DI BANDARA Balikpapan saya disapa seorang laki-laki ganteng berkopiah. Ia menyalami saya dengan merunduk. Sikapnya sangat sopan. Rendah hati. Tawaduk. Tutur katanya halus, apalagi diucapkan dalam bahasa Jawa kromo inggil.
DARI Bandara Halim saya langsung ke RSPAD. Jenazah Opung ternyata sudah diberangkatkan ke Balige. Pakai pesawat carter. Opung dimakamkan di sana. Di kampung halamannya.
PEMERINTAH akan jalan terus, pun ketika kritik keras minta menghentikannya.
Ini soal program pelepasan jutaan telur nyamuk terpapar Wolbachia di enam daerah: Bali, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Kupang, dan Bontang.
BEGITU tiba di Indonesia saya dapat kabar: ''Beliau mendapat Hadiah Nobel'', tulisnya dalam bahasa Mandarin di WeChat.
Saya pun langsung mengirim ucapan selamat. Tidak menyangka sama sekali bahwa saya baru saja bertemu pemenang Hadiah Nobel.
PANEN kates unggahno jaran. Yen ono....Pantun itu tidak dilanjutkan oleh yang mengucapkannya: Gus Yahya. KH Yahya Staquf. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
SAYA duduk di belakang anak-anak Camelia Malik. Juga di dekat teman-teman lama Ahmad Albar.
Saya sendiri mengajak tamu yang bersama saya datang dari Beijing. Mereka tidak tahu God Bless. Tapi bisa menikmati konser 50 tahun kelompok Ahmad Albar itu: Jumat malam kemarin.
SAYA bukan keturunan Fir'aun. Kelihatannya. Setidaknya sampai delapan tahun lalu. Belakangan DNA Fir'aun sudah ditemukan: E1b1a (atau: E-M2). Sejak itu banyak orang melakukan tes DNA –sekadar untuk tahu apakah dirinya keturunan Fir'aun.