Seseorang
diminta untuk selalu menjaga asupan makanannya. Terlebih untuk mengurangi
makanan yang mengandung gula, lemak, dan kalori. Sebab, obesitas dan lonjakan
gula darah akan membuat seseorang terancam terkena diabetes. Apalagi saat ini,
penyakit diabetes tipe 2 yang disebabkan pola makan semakin banyak tak disadari
oleh masyarakat.
Ternyata,
hampir separuh pasien diabetes tak sadar dirinya sudah sakit atau kadar gula
darahnya ternyata di atas normal. Mereka baru sadar ketika ada komplikasi
penyakit penyerta yang muncul. Hingga 14 Mei 2020, International Diabetes
Federation (IDF) melaporkan 463 juta orang dewasa di dunia menyandang diabetes
dengan prevalensi global mencapai 9,3 persen.
“Namun,
kondisi yang membahayakan adalah 50,1 persen penyandang diabetes (diabetesi)
tidak terdiagnosis. Ini menjadikan status diabetes sebagai silent killer masih
menghantui dunia,†kata Director of Special Needs & Healthy Lifestyle
Nutrition KALBE Nutritionals (Diabetasol) Tunghadi Indra dalam webinar
baru-baru ini.
Jumlah
diabetesi ini diperkirakan meningkat 45 persen atau setara dengan 629 juta
pasien per tahun 2045. Bahkan, sebanyak 75 persen pasien diabetes pada tahun
2020 berusia 20-64 tahun.
Lebih
lanjut Tunghadi mengatakan bahwa angka prevalensi diabetes di dunia dan
Indonesia yang meningkat. Ditambah risiko yang bisa terjadi kepada para
diabetesi saat pandemi ini, menunjukkan kalau diabetes perlu perhatian khusus
dari semua kalangan.
“Diabetes
memang tidak bisa disembuhkan, tetapi manajemennya sangat perlu diperhatikan.
Selain itu dukungan dari support systemdi sekitar diabetesi juga sangat
dibutuhkan,†ungkap Tunghadi.
Executive
Committee Member IDF (The International Diabetes Federation) Western Pacific
Region (2009-2011 dan 2012-2015) Prof. Dr. dr. Sidartawan Soegondo, Sp.PD,
KEMD, FACE, menjelaskan bahwa berdasarkan data IDF, sebanyak 90 persen
diabetesi adalah pasien diabetes tipe 2 atau diabetes melitus. Kenaikan jumlah
diabetesi tipe 2 ini didorong oleh kondisi saling mempengaruhi yang kompleks
antara pertumbuhan sosio-ekonomi, demografis, lingkungan, dan faktor genetis.
“Kontributor
utama lainnya termasuk arus urbanisasi, populasi penduduk yang menua,
berkurangnya aktivitas fisik di tengah masyarakat urban, dan meningkatnya
obesitas serta kelebihan berat badan,†katanya.
Menurut
Prof. Sidartawan, tingginya jumlah diabetesi membuat pengendalian diabetes
membutuhkan perhatian semua orang dan juga kebijakan nasional dengan pendekatan
terintegrasi. Kehadiran komunitas masyarakat sadar diabetes dan keluarga
dibutuhkan untuk mengendalikan diabetes.
Keluarga
merupakan perantara yang efektif dan mudah untuk melaksanakan upaya kesehatan.
Upaya yang dapat dilakukan keluarga diabetesi antara lain melakukan perencanaan
makan, perencanaan olahraga, pengaturan obat, dan edukasi.
“Hal
yang masih perlu ditingkatkan adalah upaya keluarga dalam mengatur pola makan
sehat dan gizi seimbang, serta ajakan berolahraga. Hasil penelitian terkait
dukungan keluarga yang positif, mengarah pada kontrol gula darah yang lebih
baik (42,2 persen memiliki gula darah yang lebih terkontrol), maka penting
untuk pasien diabetes mendapatkan bantuan keluarga,†paparnya.