HAMPIR semua orang pernah terjebak dalam kebiasaan scroll media sosial tanpa henti. Awalnya hanya berniat membuka aplikasi “lima menit saja,” namun tanpa terasa, waktu bisa habis hingga berjam-jam. Fenomena ini dalam psikologi dikenal dengan istilah doomscrolling, yakni kebiasaan terus membaca atau melihat informasi tanpa henti, bahkan ketika konten tersebut menimbulkan kecemasan.
Mengapa kita sulit berhenti scroll?
Menurut Harvard Business Review (2022), hal ini dipicu oleh sistem reward di otak. Setiap kali menemukan informasi baru, otak melepaskan dopamin yang memberi sensasi puas. Sama seperti kecanduan makanan atau gim, dorongan untuk terus menatap layar diperkuat oleh rasa penasaran: “apa yang ada setelah ini?”
Studi dari Rowan Center for Behavioral Health (2022) menjelaskan bahwa algoritma media sosial memang dirancang untuk memanipulasi otak agar terus ingin melihat lebih banyak. Konten yang muncul diatur sesuai preferensi pengguna sehingga otak menganggapnya relevan dan sulit dilepaskan. Inilah mengapa notifikasi atau video singkat bisa membuat seseorang menunda tidur, belajar, bahkan pekerjaan penting.
Apa dampaknya bagi psikologi manusia?
Sebuah riset yang dipublikasikan National Library of Medicine (2022) menemukan bahwa kebiasaan scroll berlebihan dapat meningkatkan stres, gangguan tidur, bahkan kecenderungan depresi. Hal ini diperburuk oleh fenomena doomscrolling saat seseorang lebih banyak terpapar berita negatif atau provokatif. Akibatnya, otak selalu dalam kondisi waspada, mirip dengan efek kelelahan digital.
Universitas Gadjah Mada (UGM) melalui Kanal Psikologi (2023) menyebut bahwa dalam perspektif neurosains, kecanduan media sosial bekerja melalui aktivasi berulang pada sistem limbik otak, bagian yang mengatur emosi dan motivasi. Semakin sering otak menerima rangsangan dopamin dari aktivitas scroll, semakin sulit seseorang mengendalikan diri untuk berhenti.
Selain itu, para ahli juga menekankan bahwa kebiasaan scroll berlebihan tidak hanya menguras energi mental, tetapi juga memengaruhi interaksi sosial. Individu yang terlalu sibuk dengan layar cenderung kehilangan fokus saat berkomunikasi tatap muka, yang akhirnya menurunkan kualitas hubungan personal. Menurut American Psychological Association (2022), multitasking digital seperti ini menurunkan produktivitas hingga 40 persen karena otak dipaksa berpindah fokus terus-menerus. Oleh karena itu, mengatur pola penggunaan media sosial bukan hanya soal kesehatan mental, melainkan juga kunci menjaga hubungan sosial dan performa kerja tetap optimal.
Kapan scroll jadi berbahaya?
Menurut penelitian York University (2021), tanda kebiasaan scroll sudah mengganggu adalah ketika aktivitas itu mengurangi kualitas tidur, menghambat pekerjaan, atau membuat seseorang mudah cemas setelah membaca konten daring. Jika tidak dikendalikan, dampaknya bisa menyerupai kecanduan perilaku lainnya, seperti belanja kompulsif atau gaming addiction.
Bagaimana cara mengatasinya?
Psikolog merekomendasikan beberapa langkah untuk mengurangi kebiasaan scroll berlebihan:
Tetapkan batas waktu digital. Gunakan fitur screen time atau digital wellbeing untuk mengingatkan kapan harus berhenti.
Praktikkan mindful scrolling. Sadari tujuan saat membuka media sosial, apakah untuk mencari informasi, hiburan, atau sekadar mengisi waktu.
Hindari doomscrolling sebelum tidur. Studi Psychological Science (2022) menunjukkan penggunaan gawai di malam hari memperburuk kualitas istirahat.
- Isi waktu dengan aktivitas pengganti. Membaca buku fisik, olahraga ringan, atau bercengkrama dengan orang terdekat bisa menjadi alternatif sehat.
- Melatih disiplin diri. Sama seperti kebiasaan lain, mengurangi kecanduan scroll membutuhkan konsistensi dan evaluasi rutin.
Kebiasaan scroll media sosial tanpa henti mungkin tampak sepele, namun psikologi membuktikan dampaknya signifikan terhadap kesehatan mental dan fisik. Dengan memahami mekanisme otak di balik kecanduan digital, setiap orang bisa mulai membatasi diri dan menggunakan media sosial secara lebih bijak. Pada akhirnya, kendali ada di tangan kita: apakah akan membiarkan jempol terus bergerak tanpa arah, atau memilih berhenti demi kesehatan yang lebih baik. (jpg)