32.5 C
Jakarta
Monday, April 7, 2025

Mendagri: Pilkada Langsung Harus Dievaluasi

JAKARTA – Evaluasi pelaksanaan Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada) secara langsung diminta segera dilakukan. Pembahasan harus
dilakukan berdasarkan kajian. Bukan atas pengalaman yang selama ini dilakukan.
Salah satu yang diwacanakan adalah Pilkada Asimetris. Dimana tidak semua daerah
menggelar pilkada secara langsung. Artinya hanya sejumlah wilayah tertentu
saja.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyampaikan perlu adanya
kajian akademis secara mendalam terkait pelaksanaan Pilkada langsung. Ia
menilai, diperlukan metode penelitian untuk mengevaluasi pelaksanaan Pilkada
secara langsung melalui institusi yang kredibel.

“Saya garis bawahi pernyataan saya. Bahwa pelaksanaan Pilkada langsung
harus dievaluasi. Semua kebijakan publik apalagi menyangkut masyarakat banyak,
menyangkut sistem pemilihan, itu juga perlu dievaluasi setelah berapa lama. Nah
kemudian evaluasi itu harus dilakukan dengan mekanisme evaluasi kajian
akademik. Jangan kajian empirik berdasarkan pemikiran semata,” kata Tito di
gedung parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11).

Menurut Tito, setidaknya, diperlukan tiga sampai empat kajian lembaga
penting yang terkenal untuk melihat hasilnya. Bisa saja temuan nanti menyatakan
bahwa publik lebih sepakat dengan Pilkada langsung. “Kita otomatis why not
(kenapa tidak, Red). Ini adalah suara rakyat. Tapi kalau nanti kajian akademik
hasilnya tidak perlu Pilkada langsung, maka Pilkada Asimetris juga jadi
pertimbangan,” jelasnya.

Baca Juga :  8 Tokoh KAMI Ditangkap, 5 Sudah Jadi Tersangka dan Ditahan

Dia menjelaskan metode pelaksanaan Pilkada Asimetris. Yakni hanya di
kota-kota tertentu yang melaksanakan Pilkada langsung. Itupun perlu
dipersiapkan analisis lebih lanjut seperti indeks kedewasaan dalam
berdemokrasi.

“Asimetris itu artinya tidak semuanya Pilkada Langsung. Maka perlu dibuat
indeks kedewasaan demokrasi tiap-tiap daerah. Saya sudah bicara dengan Kepala
Pusat Statistik dan Kepala Balitbang di Kemendagri untuk menggunakan anggaran
itu untuk mencoba melihat indeks demokrasi. Daerah mana saja yang siap
melaksanakan Pilkada langsung dan tidak,” jelasnya.

Dengan demikian, Kemendagri tidak pada posisi dalam mengambil keputusan
memilih sistem Pilkada langsung, tidak langsung, atau asimetris. Namun
diperlukan kajian akademis dalam menganalisis dan mengevaluasi pelaksanaan
Pilkada secara langsung yang telah berlangsung dalam kurun waktu 15 tahun ini.

Baca Juga :  PDIP Usung Halikin-Irawati di Pilbup Kotim

Pakar Komunikasi Politik Emrus Sihombing sepakat jika dilakukan evaluasi pilkada
langsung. Menurutnya, pemilihan kepala daerah secara tidak langsung atau
melalui DPRD akan lebih efektif dan menekan biaya politik.

Ia menyarankan, jika pemilihan diserahkan oleh rakyat untuk memilih atau
one man one vote, bisa disebut mengarah ke liberal. Menurutnya, berdasarkan
sila keempat pancasila, pemilihan bisa dilakukan secara keterwakilan.

“Hanya saja, jangan secara musyawarah mufakat. Tetapi tetap memilih. Jadi
pemilihan oleh legislatif bisa dilakukan di rumah secara tertutup atau diberikan
satu suara setiap anggota legislatif. Jadi tetap rahasia,” kata Emrus kepada
Fajar Indonesia Network (FIN) di Jakarta, Senin (18/11).

Akademisi Universitas Pelita Harapan ini menambahkan, dengan dilakukannya
Pilkada tak langsung, beban biaya politik bisa ditekan. Seperti kampanye yang
memakan biaya besar tidak akan terjadi. Sehingga mereka yang kompeten tetapi
tidak memiliki dana, bisa maju Pilkada.
(khf/fin/rh/kpc)

JAKARTA – Evaluasi pelaksanaan Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada) secara langsung diminta segera dilakukan. Pembahasan harus
dilakukan berdasarkan kajian. Bukan atas pengalaman yang selama ini dilakukan.
Salah satu yang diwacanakan adalah Pilkada Asimetris. Dimana tidak semua daerah
menggelar pilkada secara langsung. Artinya hanya sejumlah wilayah tertentu
saja.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyampaikan perlu adanya
kajian akademis secara mendalam terkait pelaksanaan Pilkada langsung. Ia
menilai, diperlukan metode penelitian untuk mengevaluasi pelaksanaan Pilkada
secara langsung melalui institusi yang kredibel.

“Saya garis bawahi pernyataan saya. Bahwa pelaksanaan Pilkada langsung
harus dievaluasi. Semua kebijakan publik apalagi menyangkut masyarakat banyak,
menyangkut sistem pemilihan, itu juga perlu dievaluasi setelah berapa lama. Nah
kemudian evaluasi itu harus dilakukan dengan mekanisme evaluasi kajian
akademik. Jangan kajian empirik berdasarkan pemikiran semata,” kata Tito di
gedung parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11).

Menurut Tito, setidaknya, diperlukan tiga sampai empat kajian lembaga
penting yang terkenal untuk melihat hasilnya. Bisa saja temuan nanti menyatakan
bahwa publik lebih sepakat dengan Pilkada langsung. “Kita otomatis why not
(kenapa tidak, Red). Ini adalah suara rakyat. Tapi kalau nanti kajian akademik
hasilnya tidak perlu Pilkada langsung, maka Pilkada Asimetris juga jadi
pertimbangan,” jelasnya.

Baca Juga :  8 Tokoh KAMI Ditangkap, 5 Sudah Jadi Tersangka dan Ditahan

Dia menjelaskan metode pelaksanaan Pilkada Asimetris. Yakni hanya di
kota-kota tertentu yang melaksanakan Pilkada langsung. Itupun perlu
dipersiapkan analisis lebih lanjut seperti indeks kedewasaan dalam
berdemokrasi.

“Asimetris itu artinya tidak semuanya Pilkada Langsung. Maka perlu dibuat
indeks kedewasaan demokrasi tiap-tiap daerah. Saya sudah bicara dengan Kepala
Pusat Statistik dan Kepala Balitbang di Kemendagri untuk menggunakan anggaran
itu untuk mencoba melihat indeks demokrasi. Daerah mana saja yang siap
melaksanakan Pilkada langsung dan tidak,” jelasnya.

Dengan demikian, Kemendagri tidak pada posisi dalam mengambil keputusan
memilih sistem Pilkada langsung, tidak langsung, atau asimetris. Namun
diperlukan kajian akademis dalam menganalisis dan mengevaluasi pelaksanaan
Pilkada secara langsung yang telah berlangsung dalam kurun waktu 15 tahun ini.

Baca Juga :  PDIP Usung Halikin-Irawati di Pilbup Kotim

Pakar Komunikasi Politik Emrus Sihombing sepakat jika dilakukan evaluasi pilkada
langsung. Menurutnya, pemilihan kepala daerah secara tidak langsung atau
melalui DPRD akan lebih efektif dan menekan biaya politik.

Ia menyarankan, jika pemilihan diserahkan oleh rakyat untuk memilih atau
one man one vote, bisa disebut mengarah ke liberal. Menurutnya, berdasarkan
sila keempat pancasila, pemilihan bisa dilakukan secara keterwakilan.

“Hanya saja, jangan secara musyawarah mufakat. Tetapi tetap memilih. Jadi
pemilihan oleh legislatif bisa dilakukan di rumah secara tertutup atau diberikan
satu suara setiap anggota legislatif. Jadi tetap rahasia,” kata Emrus kepada
Fajar Indonesia Network (FIN) di Jakarta, Senin (18/11).

Akademisi Universitas Pelita Harapan ini menambahkan, dengan dilakukannya
Pilkada tak langsung, beban biaya politik bisa ditekan. Seperti kampanye yang
memakan biaya besar tidak akan terjadi. Sehingga mereka yang kompeten tetapi
tidak memiliki dana, bisa maju Pilkada.
(khf/fin/rh/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru