30 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Sangu Disinfektan hingga Blusukan

CHRIS dan Budi memastikan olahannya punya mutu baik, mulai hulu hingga hilir. Proses belanja pun mereka tangani sendiri. Keduanya mengakui, pasar tradisional seperti Pasar Keputran dan Pasar Turi tetap menjadi jujukan utama. Terutama untuk membeli bahan segar dan bumbu.

“Saya punya langganan yang barangnya bagus, orangnya juga bersih. Jadi kalau ke sana, ya langsung ke mereka. Soalnya, di pasar kan yang pakai (masker) 30 persen, sisanya kita enggak tahu,” ungkap Chris. Dia juga tidak ragu putar balik jika pasar yang dituju dalam kondisi ramai. “Pernah, sudah datang jauh-jauh ke Pasar Turi, ternyata rame banget. Saya akhirnya pulang, cari tempat lain,” paparnya.

Budi sependapat. Pasar tradisional tetap menjadi pilihan utama meski tingkat protokol kesehatannya masih di bawah supermarket. Dalam belanja, dia dan asistennya sengaja berangkat pagi-pagi sekali agar tak bersaing dengan pembeli lain. “Berangkat udah lengkap. Selain masker, kami juga pakai sarung tangan, pakaian berlapis, dan alas kaki tertutup,” ungkapnya. Sebelum masuk mobil, Budi pun menyemprot belanjaan dan dirinya dengan disinfektan.

Berburu bahan makanan tak cuma di pasar. Dua juru masak itu juga blusukan demi mencari bahan makanan dengan kualitas dan harga terbaik. Khusus keju mozzarella, misalnya, Budi mendatangkan langsung dari pabrik. Dia sempat menjajal keju yang dibeli di swalayan, mulai beragam merek hingga range harga. ’’Pas disajikan untuk topping dan dimakan bareng dish utama, rasanya terlalu asin. Makanya, saya beli langsung (dari pabrik). Memang harus beli banyak, tapi harganya lebih baik. Dan cocok dengan masakan saya,” ungkapnya.

Baca Juga :  Resep Croffle, Snack Kekinian yang Gampang Susah Dibuatnya

Chris juga punya cerita sendiri. Dia mengunjungi kota tetangga untuk mencari ayam kampung. Dia pernah menyisir Gresik hingga Blitar. ’’Pernah saya ke Kasembon, harganya tinggi sekali. Pas Lebaran, satu ayam ditawarkan Rp 65 ribu. Pusing saya,” ungkapnya. Dia pun pernah melipir ke peternakan ayam kampung di Blitar. Namun, harganya belum cocok. Chris mendapatkan penyuplai ayam di Gresik. ’’Satu kampung memang orangnya pelihara ayam kampung. Tiap pukul 03.00 saya berangkat, ngumpulin ayam, lalu dibawa ke RPH. Sampai di rumah, siap masak,” ungkapnya.

Bumbu-bumbu masakan pun disiapkan segar. Tidak ada jalan pintas menggunakan bumbu instan. ’’Biasanya untuk bumbu, kami bikin bentuk pasta. Setelah dimasak, disimpan vacuum. Jadi fresh, enggak pakai pengawet,” ungkap Chris.

Hal serupa dilakukan Budi. Dia meracik sendiri tepung bumbu untuk menu ayam di kafenya. Tepung tersebut dibuat segar setiap akan memasak. ’’Lebih sedap dan hasil gorengannya lebih bagus,” imbuhnya.

Dalam olahannya, Chris berani menggunakan daging wagyu. Daging sapi berkualitas premium itu menjadi highlight rawon Teras Roso. Hal itu sempat membuatnya dapat pertanyaan: apakah bisa mendapat untung tanpa mengatrol harga terlalu tinggi? “Bisa. Soalnya, rawon kan pakai daging tetelan. Di factory, istilahnya end cut. Bukan potongan utama, karena bagian cut utamanya pasti lari ke steak,” tegas pria yang sempat mengelola pabrik sosis itu. Pembelian dalam kuantitas besar pun membantu Chris menekan cost per porsinya.

Baca Juga :  Rasanya Bikin Penasaran! Sajikan Berbagai Kopi dan Teh Kekinian

Di samping itu, Chris maupun Budi juga menjaga standar menu lewat pengemasan yang cermat. Terutama untuk sajian yang dipesan take away atau via daring. Teras Roso menggunakan pengepakan vacuum untuk produk reseller. Untuk pemesanan personal, seperti paket tumpeng, Chris menggunakan takir pisang serta besek. “Kami enggak mau gambling asal pakai plastik. Secara biaya, memang lebih murah. Tapi, food safety-nya kurang,” lanjutnya.

Prinsip itu juga dipegang Budi. Pesanan take away atau delivery dikemas aman dengan material food grade. Persis yang diterapkan di restoran dan hotel. Dia mengakui, biaya kemasan yang baik memang relatif tinggi. “Bisa saja memang pakai kertas bungkus, plastik, atau styrofoam. Tapi, sebagai penjual, saya punya tanggung jawab. Gimana kalau nantinya kemasan itu punya dampak nggak baik ke kesehatan konsumen?” tegasnya. Dia menjelaskan, pengepakan yang baik juga membantu makanan tiba di tangan konsumen dalam kondisi baik.

CHRIS dan Budi memastikan olahannya punya mutu baik, mulai hulu hingga hilir. Proses belanja pun mereka tangani sendiri. Keduanya mengakui, pasar tradisional seperti Pasar Keputran dan Pasar Turi tetap menjadi jujukan utama. Terutama untuk membeli bahan segar dan bumbu.

“Saya punya langganan yang barangnya bagus, orangnya juga bersih. Jadi kalau ke sana, ya langsung ke mereka. Soalnya, di pasar kan yang pakai (masker) 30 persen, sisanya kita enggak tahu,” ungkap Chris. Dia juga tidak ragu putar balik jika pasar yang dituju dalam kondisi ramai. “Pernah, sudah datang jauh-jauh ke Pasar Turi, ternyata rame banget. Saya akhirnya pulang, cari tempat lain,” paparnya.

Budi sependapat. Pasar tradisional tetap menjadi pilihan utama meski tingkat protokol kesehatannya masih di bawah supermarket. Dalam belanja, dia dan asistennya sengaja berangkat pagi-pagi sekali agar tak bersaing dengan pembeli lain. “Berangkat udah lengkap. Selain masker, kami juga pakai sarung tangan, pakaian berlapis, dan alas kaki tertutup,” ungkapnya. Sebelum masuk mobil, Budi pun menyemprot belanjaan dan dirinya dengan disinfektan.

Berburu bahan makanan tak cuma di pasar. Dua juru masak itu juga blusukan demi mencari bahan makanan dengan kualitas dan harga terbaik. Khusus keju mozzarella, misalnya, Budi mendatangkan langsung dari pabrik. Dia sempat menjajal keju yang dibeli di swalayan, mulai beragam merek hingga range harga. ’’Pas disajikan untuk topping dan dimakan bareng dish utama, rasanya terlalu asin. Makanya, saya beli langsung (dari pabrik). Memang harus beli banyak, tapi harganya lebih baik. Dan cocok dengan masakan saya,” ungkapnya.

Baca Juga :  Resep Croffle, Snack Kekinian yang Gampang Susah Dibuatnya

Chris juga punya cerita sendiri. Dia mengunjungi kota tetangga untuk mencari ayam kampung. Dia pernah menyisir Gresik hingga Blitar. ’’Pernah saya ke Kasembon, harganya tinggi sekali. Pas Lebaran, satu ayam ditawarkan Rp 65 ribu. Pusing saya,” ungkapnya. Dia pun pernah melipir ke peternakan ayam kampung di Blitar. Namun, harganya belum cocok. Chris mendapatkan penyuplai ayam di Gresik. ’’Satu kampung memang orangnya pelihara ayam kampung. Tiap pukul 03.00 saya berangkat, ngumpulin ayam, lalu dibawa ke RPH. Sampai di rumah, siap masak,” ungkapnya.

Bumbu-bumbu masakan pun disiapkan segar. Tidak ada jalan pintas menggunakan bumbu instan. ’’Biasanya untuk bumbu, kami bikin bentuk pasta. Setelah dimasak, disimpan vacuum. Jadi fresh, enggak pakai pengawet,” ungkap Chris.

Hal serupa dilakukan Budi. Dia meracik sendiri tepung bumbu untuk menu ayam di kafenya. Tepung tersebut dibuat segar setiap akan memasak. ’’Lebih sedap dan hasil gorengannya lebih bagus,” imbuhnya.

Dalam olahannya, Chris berani menggunakan daging wagyu. Daging sapi berkualitas premium itu menjadi highlight rawon Teras Roso. Hal itu sempat membuatnya dapat pertanyaan: apakah bisa mendapat untung tanpa mengatrol harga terlalu tinggi? “Bisa. Soalnya, rawon kan pakai daging tetelan. Di factory, istilahnya end cut. Bukan potongan utama, karena bagian cut utamanya pasti lari ke steak,” tegas pria yang sempat mengelola pabrik sosis itu. Pembelian dalam kuantitas besar pun membantu Chris menekan cost per porsinya.

Baca Juga :  Rasanya Bikin Penasaran! Sajikan Berbagai Kopi dan Teh Kekinian

Di samping itu, Chris maupun Budi juga menjaga standar menu lewat pengemasan yang cermat. Terutama untuk sajian yang dipesan take away atau via daring. Teras Roso menggunakan pengepakan vacuum untuk produk reseller. Untuk pemesanan personal, seperti paket tumpeng, Chris menggunakan takir pisang serta besek. “Kami enggak mau gambling asal pakai plastik. Secara biaya, memang lebih murah. Tapi, food safety-nya kurang,” lanjutnya.

Prinsip itu juga dipegang Budi. Pesanan take away atau delivery dikemas aman dengan material food grade. Persis yang diterapkan di restoran dan hotel. Dia mengakui, biaya kemasan yang baik memang relatif tinggi. “Bisa saja memang pakai kertas bungkus, plastik, atau styrofoam. Tapi, sebagai penjual, saya punya tanggung jawab. Gimana kalau nantinya kemasan itu punya dampak nggak baik ke kesehatan konsumen?” tegasnya. Dia menjelaskan, pengepakan yang baik juga membantu makanan tiba di tangan konsumen dalam kondisi baik.

Terpopuler

Artikel Terbaru