25.8 C
Jakarta
Thursday, April 25, 2024

Perlu Payung Hukum untuk Melindungi Orang yang Berladang

PALANGKA
RAYA
-Kebakaran
hutan dan lahan (karhutla) hampir bisa dipastikan terjadi tiap tahun. Ketika
musim kemarau tiba selalu muncul karhutla dan disusul kabut asap yang terjadi
di mana-mana. Pada akhirnya kejadian itu akan disematkan sebagai bencana lokal,
nasional, hingga internasional.

Siapa pelakunya? Siapa
yang patut disalahkan? Sejak lama muncul stigma bahwa penyebabnya adalah
peladang berpindah yang notabene adalah orang Dayak. Padahal menurut Ketua Umum
Dewan Adat Dayak (DAD) Kalteng H Agustiar Sabran, berladang merupakan pekerjaan
penduduk asli Kalimantan yang diwariskan turun-temurun.

“Kenapa kami melakukan
itu (membuka lahan dan hutan dengan membakar, red)? Karena perut (untuk makan,
red). Kalau udah urusan perut, apa pun dilakukan,” kata Agustiar, mantan
peladang berpindah yang kini duduk di Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR-RI), saat ditemui di Kantor DAD Kalteng, Selasa (14/7).

Baca Juga :  PENTING ! Atasi Persoalan Karhutla tanpa Harus Saling Menyalahkan

Pria yang dikenal
sebagai pencinta olahraga catur itu meminta kepada para pemangku jabatan untuk
bersama-sama menyelesaikan persoalan ini. “Ayo kita bersama bergandeng tangan
dalam rangka berkoordinasi untuk antisipasi hingga eksekusi, supaya peladang
tidak selalu jadi kambing hitam,” pintanya.

Karena itu, lanjutnya,
perlu ada payung hukum untuk melindungi orang Dayak yang berladang ini. Apalagi
dalam Pasal 33:3 UUD 1945 sangat jelas tertera bahwa bumi, air, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Artinya, sumber daya alam
adalah untuk kemakmuran rakyat, tapi dikuasai dan diatur oleh negara. Negara
dalam hal ini ada pemerintah pusat, gubernur, serta bupati/wali kota. “Di
Kalteng sudah ada perda (peraturan daerah, red) yang diperjuangkan
bersama-sama,” jelasnya.

Baca Juga :  1 Jam Kobaran Api di Flamboyan Bawah Baru Bisa Dipadamkan

Agustiar berharap
setelah perda disahkan, segera disusul dengan keluarnya peraturan gubernur (pergub).
Ia meminta agar pembahasan, pemerintah mesti melibatkan pelaku di lapangan.
Siapa itu? Orang Dayak, sebagaimana Perda Nomor 16 Tahun 2008, ada perangkat
yang mengaturnya, seperti DAD dengan BATAMAD, MADN, damang, mantir, dan
lainnya.

“Ke depannya jangan
lagi ada orang Dayak menjadi tumbal atau kambing hitam atau biang kerok
kejadian ini (karhutla, red). Kita sepakat hukum harus ditegakkan meski langit
runtuh. Tapi harus diingat, ada kearifan lokal yang dijaga dan tidak boleh
hanya menjadi sejarah, apalagi ini menyangkut perut,” tegasnya.

PALANGKA
RAYA
-Kebakaran
hutan dan lahan (karhutla) hampir bisa dipastikan terjadi tiap tahun. Ketika
musim kemarau tiba selalu muncul karhutla dan disusul kabut asap yang terjadi
di mana-mana. Pada akhirnya kejadian itu akan disematkan sebagai bencana lokal,
nasional, hingga internasional.

Siapa pelakunya? Siapa
yang patut disalahkan? Sejak lama muncul stigma bahwa penyebabnya adalah
peladang berpindah yang notabene adalah orang Dayak. Padahal menurut Ketua Umum
Dewan Adat Dayak (DAD) Kalteng H Agustiar Sabran, berladang merupakan pekerjaan
penduduk asli Kalimantan yang diwariskan turun-temurun.

“Kenapa kami melakukan
itu (membuka lahan dan hutan dengan membakar, red)? Karena perut (untuk makan,
red). Kalau udah urusan perut, apa pun dilakukan,” kata Agustiar, mantan
peladang berpindah yang kini duduk di Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR-RI), saat ditemui di Kantor DAD Kalteng, Selasa (14/7).

Baca Juga :  PENTING ! Atasi Persoalan Karhutla tanpa Harus Saling Menyalahkan

Pria yang dikenal
sebagai pencinta olahraga catur itu meminta kepada para pemangku jabatan untuk
bersama-sama menyelesaikan persoalan ini. “Ayo kita bersama bergandeng tangan
dalam rangka berkoordinasi untuk antisipasi hingga eksekusi, supaya peladang
tidak selalu jadi kambing hitam,” pintanya.

Karena itu, lanjutnya,
perlu ada payung hukum untuk melindungi orang Dayak yang berladang ini. Apalagi
dalam Pasal 33:3 UUD 1945 sangat jelas tertera bahwa bumi, air, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Artinya, sumber daya alam
adalah untuk kemakmuran rakyat, tapi dikuasai dan diatur oleh negara. Negara
dalam hal ini ada pemerintah pusat, gubernur, serta bupati/wali kota. “Di
Kalteng sudah ada perda (peraturan daerah, red) yang diperjuangkan
bersama-sama,” jelasnya.

Baca Juga :  1 Jam Kobaran Api di Flamboyan Bawah Baru Bisa Dipadamkan

Agustiar berharap
setelah perda disahkan, segera disusul dengan keluarnya peraturan gubernur (pergub).
Ia meminta agar pembahasan, pemerintah mesti melibatkan pelaku di lapangan.
Siapa itu? Orang Dayak, sebagaimana Perda Nomor 16 Tahun 2008, ada perangkat
yang mengaturnya, seperti DAD dengan BATAMAD, MADN, damang, mantir, dan
lainnya.

“Ke depannya jangan
lagi ada orang Dayak menjadi tumbal atau kambing hitam atau biang kerok
kejadian ini (karhutla, red). Kita sepakat hukum harus ditegakkan meski langit
runtuh. Tapi harus diingat, ada kearifan lokal yang dijaga dan tidak boleh
hanya menjadi sejarah, apalagi ini menyangkut perut,” tegasnya.

Terpopuler

Artikel Terbaru