27.1 C
Jakarta
Tuesday, April 8, 2025

Bukan Hanya Es Teh dan Teh Hangat

Ngeteh. Kata kerja sederhana yang bisa keluar masuk telinga berkali-kali dalam satu hari. Saking sederhananya, aktivitas minum teh lantas menjadi hal biasa yang lumrah untuk tidak dibahas. Apa benar semembosankan itu?

“AWALNYA minum teh itu tanpa apresiasi lebih. Begitu kenal, ternyata ngeteh itu juga bisa asyik kok,” kata Wildan Nur Hamzah saat dijumpai Jawa Pos di Kediri pada Minggu (8/8). Menggeluti teh dan tetek bengek peracikannya sejak 2019, dia tergerak mengajak masyarakat sadar bahwa minuman sehari-hari itu populer bukan karena biasa-biasa saja. Sebaliknya, teh itu luar biasa karena ”rela” berpadu dengan apa pun tanpa kehilangan rasa aslinya.

Ada banyak faktor yang membuat teh menjadi sangat dekat dengan masyarakat. Di antaranya adalah kebun teh yang relatif mudah ditemukan di hampir semua provinsi tanah air. Juga, harganya yang murah dan gampangnya membuat minuman bernama teh. Segala sesuatu yang terlalu memang kurang baik. Teh pun demikian. Karena teh terlalu mudah ditemukan, terlalu murah, dan terlalu gampang dibikin, masyarakat menganggapnya biasa. Tidak istimewa.

Padahal, menurut Wildan, yang bisa dieksplorasi dari teh masih sangat banyak. Tanaman bernama Latin Camellia sinensis itu punya diagram taste and flavour yang kompleks dan luas. Tapi, memang belum banyak yang tahu. Atau, tahu tapi belum mempraktikkannya.

”Jadilah perjalanan ini sambil berjualan dan mengenalkan teh,’’ ungkap Wildan. Perjalanan yang dia maksud adalah bersepeda 30 hari keliling Pulau Jawa. Dalam kurun waktu sekitar satu bulan, pria 30 tahun itu menggowes sepedanya dari Bandung di Jawa Barat sampai Banyuwangi di Jawa Timur. Tentu saja sambil open tea bar. Alias menjajakan teh.

Baca Juga :  Ayu : Alhamdulillah, Bisa Memberikan Juara 3 untuk Indonesia

”Teh lokal premium dari perkebunan Indonesia semua yang saya bawa. Mulai white tea, black tea, green tea, hingga oolong,’’ imbuh Wildan. Dia menamakan petualangan menjajakan teh di sela-sela menggowes itu sebagai aktivitas syiar teh lokal. ”Brewing and cycling with pride,’’ tegasnya.

Wildan memperkenalkan berbagai racikan pada ”pengunjung” barnya dan mendapatkan reaksi yang beragam. Rata-rata, yang bersedia mampir dan mencicipi teh racikannya akan manggut-manggut, lalu mendapatkan pengetahuan baru. Tapi, ada juga yang begitu membaca atau mendengar bahwa yang diracik adalah teh langsung berlalu.

Bukan baru tahun ini Wildan touring dengan sepeda federalnya. Federalis kelahiran Kuningan tersebut rutin menggowes rute panjang tiap tahun. Tapi, tidak tiap tahun dia mengusung ”peralatan perangnya”.

Kali ini, dia memasang empat pannier bag pada sepedanya. Dua di depan dan dua di belakang. Keempatnya melengkapi dua kotak yang masing-masing terpasang pada setang depan dan belakang sadel. Pada enam wadah itulah, Wildan menyimpan 6 kilogram teh single origin dan tea blend dari peracik lokal. Alat seduh, mulai largo, teko, gaiwan, dripper V60, hingga kompor gas, juga dia bawa. Tidak lupa papan kayu sebagai serving table.

Total bobot beban yang Wildan sampirkan pada sepedanya mencapai 36 kilogram. Tapi, beban lebih berat ada pada pundaknya. Yakni, membuat masyarakat lebih peduli pada teh dan membuat mereka asyik ”bermain-main’’ dengan teh.

Baca Juga :  Hanya 108 Unit, Colnago Rilis V3Rs Edisi Tour de France

Kesenangan menikmati tea time, menurut Wildan, bukan hanya milik kaum kelas atas atau orang-orang tua yang menyimpan baik-baik memori tentang elegannya menyeruput teh hangat pada sore hari. ”Anak muda pun bisa menikmatinya,’’ tegas juara III Kompetisi Peracik (Koper) Teh 2020 itu.

Tentu saja, Wildan merujuk pada gaya khas anak muda zaman sekarang. Mencampur-campurkan berbagai bahan dan formula untuk menghasilkan racikan modern. Sebagaimana kopi, teh pun bisa diracik menjadi berbagai minuman yang nikmat.

Kuncinya ada pada kejelian memilih bahan-bahan berkualitas dan meracik minuman dengan hati. ”Kenapa begitu? Supaya fungsi manusia tidak tergantikan oleh mesin,’’ ujar peneliti vulkanologi dan gunung berapi itu.

Wildan sadar bahwa mengajak masyarakat supaya peduli dan mau mengeksplorasi teh butuh proses panjang. Karena itu, owner Sararea Tea and Coffee tersebut membulatkan tekadnya untuk terus mengampanyekan teh Nusantara. Sebab, Indonesia punya teh-teh terbaik dengan kualitas yang sudah diakui dunia.

Dalam waktu dekat, Wildan bertolak ke Jepang. Di Negeri Sakura itu, dia akan menempuh pendidikan doktoral. Tapi, lelaki gondrong yang kadung cinta mati pada teh tersebut juga akan memanfaatkan masa studinya untuk mempromosikan teh Nusantara. Di dalam atau di luar negeri, menurut dia, kampanye teh harus jalan terus.

”Capek pasti ada, tapi saya tidak pernah berpikir untuk berhenti. Saya yakin ada keindahan yang sedang menanti di depan,’’ tandas Wildan.

Ngeteh. Kata kerja sederhana yang bisa keluar masuk telinga berkali-kali dalam satu hari. Saking sederhananya, aktivitas minum teh lantas menjadi hal biasa yang lumrah untuk tidak dibahas. Apa benar semembosankan itu?

“AWALNYA minum teh itu tanpa apresiasi lebih. Begitu kenal, ternyata ngeteh itu juga bisa asyik kok,” kata Wildan Nur Hamzah saat dijumpai Jawa Pos di Kediri pada Minggu (8/8). Menggeluti teh dan tetek bengek peracikannya sejak 2019, dia tergerak mengajak masyarakat sadar bahwa minuman sehari-hari itu populer bukan karena biasa-biasa saja. Sebaliknya, teh itu luar biasa karena ”rela” berpadu dengan apa pun tanpa kehilangan rasa aslinya.

Ada banyak faktor yang membuat teh menjadi sangat dekat dengan masyarakat. Di antaranya adalah kebun teh yang relatif mudah ditemukan di hampir semua provinsi tanah air. Juga, harganya yang murah dan gampangnya membuat minuman bernama teh. Segala sesuatu yang terlalu memang kurang baik. Teh pun demikian. Karena teh terlalu mudah ditemukan, terlalu murah, dan terlalu gampang dibikin, masyarakat menganggapnya biasa. Tidak istimewa.

Padahal, menurut Wildan, yang bisa dieksplorasi dari teh masih sangat banyak. Tanaman bernama Latin Camellia sinensis itu punya diagram taste and flavour yang kompleks dan luas. Tapi, memang belum banyak yang tahu. Atau, tahu tapi belum mempraktikkannya.

”Jadilah perjalanan ini sambil berjualan dan mengenalkan teh,’’ ungkap Wildan. Perjalanan yang dia maksud adalah bersepeda 30 hari keliling Pulau Jawa. Dalam kurun waktu sekitar satu bulan, pria 30 tahun itu menggowes sepedanya dari Bandung di Jawa Barat sampai Banyuwangi di Jawa Timur. Tentu saja sambil open tea bar. Alias menjajakan teh.

Baca Juga :  Ayu : Alhamdulillah, Bisa Memberikan Juara 3 untuk Indonesia

”Teh lokal premium dari perkebunan Indonesia semua yang saya bawa. Mulai white tea, black tea, green tea, hingga oolong,’’ imbuh Wildan. Dia menamakan petualangan menjajakan teh di sela-sela menggowes itu sebagai aktivitas syiar teh lokal. ”Brewing and cycling with pride,’’ tegasnya.

Wildan memperkenalkan berbagai racikan pada ”pengunjung” barnya dan mendapatkan reaksi yang beragam. Rata-rata, yang bersedia mampir dan mencicipi teh racikannya akan manggut-manggut, lalu mendapatkan pengetahuan baru. Tapi, ada juga yang begitu membaca atau mendengar bahwa yang diracik adalah teh langsung berlalu.

Bukan baru tahun ini Wildan touring dengan sepeda federalnya. Federalis kelahiran Kuningan tersebut rutin menggowes rute panjang tiap tahun. Tapi, tidak tiap tahun dia mengusung ”peralatan perangnya”.

Kali ini, dia memasang empat pannier bag pada sepedanya. Dua di depan dan dua di belakang. Keempatnya melengkapi dua kotak yang masing-masing terpasang pada setang depan dan belakang sadel. Pada enam wadah itulah, Wildan menyimpan 6 kilogram teh single origin dan tea blend dari peracik lokal. Alat seduh, mulai largo, teko, gaiwan, dripper V60, hingga kompor gas, juga dia bawa. Tidak lupa papan kayu sebagai serving table.

Total bobot beban yang Wildan sampirkan pada sepedanya mencapai 36 kilogram. Tapi, beban lebih berat ada pada pundaknya. Yakni, membuat masyarakat lebih peduli pada teh dan membuat mereka asyik ”bermain-main’’ dengan teh.

Baca Juga :  Hanya 108 Unit, Colnago Rilis V3Rs Edisi Tour de France

Kesenangan menikmati tea time, menurut Wildan, bukan hanya milik kaum kelas atas atau orang-orang tua yang menyimpan baik-baik memori tentang elegannya menyeruput teh hangat pada sore hari. ”Anak muda pun bisa menikmatinya,’’ tegas juara III Kompetisi Peracik (Koper) Teh 2020 itu.

Tentu saja, Wildan merujuk pada gaya khas anak muda zaman sekarang. Mencampur-campurkan berbagai bahan dan formula untuk menghasilkan racikan modern. Sebagaimana kopi, teh pun bisa diracik menjadi berbagai minuman yang nikmat.

Kuncinya ada pada kejelian memilih bahan-bahan berkualitas dan meracik minuman dengan hati. ”Kenapa begitu? Supaya fungsi manusia tidak tergantikan oleh mesin,’’ ujar peneliti vulkanologi dan gunung berapi itu.

Wildan sadar bahwa mengajak masyarakat supaya peduli dan mau mengeksplorasi teh butuh proses panjang. Karena itu, owner Sararea Tea and Coffee tersebut membulatkan tekadnya untuk terus mengampanyekan teh Nusantara. Sebab, Indonesia punya teh-teh terbaik dengan kualitas yang sudah diakui dunia.

Dalam waktu dekat, Wildan bertolak ke Jepang. Di Negeri Sakura itu, dia akan menempuh pendidikan doktoral. Tapi, lelaki gondrong yang kadung cinta mati pada teh tersebut juga akan memanfaatkan masa studinya untuk mempromosikan teh Nusantara. Di dalam atau di luar negeri, menurut dia, kampanye teh harus jalan terus.

”Capek pasti ada, tapi saya tidak pernah berpikir untuk berhenti. Saya yakin ada keindahan yang sedang menanti di depan,’’ tandas Wildan.

Terpopuler

Artikel Terbaru