PALANGKA RAYA, KALTENGPOS.CO– Sebelum disahkan, Omnibus Law memang sudah
menjadi perbincangan masyarakat luas. Tak sedikit gema suara penolakan. Ketika disahkan pada Senin (5/10) lalu, gelombang suara penolakan
itu makin kuat. Di negeri ini, berdemokrasi adalah hak setiap orang. Tidak membedakan gender. Berikut sekilas aksi dan suara para perempun Kalteng menolak
Omnibus Law.
“Suara Kami
Teruntuk DPR,†perempuan berkerudung dengan lantang berpuisi di depan Gedung
DPRD Kalteng, Kamis (8/10).
Bersama ratusan pendemo
lainnya, Siti Alpiatur Rahmah berdiri di atas kendaraan roda empat. Menggunakan
kaus dan kerudung hitam. Berkalungkan gordon
berpalet hijau bertuliskan HMI. Iya. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) turut
menurunkan pasukan dalam aksi menolak Omnibus Law, bersama ratusan mahasiswa
dari beberapa universitas se-Kota Palangka Raya.
“Wakil-wakil rakyat
yang terhormat, berdirilah di depan cermin dan lihatlah apa yang telah kalian
lakukan. Cerita nyata menyerupai Roro Jonggrang. Di parlemen edan mereka bangun
candi kesengsaraan dalam semalam. Tak urus virus begitu ganas, culas di
omnibus,†demikian bait pertama puisi yang ditulis sendiri oleh
Alpiatur itu.
Dibawakannya dengan penuh
ekspresif.
Bait
demi bait dibacakannya. Perlahan tapi tegas. Ditujukan untuk
DPR maupun pemerintah. Mengungkit kesadaran akan
Omnibus
Law yang mereka sahkan. Puisi itu ditulis untuk mengingatkan bahwa yang telah
disahkan itu merugikan masyarakat.
“Saya ingin para anggota
DPR
dan pemerintah itu bisa melihat bahwa rakyatnya tidak merdeka. Dan Indonesia
sedang tidak baik-baik.
Wahai
DPR, lihatlah ke bawah. Lihatlah
masyarakat yang telah dirugikan oleh Omnibus Law itu,†ucap Alpiatur.
Menurut dia, Omnibus
Law itu juga merugikan perempuan. Karena
selain
lelaki yang menjadi buruh, tapi ada juga para perempuan
yang jadi pekerja demi menyambung hidup maupun memenuhi kebutuhan keluarga. Untuk itu ia
berani
menyuarakan hak-hak para perempuan.
“Meskipun kami dari
kalangan mahasiswa tidak terdampak, tapi kami memiliki orang tua, keluarga, dan
tetangga, serta sebagian masyarakat Indonesia yang
terdampak.
Yang
kami lakukan ini karena nurani kami sebagai mahasiswa,†katanya saat
dibincangi Kalteng Pos (Grup kaltengpos.co), Jumat (9/10).
Diungkapkannya, seorang
mahasiswa
harus mampu berpikir kritis dan bisa berguna untuk
orang-orang sekitar. Alasan itu yang mendasari dirinya ikut turun ke jalan
untuk membela hak-hak rakyat. Demokrasi tidak memandang gender. Siapa pun
bisa menyampaikan pendapatnya, termasuk kaum
perempuan.
“Perempuan itu harus
bisa mengangkat suaranya dan harus bisa menjadi penyambung seperti RA Kartini.
RA Kartini itu perempuan yang berani turun juga pada masanya. Yang kami
lakukan sebagai tanda penghargaan kepada beliau. Bahwa beliau telah menjadi
motivator bagi perempuan Indonesia supaya mau
angkat bicara dan ikut membela kebenaran,†ungkap mahasiswi
yang mengambil
jurusan
akuntansi di
Fakultas Ekonomi Universitas Palangka Raya (UPR) ini.
Demokrasi, lanjut dia,
bukan sebatas pemilu, tapi demokrasi ini adalah suatu
kebebasan berpendapat dan kebebasan mengutarakan suara. Perempuan juga memiliki
kebebasan berpendapat dan angkat suara. Perempuan
juga menjadi syarat terlaksananya demokrasi. Dan perempuan
adalah letak strategisnya demokrasi.
“Termasuk kaum
perempuan yang saat ini menjadi generasi muda, menyuarakan hak-hak masyarakat
harus ditumbuhkan dan dikembangkan,†tegasnya.
Perempuan berkulit
cerah ini menyebut, generasi muda yang mau bersuara dan menyampaikan
pendapatnya dapat menjadi pemimpin di masa depan. Jika
dari usia
muda mau berpikir kritis, maka
akan jadi cikal
bakal pemimpin di masa depan.
“Generasi muda yang mau
berproses seperti menyuarakan hak-hak masyarakat berarti dari sekarang sudah
memiliki hati nurani dan ingin bergerak menyejahterakan
masyarakat,†ucapnya.
Ia berharap
setelah adanya aksi demonstrasi ini, pemerintah dan DPR
bisa memikirkan
kesejahteraan masyarakat. Mungkin Omnibus Law bagi mereka (DPR, red)
itu tidak merugikan, tetapi untuk para buruh dan para petani serta masyarakat
kecil akan sangat dirugikan.
“Indonesia ini adalah
negara yang merdeka, tapi apalah gunanya kata merdeka apabila masyarakatnya
tidak merasa merdeka. Saya harap
undang-undang itu bisa ditolak dengan alasan tidak menyejahterakan
masyarakat,†tukas perempuan asli Kabupaten Barito Timur (Bartim) ini.