27.1 C
Jakarta
Saturday, November 23, 2024

Kemendagri Beberkan Tiga Tantangan Besar Politik 2020

JAKARTA – Akhir 2019 lalu, kondisi politik
Indonesia masih dilihat oleh sebagian masyarakat stagnan. Kementerian Dalam
Negeri (Kemendagri) memprediksi, pada 2020, kondisi politik akan sangat
dinamis. Indeks Demokrasi Indonesia memiliki tren terus naik. Pada 2020, akan
ada perbaikan sistem politik dan pendidikan politik yang berjalan di
masyarakat. Sehingga kondisi politik akan sangat dinamis.

Pelaksana Tugas Dirjen Politik dan Pemerintahan Umun Kemendagri, Bahtiar
menjelaskan, pendidikan politik masyarakat akan meningkat dengan
dilaksanakannya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak Tahun 2020
mendatang. Pilkada dimaksud akan melibatkan sekitar 107 juta pemilih atau 68
persen dari total DPT Pemilu 2019.

“Pilkada serentak akan membuat masyarakat semakin dewasa dalam berpolitik.
Akan muncul pertarungan ide dan gagasan di ruang publik maupun parlemen. Ini
sebagai bagian dari pendidikan politik bagi masyarakat,” kata Bahtiar di
Jakarta, Rabu (1/1).

Menjelang Pilkada 2020, Bahtiar menegaskan akan ada tiga tantangan besar.
Pertama adalah Integritas, profesionalisme dan manajemen tata kelola Pemilu. Di
tingkat kecamatan, desa/kelurahan dan di TPS membutuhkan diperkirakan
setidaknya tiga juta orang penyelenggara pemilu ad hoc yang tersebar pada 270
daerah yang akan Pilkada.

“Proses rekrutment penyelenggara yang berintegritas menjadi faktor utama
dalam menjamin kualitas penyelenggaraan Pemilu. Sehingga kami berharap
masyarakat dan pers ikut serta mengawasi jalannya proses tersebut,” bebernya.

Ia juga menyoroti media sosial sebagai potensi sumber konflik. Melihat
pengalaman di pelaksanaan Pemilu 2019, Bahtiar meminta masyarakat tidak
terprovokasi terhadap konten yang tak jelas sumbernya.

Baca Juga :  Rektor UPR: Perbedaan karena Pemilu Sudah Selesai, Saatnya Kembali Ber

“Penyelenggara Pemilu harus transparan dan menjadikan media sosial sebagai
tempat publikasi utama. Sehingga masyarakat dapat menerima informasi secara
cepat, akurat dan dapat dipertanggungjawabkan,” tegas Bahtiar.

Ketiga, adalah politik identitas sebagai sumber konflik. Bahtiar
beranggapan, kontestasi Pilkada merupakan pertandingan antar figur – figur yang
memiliki berbagai prestasi dan latar belakang yang beragam. Upaya merebut
simpati dan membangun citra diri seringkali menimbulkan fanatisme berlebihan di
kalangan pemilih. Fanatisme tersebut jika tidak dikendalikan akan bergeser ke
fanatisme suku, agama, ras, profesi, golongan dan lain – lain.

“Politik Identitas sangat berbahaya. Pentingnya pendidikan politik kepada
masyarakat penting agar tidak terulang hal – hal atau dampak negatif dalam
pelaksanaan Pemilu dan Pilkada sebelumnya,” ucapnya.

Selain Pilkada serentak 2020, akan terjadi dinamika politik lain yang tidak
kalah menyita perhatian publik. Beberapa yang akan terjadi adalah pembahasan UU
Pemilu, UU Partai Politik, UU Pilkada, UU MD3, dan UU Pemda. Kemungkinan
nantinya akan dilaksanakan simplifikasi atau penyederhanaan atau omnibus law
regulasi bidang politik. “Penyederhaaan regulasi di bidang politik bertujuan
untuk menata sistem politik agar lebih baik dan lebih sehat”, lanjut Bahtiar

Dia menegaskan, tidak benar bila 2020 kondisi politik akan stagnan.
Sebaliknya justru akan sangat dinamis. Bahtiar mengungkapkan pekerjaan paling
besar adalah soal pendidikan politik. Pendidikan politik menurutnya melibatkan
banyak faktor dan memiliki aspek yang sangat luas. “Kesuksesan dari pendidikan
politik bukan hanya dari tingkat partisipasi masyarakat datang ke TPS untuk
mencoblos. Namun lebih dari itu, bagaimana pemilih dapat mencoblos calon kepala
daerah dengan pertimbangan objektif dan rasional. Harapannya kepala daerah yang
terpilih adalah pemimpin yang memiliki kompetensi, integritas, kapabilitas,
leadership, dan pemimpin perubahan 5 Tahun ke depan,” papar Bahtiar.

Baca Juga :  Ayo Menanam Sayuran dengan Hidroponik, Fajar : Mampu Memenuhi Kebutuha

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menyebut
pemerintah perlu mengambil langkah serius dan fundamental memasuki tahun 2020.
Siti mengakui ketimpangan ekonomi dan kemiskinan menjadi masalah yang perlu
segera diselesaikan.

“Ke depan akan suram. Kita harus mengatakan itu terutama kalau berkaitan
dengan politik,” ujar Siti. Ia menegaskan, permasalahan Indonesia bukan cuma
radikalisme.

Ia menekankan pokok persoalan terjadinya gejolak yang terjadi belakangan
ini adalah persoalan ketimpangan sosial akibat stagnasi perekonomian global
yang serius. Siti melihat ada ketidakadilan ekonomi yang dirasakan oleh
penduduk Indonesia. Dia menjelaskan mengenai angka kemiskinan dan pengangguran
yang masih signifikan.

“Tidak jauh dari Ibu Kota Negara ini (Jakarta, Red), yaitu di Provinsi
Banten. Penganggurannya paling tinggi. Pasti kemiskinan demikian juga,”
jelasnya.

Menurut Siti, ke depan yang harus dipikirkan pemerintah adalah bagaimana
mengentaskan kemiskinan. Hal ini penting, supaya disharmoni di tengah
masyarakat juga terobati.
(khf/fin/rh/kpc)

JAKARTA – Akhir 2019 lalu, kondisi politik
Indonesia masih dilihat oleh sebagian masyarakat stagnan. Kementerian Dalam
Negeri (Kemendagri) memprediksi, pada 2020, kondisi politik akan sangat
dinamis. Indeks Demokrasi Indonesia memiliki tren terus naik. Pada 2020, akan
ada perbaikan sistem politik dan pendidikan politik yang berjalan di
masyarakat. Sehingga kondisi politik akan sangat dinamis.

Pelaksana Tugas Dirjen Politik dan Pemerintahan Umun Kemendagri, Bahtiar
menjelaskan, pendidikan politik masyarakat akan meningkat dengan
dilaksanakannya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak Tahun 2020
mendatang. Pilkada dimaksud akan melibatkan sekitar 107 juta pemilih atau 68
persen dari total DPT Pemilu 2019.

“Pilkada serentak akan membuat masyarakat semakin dewasa dalam berpolitik.
Akan muncul pertarungan ide dan gagasan di ruang publik maupun parlemen. Ini
sebagai bagian dari pendidikan politik bagi masyarakat,” kata Bahtiar di
Jakarta, Rabu (1/1).

Menjelang Pilkada 2020, Bahtiar menegaskan akan ada tiga tantangan besar.
Pertama adalah Integritas, profesionalisme dan manajemen tata kelola Pemilu. Di
tingkat kecamatan, desa/kelurahan dan di TPS membutuhkan diperkirakan
setidaknya tiga juta orang penyelenggara pemilu ad hoc yang tersebar pada 270
daerah yang akan Pilkada.

“Proses rekrutment penyelenggara yang berintegritas menjadi faktor utama
dalam menjamin kualitas penyelenggaraan Pemilu. Sehingga kami berharap
masyarakat dan pers ikut serta mengawasi jalannya proses tersebut,” bebernya.

Ia juga menyoroti media sosial sebagai potensi sumber konflik. Melihat
pengalaman di pelaksanaan Pemilu 2019, Bahtiar meminta masyarakat tidak
terprovokasi terhadap konten yang tak jelas sumbernya.

Baca Juga :  Rektor UPR: Perbedaan karena Pemilu Sudah Selesai, Saatnya Kembali Ber

“Penyelenggara Pemilu harus transparan dan menjadikan media sosial sebagai
tempat publikasi utama. Sehingga masyarakat dapat menerima informasi secara
cepat, akurat dan dapat dipertanggungjawabkan,” tegas Bahtiar.

Ketiga, adalah politik identitas sebagai sumber konflik. Bahtiar
beranggapan, kontestasi Pilkada merupakan pertandingan antar figur – figur yang
memiliki berbagai prestasi dan latar belakang yang beragam. Upaya merebut
simpati dan membangun citra diri seringkali menimbulkan fanatisme berlebihan di
kalangan pemilih. Fanatisme tersebut jika tidak dikendalikan akan bergeser ke
fanatisme suku, agama, ras, profesi, golongan dan lain – lain.

“Politik Identitas sangat berbahaya. Pentingnya pendidikan politik kepada
masyarakat penting agar tidak terulang hal – hal atau dampak negatif dalam
pelaksanaan Pemilu dan Pilkada sebelumnya,” ucapnya.

Selain Pilkada serentak 2020, akan terjadi dinamika politik lain yang tidak
kalah menyita perhatian publik. Beberapa yang akan terjadi adalah pembahasan UU
Pemilu, UU Partai Politik, UU Pilkada, UU MD3, dan UU Pemda. Kemungkinan
nantinya akan dilaksanakan simplifikasi atau penyederhanaan atau omnibus law
regulasi bidang politik. “Penyederhaaan regulasi di bidang politik bertujuan
untuk menata sistem politik agar lebih baik dan lebih sehat”, lanjut Bahtiar

Dia menegaskan, tidak benar bila 2020 kondisi politik akan stagnan.
Sebaliknya justru akan sangat dinamis. Bahtiar mengungkapkan pekerjaan paling
besar adalah soal pendidikan politik. Pendidikan politik menurutnya melibatkan
banyak faktor dan memiliki aspek yang sangat luas. “Kesuksesan dari pendidikan
politik bukan hanya dari tingkat partisipasi masyarakat datang ke TPS untuk
mencoblos. Namun lebih dari itu, bagaimana pemilih dapat mencoblos calon kepala
daerah dengan pertimbangan objektif dan rasional. Harapannya kepala daerah yang
terpilih adalah pemimpin yang memiliki kompetensi, integritas, kapabilitas,
leadership, dan pemimpin perubahan 5 Tahun ke depan,” papar Bahtiar.

Baca Juga :  Ayo Menanam Sayuran dengan Hidroponik, Fajar : Mampu Memenuhi Kebutuha

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menyebut
pemerintah perlu mengambil langkah serius dan fundamental memasuki tahun 2020.
Siti mengakui ketimpangan ekonomi dan kemiskinan menjadi masalah yang perlu
segera diselesaikan.

“Ke depan akan suram. Kita harus mengatakan itu terutama kalau berkaitan
dengan politik,” ujar Siti. Ia menegaskan, permasalahan Indonesia bukan cuma
radikalisme.

Ia menekankan pokok persoalan terjadinya gejolak yang terjadi belakangan
ini adalah persoalan ketimpangan sosial akibat stagnasi perekonomian global
yang serius. Siti melihat ada ketidakadilan ekonomi yang dirasakan oleh
penduduk Indonesia. Dia menjelaskan mengenai angka kemiskinan dan pengangguran
yang masih signifikan.

“Tidak jauh dari Ibu Kota Negara ini (Jakarta, Red), yaitu di Provinsi
Banten. Penganggurannya paling tinggi. Pasti kemiskinan demikian juga,”
jelasnya.

Menurut Siti, ke depan yang harus dipikirkan pemerintah adalah bagaimana
mengentaskan kemiskinan. Hal ini penting, supaya disharmoni di tengah
masyarakat juga terobati.
(khf/fin/rh/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru