malaka dan Semaoen mungkin sudah berpikiran agenda-agenda terpenting dalam melawan kolonialisme itu serbuan gagasan. Mereka membuat taktik atau siasat agar politik kaum bumiputra bisa menghantam, memukul, atau menampar kaum penjajah dan kaum modal. Kita mengerti konsekuensi-konsekuensi beragam gagasan.
Sejak awal abad XX, kita mengerti ”zaman bergerak” dijelaskan oleh Takashi Shiraishi (1997). Ia mengetahui para tokoh memiliki kesanggupan melibatkan ribuan orang dalam pergerakan dengan bara gagasan dan buaian perasaan meski tanpa harus memunculkan ”zaman berperasaan”.
Kita pun mengingat kaum pergerakan politik sempat mengajukan gagasan dan olah-perasaan melalui gubahan puisi, novel, atau drama. Sejarah Indonesia turut dibentuk dengan bacaan-bacaan menggerakkan perasaan menuju kemajuan, kemuliaan, dan kesejahteraan.
Kini kita mengingat ”drama”. Presiden Joko Widodo mengatakan: ”Saya lihat akhir-akhir ini (politik) terlalu banyak dramanya, terlalu banyak ”drakor”-nya, terlalu banyak sinetronnya.” Tiga hal diajukan mengesankan bahwa elite politik sedang membesarkan sengketa perasaan.
Indonesia dilanda politik-perasaan. Presiden tak sedang memberi kuliah seni. Pengucapan ”drama”, ”drakor”, dan ”sinetron” untuk politik bukan menanggapi perkembangan industri hiburan populer dan gelagat seni di Indonesia.
Kita diajak menganggap tiga hal itu ”rendahan” dalam situasi dan ruang berpolitik. Usaha untuk tak ”merendahkan” bisa dengan mengingat dampak drama-drama digubah dan dipentaskan Soekarno saat berada di pengasingan, berlatar masa kolonial. Kita pun berhak mengingat sekian tahun lalu: elite politik bermunculan dalam sinetron-sinetron demi meminta perhatian dan meraup suara dalam hajatan demokrasi.
Jutaan orang memang terpikat ”drakor” saat terjadi kejenuhan dan kemuakan dalam politik di Indonesia. Mereka menikmati ”drakor” justru sebagai perlawanan terhadap politik busuk. Perasaan-perasaan penonton menjadi peka meski panen air mata dan girang berlebihan.
Presiden mengajak kita bermain ingatan-ingatan sambil menanggapi politik mutakhir. Pada saat revolusi menderu, Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) mengartikan drama: ”tjerita sandiwara jang mengharukan; lakon sedih; peristiwa jang ngeri atau menjedihkan.” Kita menduga Presiden Joko Widodo saat berucap drama tak memerlukan membuka kamus-kamus (lama dan baru).
Sejak masa 1980-an, jutaan orang Indonesia terpikat sinetron di TVRI, berlanjut pada masa berbeda di RCTI, SCTV, TPI, Indosiar, dan lain-lain. Dulu orang-orang gampang mengucap sinetron meski tak terlalu mengetahui arti. Di majalah Gadis, 10–21 Maret 1988, tersaji pengertian:
”Sinetron itu sebenarnya singkatan dari dua kata: sinema dan elektronik. Apa itu sinema elektronik? Secara ringkas, bisa diterangkan begini: film yang dihasilkan dan ditayangkan di media elektronik.”
Di situ pembaca belum menemukan pengertian ”buruk” bahwa sinetron berisi tokoh suka marah, tokoh rajin menangis, tokoh terlalu merana, tokoh sangat jahat, atau tokoh penuh benci. Dulu sinetron belum terlalu mendapat pengertian picisan, cengeng, dan menghina akal sehat.
Kini ”drama” dan ”sinetron” berhak masuk dalam kamus politik mutakhir. Kita tak menduga bahwa ”drakor” ikut dalam kancah politik dengan ketentuan membedakan gagasan dan perasaan.
Di televisi kita melihat saat Presiden Joko Widodo mengucapkan ”drama”, ”drakor”, dan ”sinetron” dengan tenang diselingi mesem. Di bawah panggung para elite politik tampak saling pandang dan mesem. Sekian orang ingin bertepuk tangan dan berteriak tapi sungkan. Begitu. (*)
*) BANDUNG MAWARDI, Penulis ”Rokok di Halaman Sastra” (2022)