PROKALTENG.CO – Pidato politik calon presiden (capres) Ganjar Pranowo di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai memberikan penekanan secara tegas dan kontekstual terkait dengan proses demokrasi di Indonesia saat ini. Dalam pidatonya, Ganjar mengatakan momen politik kali ini ditandai semacam pelemahan atas kondisi demokrasi.
“Sepertinya hal ini berhubungan dengan kontroversi terkait indikasi instrumentalisasi hukum bagi kepentingan kekuasaan dan terjadinya conflict of interest dari Ketua Hakim MK Anwar Usman dalam gugatan pasal yang disetujui yang memberi ruang bagi pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai kandidat wakil presiden Prabowo Subianto,” kata pengamat politik Airlangga Pribadi dalam keterangannya, Kamis (16/11).
Ia menyebut, skandal yang melibatkan mantan Ketua MK Anwar Usman telah merendahkan kepercayaan publik terhadap integritas pemilu, yang diharapkan bisa berlangsung secara jujur dan adil, serta bebas dari intervensi atau cawe-cawe aparat.
Hal ini menyebabkan harapan atas momen pilpres untuk menuju Persatuan Indonesia, sesuai dengan sila ketiga Pancasila dan nomor urut pasangan Ganjar-Mahfud melalui politik yang riang gembira, terciderai dengan suguhan drama korea (drakor) yang membuat demokrasi di Indonesia tidak sedang baik-baik saja.
Sementara, kedua pasangan lainnya yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar maupun Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, secara normatif sama-sama menekankan tentang pemilu yang fair dan bebas kecurangan.
Dalam pidato Muhaimin Iskandar, lanjut Airlangga, Cak Imin menegaskan tentang pentingnya sportifitas dalam pilpres mendatang, layaknya pertandingan bola. Dimana penonton adalah warga yang bersuara dan mencatat apabila terjadi kecurangan.
Sementara pidato yang disampaikan Prabowo Subianto menekankan pentingnya pemilu yang berlangsung secara adil dan tanpa kecurangan. Ia menyinggung, pernyataan Prabowo Subianto tersebut.
“Keterlibatan ini menimbulkan kontradiksi antara penegasan yang disampaikan dan realitas politik yang terjadi,” ungkapnya.
Apalagi, Gibran tampil menjadi cawapres dalam proses politik yang dinilai lahir melalui proses yuridis yang cacat etis. Sehingga, hal ini memunculkan kontradiksi antara penegasan yang disampaikan dengan realitas politik yang terjadi.
“Tekanan pada pentingnya merawat demokrasi agar dinamika politik kita tidak mundur kebelakang pada jaman ketertutupan otoritarianisme merupakan point yang penting dalam proses elektoral 2024,” pungkas Airlangga. (pri/jawapos.com)