25.6 C
Jakarta
Monday, November 25, 2024

Ucapan Kasar Maupun Hukuman Fisik yang Berulang-Ulang Melukai Emosi An

Menghadapi
anak memang tak mudah. Adakalanya, ayah dan ibu emosi. Kata-kata yang diucapkan
jadi tak menyenangkan. Hati-hati, pola asuh yang seharusnya mendidik bisa
berubah jadi toksik.

 

—

 

MENGENANG masa kecil,
mungkin sebagian di antara kita pernah mengalami dibentak, dicubit, hingga
disanksi fisik oleh orang tua. Atau, dibanding-bandingkan dengan si kakak,
adik, bahkan tetangga. Harapannya, tindakan itu membuat anak tangguh. Namun,
pola asuh tersebut justru berdampak sebaliknya.

Psikolog Irma Gustiana
Andriani MPsi menjelaskan, pengasuhan itu tergolong toksik. Ucapan kasar maupun
hukuman fisik yang berulang-ulang perlahan melukai emosi anak. ”Keluarga, yang
seharusnya merupakan tempat paling aman buat anak, tak berfungsi karena sikap
orang tua,” tegasnya.

Irma menyatakan, ayah
dan ibu yang toksik sering kali tidak sadar bahwa tindakannya keliru. Menurut
dia, toxic parenting ditandai dengan sikap orang tua yang tidak menghormati dan
memperlakukan anak sebagai individu utuh. Psikolog sekaligus pendiri Ruang
Tumbuh itu menjelaskan, sikap ”racun” orang tua muncul akibat trauma masa
kecil.

’’Bisa jadi, ayah atau
ibu diasuh dengan keras sehingga timbul luka dan rasa tidak percaya. Lalu,
siklusnya berulang saat mereka memiliki anak,” imbuhnya. Di sisi lain, sering
kali pelaku toxic parenting juga besar di keluarga yang tak berfungsi baik.
Misalnya, diasuh orang tua yang kerap bertengkar. Atau, orang tua memiliki
karakter perfeksionis.

Baca Juga :  Sering Tidur Mulut Menganga Picu Karies

Psikolog alumnus
Universitas Indonesia tersebut menyatakan, luka akibat pengasuhan toksik muncul
ketika anak mulai dewasa. Konsep diri berantakan. Karena sering dibandingkan
atau direndahkan, anak merasa tak dianggap. Mereka pun merasa tidak pantas
dicintai. Di sisi lain, mereka pun sulit percaya pada lingkungannya.

’’Akhirnya relasi
sosial mereka tidak sehat. Mereka cenderung kaku dan sulit menerima pandangan
orang lain,” ucapnya. Perempuan yang juga ibu dua remaja tersebut menceritakan,
’’tumpukan” emosi negatif itu pun bisa menimbulkan stres dan depresi. ”Risiko
terburuknya, anak memiliki keinginan bunuh diri karena merasa tidak diterima,”
tegas Irma.

Orang tua pun bisa mencegah
agar tak terjebak toxic parenting. ”Saatnya kembali ke hakikat ayah ibu yang
hangat dan penuh kasih sayang. Bagaimanapun, keluarga idealnya jadi tempat
paling aman bagi anak,” imbuhnya. Irma menilai, tidak ada kata terlambat bagi
orang tua untuk memperbaiki diri.

Baca Juga :  Pecandu Kopi, Waspadai Sakit Kepala

Jika merasa telanjur
menjadi orang tua toksik, ayah atau ibu bisa meminta maaf. Dia menjelaskan,
agar tak terjebak menjadi sosok ”racun”, orang tua harus mencintai dan menerima
dirinya lebih dulu. ’’Orang tua, terutama ibu, banyak memberi, tapi sering
kekurangan kasih sayang. Jangan lupa apresiasi diri sendiri sebagai orang tua,”
papar Irma.

 

 

REM DIRI SEBELUM MARAH

 

– Ambil jeda. Duduk
tenang, ambil napas panjang tiga kali. Tata nasihat yang akan diberikan kepada
anak.

 

– Jangan terprovokasi
dengan kemarahan anak.

 

– Jika anak sudah
besar, ayah atau ibu bisa mengambil waktu untuk menyendiri sejenak ketika mood
sedang buruk.

 

– Latih diri dengan
yoga atau meditasi. Dengan begitu, ketika emosi memuncak, orang tua bisa lebih
mengontrol diri dan tetap dingin.

 

– Bila ada di keramaian, ajak anak menepi ke
tempat yang jarang dilalui orang. Misalnya, dekat lokasi exit di mal.

Menghadapi
anak memang tak mudah. Adakalanya, ayah dan ibu emosi. Kata-kata yang diucapkan
jadi tak menyenangkan. Hati-hati, pola asuh yang seharusnya mendidik bisa
berubah jadi toksik.

 

—

 

MENGENANG masa kecil,
mungkin sebagian di antara kita pernah mengalami dibentak, dicubit, hingga
disanksi fisik oleh orang tua. Atau, dibanding-bandingkan dengan si kakak,
adik, bahkan tetangga. Harapannya, tindakan itu membuat anak tangguh. Namun,
pola asuh tersebut justru berdampak sebaliknya.

Psikolog Irma Gustiana
Andriani MPsi menjelaskan, pengasuhan itu tergolong toksik. Ucapan kasar maupun
hukuman fisik yang berulang-ulang perlahan melukai emosi anak. ”Keluarga, yang
seharusnya merupakan tempat paling aman buat anak, tak berfungsi karena sikap
orang tua,” tegasnya.

Irma menyatakan, ayah
dan ibu yang toksik sering kali tidak sadar bahwa tindakannya keliru. Menurut
dia, toxic parenting ditandai dengan sikap orang tua yang tidak menghormati dan
memperlakukan anak sebagai individu utuh. Psikolog sekaligus pendiri Ruang
Tumbuh itu menjelaskan, sikap ”racun” orang tua muncul akibat trauma masa
kecil.

’’Bisa jadi, ayah atau
ibu diasuh dengan keras sehingga timbul luka dan rasa tidak percaya. Lalu,
siklusnya berulang saat mereka memiliki anak,” imbuhnya. Di sisi lain, sering
kali pelaku toxic parenting juga besar di keluarga yang tak berfungsi baik.
Misalnya, diasuh orang tua yang kerap bertengkar. Atau, orang tua memiliki
karakter perfeksionis.

Baca Juga :  Sering Tidur Mulut Menganga Picu Karies

Psikolog alumnus
Universitas Indonesia tersebut menyatakan, luka akibat pengasuhan toksik muncul
ketika anak mulai dewasa. Konsep diri berantakan. Karena sering dibandingkan
atau direndahkan, anak merasa tak dianggap. Mereka pun merasa tidak pantas
dicintai. Di sisi lain, mereka pun sulit percaya pada lingkungannya.

’’Akhirnya relasi
sosial mereka tidak sehat. Mereka cenderung kaku dan sulit menerima pandangan
orang lain,” ucapnya. Perempuan yang juga ibu dua remaja tersebut menceritakan,
’’tumpukan” emosi negatif itu pun bisa menimbulkan stres dan depresi. ”Risiko
terburuknya, anak memiliki keinginan bunuh diri karena merasa tidak diterima,”
tegas Irma.

Orang tua pun bisa mencegah
agar tak terjebak toxic parenting. ”Saatnya kembali ke hakikat ayah ibu yang
hangat dan penuh kasih sayang. Bagaimanapun, keluarga idealnya jadi tempat
paling aman bagi anak,” imbuhnya. Irma menilai, tidak ada kata terlambat bagi
orang tua untuk memperbaiki diri.

Baca Juga :  Pecandu Kopi, Waspadai Sakit Kepala

Jika merasa telanjur
menjadi orang tua toksik, ayah atau ibu bisa meminta maaf. Dia menjelaskan,
agar tak terjebak menjadi sosok ”racun”, orang tua harus mencintai dan menerima
dirinya lebih dulu. ’’Orang tua, terutama ibu, banyak memberi, tapi sering
kekurangan kasih sayang. Jangan lupa apresiasi diri sendiri sebagai orang tua,”
papar Irma.

 

 

REM DIRI SEBELUM MARAH

 

– Ambil jeda. Duduk
tenang, ambil napas panjang tiga kali. Tata nasihat yang akan diberikan kepada
anak.

 

– Jangan terprovokasi
dengan kemarahan anak.

 

– Jika anak sudah
besar, ayah atau ibu bisa mengambil waktu untuk menyendiri sejenak ketika mood
sedang buruk.

 

– Latih diri dengan
yoga atau meditasi. Dengan begitu, ketika emosi memuncak, orang tua bisa lebih
mengontrol diri dan tetap dingin.

 

– Bila ada di keramaian, ajak anak menepi ke
tempat yang jarang dilalui orang. Misalnya, dekat lokasi exit di mal.

Terpopuler

Artikel Terbaru