Site icon Prokalteng

Perilaku Halus Namun Nyata Ditunjukkan Orang Saat Mengandalkan Media Sosial untuk Validasi

Orang-orang yang mengandalkan media sosial untuk validasi biasanya menampilkan 8 perilaku ini. (Freepik)

Beberapa orang memiliki kebiasaan untuk selalu online di media sosial dan sulit untuk melewatkannya.Mulai dari mengupload foto-foto yang difilter dengan sempurna, pembaruan terus-menerus, dan orang-orang yang dengan cemas menunggu suka dan komentar dari khalayak.

Ini lebih dari sekadar berbagi momen, ini tentang mencari persetujuan. Bagi banyak orang, lingkaran validasi tanpa akhir ini menjadi hal yang lumrah, dan mereka bahkan tidak menyadari hal itu terjadi.Media sosial punya cara licik untuk membuat kita haus perhatian, dan keinginan itu bisa membentuk perilaku kita dengan cara yang tidak sepenuhnya kita sadari.

Dalam artikel yang dikutip dari geediting.com, Senin (21/10) ini, kita akan mengungkap 8 perilaku halus namun nyata yang ditunjukkan orang saat mereka mengandalkan media sosial untuk validasi.

Kebiasaan-kebiasaan ini mungkin tampak normal pada pandangan pertama, tetapi kebiasaan-kebiasaan ini menandakan ketergantungan yang lebih dalam pada persetujuan eksternal.

  1. Posting berlebihan

Di dunia media sosial, konten adalah segalanya. Semakin banyak Anda memposting, semakin banyak pula keterlibatan yang berpotensi Anda hasilkan.Tetapi bagi mereka yang sangat bergantung pada media sosial untuk validasi, tindakan berbagi ini menjadi ritual harian, bahkan setiap jam.

Orang-orang ini merasa perlu mendokumentasikan setiap aspek kehidupan mereka, mulai dari makanan hingga latihan mereka, perjalanan mereka, dan bahkan momen paling pribadi mereka.

Kebiasaan buruk ini menjadi cara bagi mereka untuk mencari kepastian dan penegasan dari komunitas daring mereka.

Ironisnya, meskipun mereka mungkin menerima validasi yang mereka idamkan dalam bentuk suka dan komentar, perilaku ini juga dapat menyebabkan semacam ketergantungan.

Harga diri mereka terikat pada respons yang mereka dapatkan di media sosial, dan tidak menerima cukup keterlibatan dapat mengakibatkan perasaan tidak mampu .

  1. Obsesi dengan metrik

Di era digital modern saat ini, platform media sosial telah memberi kita cara unik untuk mengukur popularitas kita, melalui like, share, komentar, dan pengikut.Bagi sebagian orang, angka-angka ini menjadi lebih dari sekadar statistik. Mereka berubah menjadi barometer status sosial dan harga diri.

Orang-orang yang mengandalkan media sosial untuk validasi ditemukan terobsesi memeriksa metrik ini, merasa gembira ketika angka mereka bertambah dan kecewa ketika angkanya stagnan atau turun.

Kebiasaan ini menjadi bagian dari rutinitas mereka, kebiasaan bawah sadar yang membentuk persepsi diri dan suasana hati mereka.Penting untuk menyadari bahwa angka-angka ini adalah rekayasa yang tidak mencerminkan nilai atau kemampuan kita yang sebenarnya.

  1. Validasi mencari komentar dan keterangan

Perilaku umum di antara mereka yang sangat bergantung pada media sosial untuk validasi adalah membuat teks dan komentar yang secara halus, atau terang-terangan, meminta persetujuan atau pujian.

Ini termasuk humor yang mencela diri sendiri atau memancing pujian, yang disamarkan sebagai percakapan ringan.Meskipun pernyataan ini seringkali dirancang untuk memperoleh umpan balik positif, taktik ini dapat menjadi bumerang.

Ini mungkin menekan orang lain untuk menanggapi dengan cara tertentu dan dapat dianggap tidak tulus.Pendekatan yang jauh lebih sehat adalah mengekspresikan diri kita secara autentik di media sosial, berbagi pikiran, pengalaman, dan perasaan kita tanpa motif tersembunyi untuk menginginkan validasi.

  1. Terlalu menekankan kehidupan yang “sempurna”

Dalam dunia maya media sosial, mudah untuk mengatur versi kehidupan kita yang terlihat sempurna.Kita dapat secara selektif membagikan momen-momen istimewa, keberhasilan, dan saat-saat bahagia, serta secara praktis mengabaikan perjuangan, kegagalan, dan hal-hal membosankan.

Bagi mereka yang mencari validasi melalui media sosial, kecenderungan ini dapat menjadi suatu keharusan.Setiap unggahan menjadi kesempatan untuk memamerkan versi ideal kehidupan mereka, hidangan yang ditata dengan sempurna, matahari terbenam yang menakjubkan, senyum yang memukau.

Namun hidup bukan hanya tentang hal-hal penting. Ini juga tentang tantangan yang kita hadapi, rintangan yang kita atasi, dan pertumbuhan yang kita alami sepanjang jalan.Itu mengingatkan kita bahwa kita adalah manusia, dan itu memungkinkan kita terhubung dengan orang lain pada tingkat yang lebih dalam.

  1. Mengabaikan koneksi di dunia nyata

Platform media sosial menyediakan jalan bagi kita untuk terhubung dengan orang lain di seluruh dunia.Namun, ketergantungan yang berlebihan pada platform ini untuk validasi terkadang dapat menyebabkan pengabaian koneksi kehidupan nyata kita.

Orang-orang yang asyik dengan dunia digital sering kali gagal memelihara hubungan mereka di dunia nyata.Percakapan menjadi terganggu, waktu terbuang sia-sia untuk menangkap konten untuk unggahan, dan waktu berkualitas dikorbankan demi waktu layar.

Hubungan kita dengan orang lain penting bagi kesejahteraan kita. Mereka memberikan dukungan, kegembiraan, dan kesempatan untuk pengalaman bersama.Ketika kita mengutamakan validasi virtual ketimbang koneksi asli, kita berisiko kehilangan kekayaan interaksi manusia.

Keaslian dalam hubungan kita, baik daring maupun luring, dapat menghasilkan interaksi yang lebih memuaskan dan rasa memiliki yang lebih besar.Lagipula, media sosial seharusnya meningkatkan kehidupan sosial kita, bukan menggantikannya.

  1. Reaksi berlebihan terhadap kritik atau komentar negative

Kritik yang membangun dapat menjadi alat yang berharga untuk pertumbuhan pribadi. Namun, individu yang menaruh kepentingan besar pada media sosial untuk validasi mungkin kesulitan menangani komentar negatif atau kritik daring.

Mereka mungkin bereaksi berlebihan, cepat-cepat membela diri atau menghapus komentar untuk menjaga citra mereka yang sudah dijaga dengan cermat.Perilaku ini membatasi kesempatan mereka untuk berkembang dan memperkuat citra diri yang rapuh yang sangat bergantung pada persetujuan eksternal.

  1. Sering membandingkan kehidupan mereka dengan orang lain

Kita semua pernah melakukannya di beberapa titik. Saat menelusuri umpan media sosial kita, kita menemukan gambar yang dipilih dengan sempurna atau cerita yang membuat kehidupan orang lain tampak sangat menarik dibandingkan dengan kehidupan kita.

Bagi mereka yang mengandalkan media sosial untuk validasi, permainan perbandingan ini dapat menjadi obsesi yang tidak sehat.

Mereka merasakan kebutuhan untuk menyamai atau melampaui kesuksesan yang dirasakan orang lain, yang menyebabkan ketidakpuasan terus-menerus terhadap kehidupan mereka sendiri.

Sangat mudah untuk hanyut dalam versi kehidupan yang ditampilkan orang-orang secara daring, dan lupa bahwa media sosial jarang mencerminkan realitas kehidupan seseorang secara utuh.

  1. Pembentukan kebiasaan dan rutinitas yang tidak sehat

Media sosial dapat membuat ketagihan. Kepuasan instan dari like, komentar, dan share dapat memicu aliran dopamin, yang mendorong kita untuk menghabiskan lebih banyak waktu di platform ini.

Bagi mereka yang menggunakan media sosial untuk validasi, ini dapat menciptakan lingkaran setan, yang berujung pada berkembangnya kebiasaan dan rutinitas yang tidak sehat.

Mereka mungkin mendapati diri mereka memeriksa umpan media sosial mereka sebagai hal pertama di pagi hari atau sebagai hal terakhir di malam hari, saat makan, atau bahkan saat mereka seharusnya fokus pada pekerjaan atau menghabiskan waktu berkualitas dengan orang-orang terkasih.

Kebutuhan konstan untuk tetap terhubung dapat mengakibatkan gangguan tidur, produktivitas yang buruk, dan hubungan yang tegang.Sangat penting untuk menetapkan batasan dalam penggunaan media sosial.

Pertimbangkan untuk menetapkan waktu khusus untuk memeriksa feed Anda dan menanggapi komentar.Ini dapat membantu mencegah media sosial mengambil alih hidup Anda dan memastikan Anda memiliki waktu untuk aspek penting lainnya dalam hidup Anda.(jpc)

Exit mobile version