29.1 C
Jakarta
Wednesday, April 16, 2025

Fahri Desak DPR Revisi UU MD3 soal Nomenklatur Pelantikan Presiden

Nomenklatur pelantikan
presiden menjadi sumpah atau janji jabatan presiden dan wakil presiden menuai
kritikan dari pakar. Pasalnya dinilai kurang tepat dan tidak sejalan dengan
konstitusi.

Salah satu yang ikut
mendesak agar segera direvisi adalah, Pakar hukum tata negara Fahri Bachmid. Ia
mendorong DPR segera merevisi UU MD3 soal nomenklatur itu.

Sebab, menurut Fahri,
penggunaan nomenklatur pelantikan presiden-wapres masa jabatan periode
2019-2024 pada 20 Oktober 2019 oleh MPR, dianggap kurang tepat dan tidak
sejalan dengan konstitusi.

Menurut Fahri, istilah
pelantikan tidak dikenal dalam pranata ketentuan pasal 9 ayat (1) UUD NRI Tahun
1945 hasil amendemen pertama, khususnya ayat satu.

“Sebelum memangku
jabatannya, presiden dan wakil presiden bersumpah menurut agama atau berjanji
dengan sungguh-sungguh di hadapan MPR atau DPR sebagai berikut. Selanjutnya
ayat dua, jika MPR atau DPR tidak dapat mengadakan sidang, presiden dan wakil
presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di
hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung,” ujar
Fahri dalam keterangan tertulisnya pada JawaPos.com, Senin (21/10).

Baca Juga :  Petahana Miliki Peluang Besar, Abdul Razak : Kami Berharap Wakilnya

Menurut Fahri, secara
teknis, pembentuk undang-undang secara tidak cermat telah membuat konsep dan
nomenklatur pelantikan presiden dan wakil presiden sebagaimana terdapat dalam
ketentuan pasal 33, 34 dan 35 UU RI No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan
DPRD Jo. UU RI No. 42 Tahun 2014 Jo. UU RI No. 2 Tahun 2018 Jo. UU RI No. 13
Tahun 2019 Tentang Perubahan ketiga atas UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR,
DPD dan DPRD.

Fahri menambahkan,
secara teoretis, pascaamendemen UUD tahun 1945, mekanisme ketatanegaraan telah
berubah, baik secara paradigmatik maupun konstitusional, kelembagaan MPR tidak
lagi bersifat hierarkis.

Artinya, kata Fahri,
kelembagaan MPR adalah setara atau sejajar dengan kelembagaan presiden. Dengan
demikian, konsekuensi ketatanegaraannya tidak tepat jika MPR melakukan tindakan
melantik atau pelantikan presiden seperti waktu Indonesia masih menganut paham
supremasi MPR sebelum amendemen konstitusi.

Baca Juga :  Insyaallah, Dalam Waktu Dekat PAN Pastikan Segera Rapat Penetapan Ketu

“Namun, yang sesungguhnya
MPR hanyalah menyaksikan pengucapan sumpah jabatan presiden dan wakil presiden
sebagaimana telah ditentukan secara limitatif oleh konstitusi,” tambah Fahri.

Artinya, lanjut Fahri,
ke depan sudah menjadi tugas konstitusional DPR untuk meninjau dan meluruskan
konsep sumpah jabatan presiden dengan melakukan revisi atas ketentuan pasal 33
UU No.17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.

“Tujuannya agar
sejalan dan sebangun dengan spirit rumusan ketentuan pasal 9 ayat (1) dan (2)
UUD NRI Tahun 1945, dan praktik ketatanegaraan kita menjadi linier dengan
sistem pemerintahan presidensial yang kita anut saat ini,” papar Fahri.(jpg)

 

Nomenklatur pelantikan
presiden menjadi sumpah atau janji jabatan presiden dan wakil presiden menuai
kritikan dari pakar. Pasalnya dinilai kurang tepat dan tidak sejalan dengan
konstitusi.

Salah satu yang ikut
mendesak agar segera direvisi adalah, Pakar hukum tata negara Fahri Bachmid. Ia
mendorong DPR segera merevisi UU MD3 soal nomenklatur itu.

Sebab, menurut Fahri,
penggunaan nomenklatur pelantikan presiden-wapres masa jabatan periode
2019-2024 pada 20 Oktober 2019 oleh MPR, dianggap kurang tepat dan tidak
sejalan dengan konstitusi.

Menurut Fahri, istilah
pelantikan tidak dikenal dalam pranata ketentuan pasal 9 ayat (1) UUD NRI Tahun
1945 hasil amendemen pertama, khususnya ayat satu.

“Sebelum memangku
jabatannya, presiden dan wakil presiden bersumpah menurut agama atau berjanji
dengan sungguh-sungguh di hadapan MPR atau DPR sebagai berikut. Selanjutnya
ayat dua, jika MPR atau DPR tidak dapat mengadakan sidang, presiden dan wakil
presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di
hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung,” ujar
Fahri dalam keterangan tertulisnya pada JawaPos.com, Senin (21/10).

Baca Juga :  Petahana Miliki Peluang Besar, Abdul Razak : Kami Berharap Wakilnya

Menurut Fahri, secara
teknis, pembentuk undang-undang secara tidak cermat telah membuat konsep dan
nomenklatur pelantikan presiden dan wakil presiden sebagaimana terdapat dalam
ketentuan pasal 33, 34 dan 35 UU RI No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan
DPRD Jo. UU RI No. 42 Tahun 2014 Jo. UU RI No. 2 Tahun 2018 Jo. UU RI No. 13
Tahun 2019 Tentang Perubahan ketiga atas UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR,
DPD dan DPRD.

Fahri menambahkan,
secara teoretis, pascaamendemen UUD tahun 1945, mekanisme ketatanegaraan telah
berubah, baik secara paradigmatik maupun konstitusional, kelembagaan MPR tidak
lagi bersifat hierarkis.

Artinya, kata Fahri,
kelembagaan MPR adalah setara atau sejajar dengan kelembagaan presiden. Dengan
demikian, konsekuensi ketatanegaraannya tidak tepat jika MPR melakukan tindakan
melantik atau pelantikan presiden seperti waktu Indonesia masih menganut paham
supremasi MPR sebelum amendemen konstitusi.

Baca Juga :  Insyaallah, Dalam Waktu Dekat PAN Pastikan Segera Rapat Penetapan Ketu

“Namun, yang sesungguhnya
MPR hanyalah menyaksikan pengucapan sumpah jabatan presiden dan wakil presiden
sebagaimana telah ditentukan secara limitatif oleh konstitusi,” tambah Fahri.

Artinya, lanjut Fahri,
ke depan sudah menjadi tugas konstitusional DPR untuk meninjau dan meluruskan
konsep sumpah jabatan presiden dengan melakukan revisi atas ketentuan pasal 33
UU No.17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.

“Tujuannya agar
sejalan dan sebangun dengan spirit rumusan ketentuan pasal 9 ayat (1) dan (2)
UUD NRI Tahun 1945, dan praktik ketatanegaraan kita menjadi linier dengan
sistem pemerintahan presidensial yang kita anut saat ini,” papar Fahri.(jpg)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru