31.7 C
Jakarta
Tuesday, April 22, 2025

Apakah Dosa Menyebarkan Hoax Membatalkan Puasa? Simak Penjelasan Hukumnya Berikut Ini

Di era digital, hoax menyebar dengan cepat, termasuk selama bulan puasa. Banyak yang bertanya, apakah menyebarkan hoaks saat berpuasa dapat membatalkan ibadah? Dalam Islam, berbohong dan menyebarkan berita palsu termasuk perbuatan tercela yang dilarang, terlebih saat menjalankan ibadah puasa yang menuntut umat Muslim menjaga lisan dan perilaku.

Namun, apakah dosa menyebarkan hoax bisa membatalkan puasa? Simak penjelasan hukumnya berikut ini!

Apa itu hoax?

Dilansir dari diskominfo.badungkab.go.id pada Minggu (2/3), dijelaskan bahwa hoax merupakan informasi bohong yang sengaja disebarkan untuk menipu orang lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hoax diartikan sebagai berita bohong. Sementara itu dalam Oxford English Dictionary didefinisikan sebagai kebohongan yang dibuat dengan tujuan jahat.

Ironisnya, banyak pengguna media sosial yang memaknai hoax secara keliru sebagai “berita yang tidak sesuai dengan preferensi mereka”.

Fenomena penyebaran berita palsu ini sebenarnya bukan hal baru, bahkan telah ada sejak penemuan mesin cetak Gutenberg pada 1439. Sebelum era internet, verifikasi hoax justru lebih sulit dilakukan sehingga dampaknya lebih berbahaya.

Terdapat beberapa jenis hoax yang perlu dikenali, di antaranya hoax murni (berita bohong yang dibuat dengan sengaja), berita dengan judul sensasional yang tidak sesuai dengan isi, serta berita lama yang disajikan seolah-olah baru terjadi sehingga menimbulkan kesalahpahaman.

Baca Juga :  Paling Eksis di Media Sosial, Sering Menonjolkan Kehidupan Pribadi

Penyebaran hoax dapat memicu kecurigaan terhadap kelompok tertentu, merugikan orang tidak bersalah, dan memberikan informasi keliru kepada pembuat kebijakan.

Pandangan Islam tentang hoax

Dilansir dari nu.or.id pada Minggu (2/3) disebutkan bahwa, Nahdlatul Ulama (NU) memandang hoax sebagai perilaku tercela yang bertentangan dengan akhlak terpuji karena menyerang kehormatan pribadi dan golongan yang dilindungi agama (hifzhul ‘irdh).

Dalam Musyawarah Nasional NU tahun 2017 di Lombok, para ulama menegaskan bahwa ujaran kebencian dan hoax dikategorikan sebagai akhlaq madzmumah (akhlak tercela) yang dilarang dalam ajaran Islam.

Hoax dalam perspektif Islam termasuk dalam kategori namimah (mengadu domba), ghibah (menggunjing), sukhriyyah (merendahkan orang lain), istihza’ (mengolok-olok), buhtan (berbohong), dan fitnah.

Forum ulama ini menyatakan bahwa penyebaran hoax tidak hanya merupakan perbuatan tercela tetapi juga tergolong jarimah atau tindakan kriminal karena telah diatur dalam undang-undang.

Para pelaku penyebaran hoax dihukumi berdosa karena perbuatan tersebut melanggar nilai-nilai Islam dan hukum positif. Dalam rekomendasi Munas NU 2017, para ulama mendorong pemerintah untuk membuat tata aturan komunikasi dengan membedakan standar etika di ruang privat, komunal, dan publik.

Baca Juga :  Hal Penting Sebaiknya Disimpan Dalam Diri Sendiri untuk Mensejahterakan Hidup Secara Pribadi

Hukum penyebaran hoax saat puasa

Dikutip dari islami.co pada Minggu (2/3) dijelaskan bahwa menyebarkan hoax atau informasi palsu selama bulan puasa dapat menghilangkan pahala ibadah puasa dan bertentangan dengan esensi puasa yang bertujuan membentuk ketakwaan.

Dalam diskursus hukum Islam, penyebaran hoax termasuk dalam kategori berbohong (al-kadzib) atau dalam terminologi Al-Quran disebut “rafats”. Para pakar hukum Islam sepakat bahwa meskipun berbohong tidak membatalkan puasa secara teknis, namun dapat menggugurkan pahalanya.

Pendapat berbeda dikemukakan oleh ‘Abdurrahman Al-Auza’i (w. 157 H), ulama besar Syam, yang berpendapat bahwa berbohong, menggunjing, mencaci maki, dan mengadu domba dapat membatalkan puasa sehingga wajib diqadha pada bulan lain.

Pandangan ini didasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW tentang lima hal yang membatalkan puasa, termasuk menggunjing, mengadu domba, berbohong, berkhayal disertai libido, dan sumpah palsu.

Pendiri mazhab Syafi’i, Imam Syafi’i, menganjurkan agar orang yang berpuasa membersihkan puasanya dari perkataan buruk dan caci maki. Pandangan ini membuktikan bahwa ulama fikih tidak hanya memperhatikan aspek lahiriah dalam ibadah puasa, tetapi juga dimensi batiniah serta tujuan utama dari ibadah tersebut.(jpc)

Di era digital, hoax menyebar dengan cepat, termasuk selama bulan puasa. Banyak yang bertanya, apakah menyebarkan hoaks saat berpuasa dapat membatalkan ibadah? Dalam Islam, berbohong dan menyebarkan berita palsu termasuk perbuatan tercela yang dilarang, terlebih saat menjalankan ibadah puasa yang menuntut umat Muslim menjaga lisan dan perilaku.

Namun, apakah dosa menyebarkan hoax bisa membatalkan puasa? Simak penjelasan hukumnya berikut ini!

Apa itu hoax?

Dilansir dari diskominfo.badungkab.go.id pada Minggu (2/3), dijelaskan bahwa hoax merupakan informasi bohong yang sengaja disebarkan untuk menipu orang lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hoax diartikan sebagai berita bohong. Sementara itu dalam Oxford English Dictionary didefinisikan sebagai kebohongan yang dibuat dengan tujuan jahat.

Ironisnya, banyak pengguna media sosial yang memaknai hoax secara keliru sebagai “berita yang tidak sesuai dengan preferensi mereka”.

Fenomena penyebaran berita palsu ini sebenarnya bukan hal baru, bahkan telah ada sejak penemuan mesin cetak Gutenberg pada 1439. Sebelum era internet, verifikasi hoax justru lebih sulit dilakukan sehingga dampaknya lebih berbahaya.

Terdapat beberapa jenis hoax yang perlu dikenali, di antaranya hoax murni (berita bohong yang dibuat dengan sengaja), berita dengan judul sensasional yang tidak sesuai dengan isi, serta berita lama yang disajikan seolah-olah baru terjadi sehingga menimbulkan kesalahpahaman.

Baca Juga :  Paling Eksis di Media Sosial, Sering Menonjolkan Kehidupan Pribadi

Penyebaran hoax dapat memicu kecurigaan terhadap kelompok tertentu, merugikan orang tidak bersalah, dan memberikan informasi keliru kepada pembuat kebijakan.

Pandangan Islam tentang hoax

Dilansir dari nu.or.id pada Minggu (2/3) disebutkan bahwa, Nahdlatul Ulama (NU) memandang hoax sebagai perilaku tercela yang bertentangan dengan akhlak terpuji karena menyerang kehormatan pribadi dan golongan yang dilindungi agama (hifzhul ‘irdh).

Dalam Musyawarah Nasional NU tahun 2017 di Lombok, para ulama menegaskan bahwa ujaran kebencian dan hoax dikategorikan sebagai akhlaq madzmumah (akhlak tercela) yang dilarang dalam ajaran Islam.

Hoax dalam perspektif Islam termasuk dalam kategori namimah (mengadu domba), ghibah (menggunjing), sukhriyyah (merendahkan orang lain), istihza’ (mengolok-olok), buhtan (berbohong), dan fitnah.

Forum ulama ini menyatakan bahwa penyebaran hoax tidak hanya merupakan perbuatan tercela tetapi juga tergolong jarimah atau tindakan kriminal karena telah diatur dalam undang-undang.

Para pelaku penyebaran hoax dihukumi berdosa karena perbuatan tersebut melanggar nilai-nilai Islam dan hukum positif. Dalam rekomendasi Munas NU 2017, para ulama mendorong pemerintah untuk membuat tata aturan komunikasi dengan membedakan standar etika di ruang privat, komunal, dan publik.

Baca Juga :  Hal Penting Sebaiknya Disimpan Dalam Diri Sendiri untuk Mensejahterakan Hidup Secara Pribadi

Hukum penyebaran hoax saat puasa

Dikutip dari islami.co pada Minggu (2/3) dijelaskan bahwa menyebarkan hoax atau informasi palsu selama bulan puasa dapat menghilangkan pahala ibadah puasa dan bertentangan dengan esensi puasa yang bertujuan membentuk ketakwaan.

Dalam diskursus hukum Islam, penyebaran hoax termasuk dalam kategori berbohong (al-kadzib) atau dalam terminologi Al-Quran disebut “rafats”. Para pakar hukum Islam sepakat bahwa meskipun berbohong tidak membatalkan puasa secara teknis, namun dapat menggugurkan pahalanya.

Pendapat berbeda dikemukakan oleh ‘Abdurrahman Al-Auza’i (w. 157 H), ulama besar Syam, yang berpendapat bahwa berbohong, menggunjing, mencaci maki, dan mengadu domba dapat membatalkan puasa sehingga wajib diqadha pada bulan lain.

Pandangan ini didasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW tentang lima hal yang membatalkan puasa, termasuk menggunjing, mengadu domba, berbohong, berkhayal disertai libido, dan sumpah palsu.

Pendiri mazhab Syafi’i, Imam Syafi’i, menganjurkan agar orang yang berpuasa membersihkan puasanya dari perkataan buruk dan caci maki. Pandangan ini membuktikan bahwa ulama fikih tidak hanya memperhatikan aspek lahiriah dalam ibadah puasa, tetapi juga dimensi batiniah serta tujuan utama dari ibadah tersebut.(jpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru