35.2 C
Jakarta
Thursday, April 18, 2024

Benarkah Obat Tekanan Darah Bisa Tingkatkan Risiko Bunuh Diri?

Orang yang menggunakan angiotensin receptor blockers (ARBs) tampaknya lebih mungkin meninggal karena bunuh diri, dibandingkan dengan mereka yang menggunakan jenis obat tekanan darah lain yang disebut inhibitor ACE.

Pasien yang menggunakan ARB memiliki 63 persen peningkatan risiko kematian pada kejadian bunuh diri, daripada orang yang menggunakan ACE inhibitor. Tetapi, penelitian ini tidak bisa membuktikan hubungan sebab-akibat.

Ada alasan mengenai beberapa kekhawatiran ini. Tetapi tentu saja jika saya punya pilihan sebagai pasien, saya akan memilih ACE inhibitor daripada ARB,” kata ketua peneliti, Muhammad Mamdani, direktur Pusat Penelitian Kesehatan Terapan dari Li Ka Shing Knowledge Institute di Rumah Sakit St. Michael, di Toronto, seperti dilansir laman WebMD, Rabu (25/12).

ARB dan ACE inhibitor bekerja dengan mengganggu aksi angiotensin II, hormon dalam tubuh yang menyebabkan pembuluh darah mengerut. ARB bekerja dengan menghalangi kemampuan angiotensin II untuk mengikat dengan reseptor dan memerintahkan pembuluh darah untuk menyempit, sedangkan ACE inhibitor sebenarnya menurunkan jumlah hormon yang diproduksi dalam tubuh. Kedua obat tersebut banyak digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi, penyakit ginjal kronis, gagal jantung dan diabetes.

Baca Juga :  Peneliti Ungkap Seseorang Tak Tertular Covid-19 Kembali dalam 6 Bulan

Mamdani dan rekan-rekannya melakukan penelitian baru berdasarkan studi sebelumnya yang menunjukkan bahwa ARB mungkin terkait dengan risiko bunuh diri. Menggunakan database kesehatan Kanada, para peneliti mengidentifikasi 964 orang yang meninggal karena bunuh diri dalam 100 hari setelah diresepkan baik oleh ARB atau ACE inhibitor. 

Mereka kemudian membandingkan orang-orang itu dengan kelompok kontrol yang juga menggunakan kedua jenis obat tekanan darah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang menggunakan ARB memiliki risiko bunuh diri yang secara statistik lebih tinggi secara signifikan daripada mereka yang menggunakan inhibitor ACE.

Ini adalah rangkaian obat yang cukup umum digunakan, dan banyak orang akan terpengaruh olehnya. Orang-orang tertentu, terutama jika Anda rentan terhadap gangguan mood, bahkan mungkin lebih berisiko,” jelas Mamdani.

Baca Juga :  5 Cara Menjaga Jantung Tetap Sehat

Mamdani mencatat bahwa ARB bisa menyebabkan kadar angiotensin II meningkat di otak. “Itu bisa terkait dengan gangguan mood, dan bisa memicu perilaku tipe bunuh diri,” saran Mamdani. “Namun, saat ini tidak ada bukti bahwa angiotensin II ada hubungannya dengan mood atau niat bunuh diri,” kata Dr. Robert Carey, dekan emeritus dari Fakultas Kedokteran Universitas Virginia.

Carey mencatat bahwa faktor-faktor lain yang bisa memengaruhi risiko bunuh diri mungkin ikut bermain dengan pasien ini. Sebagai contoh, beberapa menggunakan antidepresan atau benzodiazepin, yang mungkin memiliki pengaruh pada kejadian tingkat bunuh diri.

Studi ini juga tidak menilai penyalahgunaan zat yang mendasari, rawat inap kesehatan mental sebelumnya, atau kunjungan gawat darurat sebelumnya,” kata Dr Suzanne Steinbaum, seorang ahli jantung dengan Rumah Sakit Mount Sinai di New York City. Studi ini dipublikasikan secara online di JAMA Network Open.(fny/jpnn)

Orang yang menggunakan angiotensin receptor blockers (ARBs) tampaknya lebih mungkin meninggal karena bunuh diri, dibandingkan dengan mereka yang menggunakan jenis obat tekanan darah lain yang disebut inhibitor ACE.

Pasien yang menggunakan ARB memiliki 63 persen peningkatan risiko kematian pada kejadian bunuh diri, daripada orang yang menggunakan ACE inhibitor. Tetapi, penelitian ini tidak bisa membuktikan hubungan sebab-akibat.

Ada alasan mengenai beberapa kekhawatiran ini. Tetapi tentu saja jika saya punya pilihan sebagai pasien, saya akan memilih ACE inhibitor daripada ARB,” kata ketua peneliti, Muhammad Mamdani, direktur Pusat Penelitian Kesehatan Terapan dari Li Ka Shing Knowledge Institute di Rumah Sakit St. Michael, di Toronto, seperti dilansir laman WebMD, Rabu (25/12).

ARB dan ACE inhibitor bekerja dengan mengganggu aksi angiotensin II, hormon dalam tubuh yang menyebabkan pembuluh darah mengerut. ARB bekerja dengan menghalangi kemampuan angiotensin II untuk mengikat dengan reseptor dan memerintahkan pembuluh darah untuk menyempit, sedangkan ACE inhibitor sebenarnya menurunkan jumlah hormon yang diproduksi dalam tubuh. Kedua obat tersebut banyak digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi, penyakit ginjal kronis, gagal jantung dan diabetes.

Baca Juga :  Peneliti Ungkap Seseorang Tak Tertular Covid-19 Kembali dalam 6 Bulan

Mamdani dan rekan-rekannya melakukan penelitian baru berdasarkan studi sebelumnya yang menunjukkan bahwa ARB mungkin terkait dengan risiko bunuh diri. Menggunakan database kesehatan Kanada, para peneliti mengidentifikasi 964 orang yang meninggal karena bunuh diri dalam 100 hari setelah diresepkan baik oleh ARB atau ACE inhibitor. 

Mereka kemudian membandingkan orang-orang itu dengan kelompok kontrol yang juga menggunakan kedua jenis obat tekanan darah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang menggunakan ARB memiliki risiko bunuh diri yang secara statistik lebih tinggi secara signifikan daripada mereka yang menggunakan inhibitor ACE.

Ini adalah rangkaian obat yang cukup umum digunakan, dan banyak orang akan terpengaruh olehnya. Orang-orang tertentu, terutama jika Anda rentan terhadap gangguan mood, bahkan mungkin lebih berisiko,” jelas Mamdani.

Baca Juga :  5 Cara Menjaga Jantung Tetap Sehat

Mamdani mencatat bahwa ARB bisa menyebabkan kadar angiotensin II meningkat di otak. “Itu bisa terkait dengan gangguan mood, dan bisa memicu perilaku tipe bunuh diri,” saran Mamdani. “Namun, saat ini tidak ada bukti bahwa angiotensin II ada hubungannya dengan mood atau niat bunuh diri,” kata Dr. Robert Carey, dekan emeritus dari Fakultas Kedokteran Universitas Virginia.

Carey mencatat bahwa faktor-faktor lain yang bisa memengaruhi risiko bunuh diri mungkin ikut bermain dengan pasien ini. Sebagai contoh, beberapa menggunakan antidepresan atau benzodiazepin, yang mungkin memiliki pengaruh pada kejadian tingkat bunuh diri.

Studi ini juga tidak menilai penyalahgunaan zat yang mendasari, rawat inap kesehatan mental sebelumnya, atau kunjungan gawat darurat sebelumnya,” kata Dr Suzanne Steinbaum, seorang ahli jantung dengan Rumah Sakit Mount Sinai di New York City. Studi ini dipublikasikan secara online di JAMA Network Open.(fny/jpnn)

Terpopuler

Artikel Terbaru