PROKALTENG.CO
– Seseorang yang mengalami penyakit saluran cerna mungkin pernah mendengar
penyakit Irritable Bowel Syndrome (IBS). Itu adalah suatu penyakit saluran
cerna fungsional. Penyakit ini sangat sensitif jika sedang mengalami stres
apalagi selama pandemi Covid-19.
Pasien-pasien
biasanya datang dengan keluhan nyeri perut, kembung, serta diare atau
konstipasi. Akan tetapi, pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan
anatomi pada pasien-pasien IBS. Pada populasi global, IBS merupakan gangguan
sistem pencernaan yang cukup sering dialami.
Menurut
survei internet yang dilakukan secara global, dilaporkan bahwa prevalensi IBS
di seluruh dunia berkisar antara 3-5 persen populasi dunia. Menurut hasil
penelitian terakhir oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) yang
melihat pengaruh Covid-19 terhadap IBS, ditemukan pasien dengan IBS cenderung
mengalami kualitas hidup yang lebih buruk dan keengganan untuk mengikuti
pembatasan sosial selama pandemi Covid-19 dibandingkan yang tidak mengalami
IBS. Selain itu, pada penelitian yang sama juga menunjukkan pada responden yang
melaporkan belum pernah mengalami IBS, sebesar 4,7 persen partisipan mengalami
gejala menyerupai IBS dalam 3 bulan pertama pandemi Covid-19.
Kesimpulan
ini didasarkan pada penelitian multinasional yang melibatkan peneliti dari
berbagai negara di Asia, seperti Singapura, Bangladesh, China, Hong Kong,
Indonesia, Jepang, Malaysia, Filipina, Korea Selatan, dan Taiwan. Penelitian
tersebut telah dipublikasi di jurnal internasional Journal of Gastroenterology
and Hepatology pada 21 Februari 2021.
“IBS
diduga merupakan penyakit yang sensitif dengan stres. Tekanan psikososial akan
berakibat negatif pada sistem pencernaan sehingga menyebabkan orang-orang
semakin rentan terkena IBS, atau gejala IBS yang akan memburuk. Kondisi pandemi
yang menyebabkan perubahan signifikan bagi gaya hidup sebagian besar orang di
dunia, maka hal tersebut dikhawatirkan dapat berdampak pada pasien-pasien IBS
ataupun meningkatkan jumlah kasus baru IBS,†jelas Spesialis Penyakit Dalam
sekaligus sebagai salah satu peneliti yang terlibat dalam studi tersebut, Prof
Ari Fahrial Syam.
Data
penelitian diperoleh dari survei daring selama Mei hingga Juni 2020. Studi
menggunakan kuesioner untuk menilai pengetahuan, sikap, dan perilaku partisipan
terhadap kebersihan pribadi/personal hygiene dan pembatasan sosial/social
distancing selama pandemi ini. Beberapa pertanyaan juga ditujukan untuk menilai
efek psikologis dari Covid-19 bagi responden. Survei disebar melalui media
sosial (Facebook, WhatsApp, dan Instagram) yang menargetkan responden dari 33
negara di Asia.
Hasil
survei yang berhasil mengumpulkan 2.704 responden itu mengungkapkan 11,5 persen
responden melaporkan mengalami IBS. Responden yang mengaku memiliki IBS
memiliki kualitas hidup yang lebih rendah dari segi emosional, sosial, dan
psikologis.
Sebanyak
11,6 persen pasien IBS melaporkan gejala IBS yang memburuk, sedangkan 26,6
persen melaporkan gejala IBS yang membaik dan 61,6 persen melaporkan tidak ada
perubahan dari gejala IBS. Pada subjek yang dalam penelitian ini mengalami
perbaikan pada gejala IBS, salah satu kemungkinan penjelasan terjadinya perbaikan
gejala adalah karena dalam pandemi Covid-19 ini pasien IBS ini memiliki kendali
yang lebih baik dalam hidupnya.
“Dengan
durasi kerja yang lebih fleksibel, bekerja dari rumah, serta dukungan sosial
yang mendukung saat awal pandemi, stres yang dialami akan berkurang dan
gejalanya akan membaik,†tegas Prof Ari.
Dia
mengatakan bahwa studi yang telah dilakukan akan membantu pengelolaan pasien
IBS selama masa sulit ini. Selama pandemi Covid-19, pasien IBS mengalami double
burden atau beban ganda.
“Sebagian
pasien mengalami perburukan gejala serta merasa kesulitan mengikuti protokol
kesehatan selama pandemi yang akan berisiko untuk terkena Covid-19 dengan
gejala yang lebih berat. Semoga dari studi yang telah dilakukan ini, tenaga
kesehatan turut memperhatikan kualitas hidup pasien-pasien IBS, tidak hanya
dari penyakitnya saja namun memperhatikan kualitas hidup pasien,†ujar Prof.
Ari.