26.1 C
Jakarta
Wednesday, April 2, 2025

Waduh! Indonesia Diproyeksi Defisit Energi 2021

JAKARTA – Defisit migas memang pada pada dasarnya tidak bisa
dihindari oleh pemerintah Indoensia kaena kebutuhan migas lebih tinggi
dibanding produksi. Defisit migas mulai terjadi pada 2012 dan puncaknya pada
tahun 2018.

Ekonom seinor Institute for
Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri menceritakan kilas
balik bahwa Indonesia pernah menjadi negara pengekspor mintak terkemuka di
dunia dan pengekspor gas alam terbesar di dunia. Namun sejak 2013 Indonesia
mengalami defisit minyak mentah (crude oil).

“Artinya sejak 2013, impor minyak
mentah lebih besar dari ekspor minska mental. Defisit BBM Sudah jauh lebih
lama, yaitu sejak 1996,” kata Faisal saat diksusi online bertajuk ‘Problem
Defisit Migas dan PR ke Depan’,
 Minggu (28/7).

Lanjut dia, jika bicara energi,
Indonesia sejauh ini masih surplus karena ditolong oleh batu bara. Tahun 2018
ekspor batu bara mencapai 20,6 miliar dolar AS, sehingga transaksi energi
secara keseluruhan masih surplus 8,2 miliar dolar AS.

Namun, menurut dia, pemerintah
harus waspada karena defisit energi sudah di depan mata. Mulai 2021diperkirakan
Indonesia bakal mengalami defisit energi.

“Defisit energi akan
mengakselerasi jika kita tidak melakukan apa-apa (business as usual). Defisit
energi bisa mencapai 80 miliar dolar AS atau 3 persen PDB (Produk Domestik
Bruto) pada 2040,” ujar Faisal.

Dia menjelaskan skenario defisit
tersebut lantaran ada dua faktor utama, yakni pertama, konsumsi energi
Indonesia yang sekarang nomor empat terbesar di antara emerging markets, tumbuh
cukup tinggi yaki 4,9 persen tahun 2018 dan pertumbuhan penduduk masih di atas
1 persen. Kedua, produksi energi Indonesia terutama minyak dan gas turun secara
konsisten.

“Apakah biofuel jadi solusi?
Tampaknya tidak. Program B20/B30 secara langsung tentu saja mengurangi impor
solar sekitar 20-30 persen jika program itu terlaksana 100 persen. Namun,
ekspor CPO (Crude Palm Oil) tentu saja juga turun, sehingga efek netto-nya tak
sebesar yang dikatakan pemerintah,” tutur Faisal.

Menurut dia, bahwa program ini
dilatarbelakangi oleh tekanan Eropa atas sawit Indoensia, dan pemanfaatan
kapasitas produksi pabrik biofuel di Indonesia sangat rendah, hanya sekitar 35
persen. Adapun kata dia, pemain terbesar adalah Wilmar Group yang menguasai
hampir sepertiga kapasitas terpasang. Bisnis ini dijamin untung karena
memperoleh subsidi dari pemerintah lewat dana sawit.

Baca Juga :  Layanan Unggul, BRI Raih Penghargaan Asiamoney Trade Finance Survey 2023

“Hampir 100 persen dana sawit
mengalir ke pengusaha besar, tak sampai dua persen menetes ke petani sawit
untuk peremajaan,” ungkap dia.

Direktur Eksekutif Institute for
Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Achmad mencatat defisit
puncaknya terjadi pada 2014 di mana defisit migas mencapai 13,4 miliarr dolar
AS dan pada Januari-Juni 2019, defisit tersebut mencapai 4,78 miliar dolar AS.
Jumlah periode ini dibandingkan dengan periode Januari-Juni 2018 yang sebesar
5,61 miliar dolar as atau telah turun 14,88 persen.

“Meski demikian, melihat
perkiraan kebutuhan bulanan yang besar maka diperkirakan defisit migas hingga
akhir tahun 2019 akan tembuh di atas 10 miliar dolar AS. Ini artinya bahwa
defisit ini akan semakin terus terjadi sepanjang produksi migas kita tetap
rendah, sementara kebutuhan terus meningkat dengan semakin besarnya pertumbuhan
penduduk, baik pemanfaatannya untuk kendaraan bermotor, rumah tangga maupun
industri,” ujar Tauhid.

Nah menurut dia, jika dilihat
lebih dalam lagi maka impor migas hanya menyumbang sebagian kecil total impor.
Sepanjang tahun 2014 hingga 2018, impor migas rata-rata menyumbang komponen
impor secara kesuluruhan rata-rata sebesar 17,35 persen. Bahkan pada periode
Januari-Juni 2019, komponen impor migas hanya menyumbang 13,24 persen.

“Ini artinya komponen non migas
yang paling besar peranannya dalam struktur impor Indonesia atau dengan kata
lain, impor non migas paling banyak menyumbang defisit transaksi berjalan.
Meskipun menurun namun tetap saja hal ini akan memiliki pengaruh dalam menguras
cadangan devisa,” tutur Tauhid.

Dia menjelaskan, perkembangan
impor migas ini lebih dominan pada nilai impornya ketimbang volume impornya.
Hal terlihat bahwa volume impor tetap pada angka 49-50 juta ton pada periode
2013 hingga 2018 namun nilai impornya sangat bervariasi di mana pada tahun
2013, nilai impor berada pada 45,26 miliar dolar AS menjadi 29,8 miliar AS pada
2018.

“Ini artinya bahwa faktor harga
minyak mentah (dolar AS/barrel) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar as
menjadi faktor penentu naik turunnya nilai impor yang pada gilirannya menjadi
faktor penentu defisit migas dapat melonjak naik maupun turun,” jelas dia.

Baca Juga :  Peduli Pensiunan, PT Taspen Serahkan Bantuan Kursi Roda

Dia menyarankan untuk menekan
defisit tersebut, di luar soal harga ICP dan nilai tukar dolar AS, maka salah
satu kuncinya adalah meningkatkan produksi dalam negeri dan mengurangi impor.

“Pertama, peningkatan produksi
tampaknya masih butuh waktu panjang mengingat lelang blok migas dalam periode
2015-2016 tidak ada yang laku sementara tahun 2017-2019 telah laku 16 blok
dengan metode gross split,” kata dia.

“Kedua, mengurangi impor. Salah satunya
solar. Tentu saja penghentian impor solar juga salah satu kunci, termasuk
penggunaan biodesel B30 untuk ke depannya. Namun ini akan berhasil apabila
industri juga turut mendukung, seperti peralihan industri ataupun kendaraan
otomotif yang adapat adaptif menggunakan B30 tersebut mengingat tidak semua
mesin dapat menggunakan B30. Jangan sampai B30 digunakan namun terlampau mahal
investasi untuk mesin-mesin baru,” sambung Tauhid.

Sementara peneliti Indef, Abra
Talattov menyoroti terkait kinerja investasi Migas di Indonesia masih belum
memuaskan karena hingga Semester I 2019, realisasi investasi migas baru
mencapai 5,21 miliar dolar as atau 35 persen dari target 2019 14,79 miliar
dolar AS.

“Padahal investasi migas
merupakan syarat mutlak untuk dapat meningkatkan produksi migas nasional,
memperkuat ketahanan energi nasional dan sekaligus menambah sumber penerimaan
negara,” kata dia.

Catatan dia, sejak 2014,
investasi hulu migas selalu mengalami penurunan. Sementara itu, realisasi
investasi migas sepanjang 2018 tercatat tumbuh sebesar 14,9 persen menjadi
12,69 miliar dolar AS namun masih jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2014.
Jumlah tersebut terdiri atas investasi hulu migas sebesar 11,99 miliar dolar
as, tumbuh 16,85 persen dibanding tahun sebelumnya.

“Sementara investasi hilir
tercatat sebesar 689,66 juta dolar AS, turun 10,92 persen dibandingkan 2017.
Investasi hulu migas tahun 2018 juga hanya 84,65 persen dari target sebesar
14,75 miliar dolar AS,” pungkas Abra.

Badan Pusat Statistik (BPS)
mencatat neraca dagang Indonesia pada April 2019 adalah yang terburuk sepanjang
sejarah yakni mencapai 2,5 miliar dolar AS atau setara Rp36 triliun. Salah
satunya disebabkan kenaikan impir migas sebesar 46,99 persen dan non migas 7,82
persen. (din/fin/kpc)

JAKARTA – Defisit migas memang pada pada dasarnya tidak bisa
dihindari oleh pemerintah Indoensia kaena kebutuhan migas lebih tinggi
dibanding produksi. Defisit migas mulai terjadi pada 2012 dan puncaknya pada
tahun 2018.

Ekonom seinor Institute for
Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri menceritakan kilas
balik bahwa Indonesia pernah menjadi negara pengekspor mintak terkemuka di
dunia dan pengekspor gas alam terbesar di dunia. Namun sejak 2013 Indonesia
mengalami defisit minyak mentah (crude oil).

“Artinya sejak 2013, impor minyak
mentah lebih besar dari ekspor minska mental. Defisit BBM Sudah jauh lebih
lama, yaitu sejak 1996,” kata Faisal saat diksusi online bertajuk ‘Problem
Defisit Migas dan PR ke Depan’,
 Minggu (28/7).

Lanjut dia, jika bicara energi,
Indonesia sejauh ini masih surplus karena ditolong oleh batu bara. Tahun 2018
ekspor batu bara mencapai 20,6 miliar dolar AS, sehingga transaksi energi
secara keseluruhan masih surplus 8,2 miliar dolar AS.

Namun, menurut dia, pemerintah
harus waspada karena defisit energi sudah di depan mata. Mulai 2021diperkirakan
Indonesia bakal mengalami defisit energi.

“Defisit energi akan
mengakselerasi jika kita tidak melakukan apa-apa (business as usual). Defisit
energi bisa mencapai 80 miliar dolar AS atau 3 persen PDB (Produk Domestik
Bruto) pada 2040,” ujar Faisal.

Dia menjelaskan skenario defisit
tersebut lantaran ada dua faktor utama, yakni pertama, konsumsi energi
Indonesia yang sekarang nomor empat terbesar di antara emerging markets, tumbuh
cukup tinggi yaki 4,9 persen tahun 2018 dan pertumbuhan penduduk masih di atas
1 persen. Kedua, produksi energi Indonesia terutama minyak dan gas turun secara
konsisten.

“Apakah biofuel jadi solusi?
Tampaknya tidak. Program B20/B30 secara langsung tentu saja mengurangi impor
solar sekitar 20-30 persen jika program itu terlaksana 100 persen. Namun,
ekspor CPO (Crude Palm Oil) tentu saja juga turun, sehingga efek netto-nya tak
sebesar yang dikatakan pemerintah,” tutur Faisal.

Menurut dia, bahwa program ini
dilatarbelakangi oleh tekanan Eropa atas sawit Indoensia, dan pemanfaatan
kapasitas produksi pabrik biofuel di Indonesia sangat rendah, hanya sekitar 35
persen. Adapun kata dia, pemain terbesar adalah Wilmar Group yang menguasai
hampir sepertiga kapasitas terpasang. Bisnis ini dijamin untung karena
memperoleh subsidi dari pemerintah lewat dana sawit.

Baca Juga :  Layanan Unggul, BRI Raih Penghargaan Asiamoney Trade Finance Survey 2023

“Hampir 100 persen dana sawit
mengalir ke pengusaha besar, tak sampai dua persen menetes ke petani sawit
untuk peremajaan,” ungkap dia.

Direktur Eksekutif Institute for
Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Achmad mencatat defisit
puncaknya terjadi pada 2014 di mana defisit migas mencapai 13,4 miliarr dolar
AS dan pada Januari-Juni 2019, defisit tersebut mencapai 4,78 miliar dolar AS.
Jumlah periode ini dibandingkan dengan periode Januari-Juni 2018 yang sebesar
5,61 miliar dolar as atau telah turun 14,88 persen.

“Meski demikian, melihat
perkiraan kebutuhan bulanan yang besar maka diperkirakan defisit migas hingga
akhir tahun 2019 akan tembuh di atas 10 miliar dolar AS. Ini artinya bahwa
defisit ini akan semakin terus terjadi sepanjang produksi migas kita tetap
rendah, sementara kebutuhan terus meningkat dengan semakin besarnya pertumbuhan
penduduk, baik pemanfaatannya untuk kendaraan bermotor, rumah tangga maupun
industri,” ujar Tauhid.

Nah menurut dia, jika dilihat
lebih dalam lagi maka impor migas hanya menyumbang sebagian kecil total impor.
Sepanjang tahun 2014 hingga 2018, impor migas rata-rata menyumbang komponen
impor secara kesuluruhan rata-rata sebesar 17,35 persen. Bahkan pada periode
Januari-Juni 2019, komponen impor migas hanya menyumbang 13,24 persen.

“Ini artinya komponen non migas
yang paling besar peranannya dalam struktur impor Indonesia atau dengan kata
lain, impor non migas paling banyak menyumbang defisit transaksi berjalan.
Meskipun menurun namun tetap saja hal ini akan memiliki pengaruh dalam menguras
cadangan devisa,” tutur Tauhid.

Dia menjelaskan, perkembangan
impor migas ini lebih dominan pada nilai impornya ketimbang volume impornya.
Hal terlihat bahwa volume impor tetap pada angka 49-50 juta ton pada periode
2013 hingga 2018 namun nilai impornya sangat bervariasi di mana pada tahun
2013, nilai impor berada pada 45,26 miliar dolar AS menjadi 29,8 miliar AS pada
2018.

“Ini artinya bahwa faktor harga
minyak mentah (dolar AS/barrel) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar as
menjadi faktor penentu naik turunnya nilai impor yang pada gilirannya menjadi
faktor penentu defisit migas dapat melonjak naik maupun turun,” jelas dia.

Baca Juga :  Peduli Pensiunan, PT Taspen Serahkan Bantuan Kursi Roda

Dia menyarankan untuk menekan
defisit tersebut, di luar soal harga ICP dan nilai tukar dolar AS, maka salah
satu kuncinya adalah meningkatkan produksi dalam negeri dan mengurangi impor.

“Pertama, peningkatan produksi
tampaknya masih butuh waktu panjang mengingat lelang blok migas dalam periode
2015-2016 tidak ada yang laku sementara tahun 2017-2019 telah laku 16 blok
dengan metode gross split,” kata dia.

“Kedua, mengurangi impor. Salah satunya
solar. Tentu saja penghentian impor solar juga salah satu kunci, termasuk
penggunaan biodesel B30 untuk ke depannya. Namun ini akan berhasil apabila
industri juga turut mendukung, seperti peralihan industri ataupun kendaraan
otomotif yang adapat adaptif menggunakan B30 tersebut mengingat tidak semua
mesin dapat menggunakan B30. Jangan sampai B30 digunakan namun terlampau mahal
investasi untuk mesin-mesin baru,” sambung Tauhid.

Sementara peneliti Indef, Abra
Talattov menyoroti terkait kinerja investasi Migas di Indonesia masih belum
memuaskan karena hingga Semester I 2019, realisasi investasi migas baru
mencapai 5,21 miliar dolar as atau 35 persen dari target 2019 14,79 miliar
dolar AS.

“Padahal investasi migas
merupakan syarat mutlak untuk dapat meningkatkan produksi migas nasional,
memperkuat ketahanan energi nasional dan sekaligus menambah sumber penerimaan
negara,” kata dia.

Catatan dia, sejak 2014,
investasi hulu migas selalu mengalami penurunan. Sementara itu, realisasi
investasi migas sepanjang 2018 tercatat tumbuh sebesar 14,9 persen menjadi
12,69 miliar dolar AS namun masih jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2014.
Jumlah tersebut terdiri atas investasi hulu migas sebesar 11,99 miliar dolar
as, tumbuh 16,85 persen dibanding tahun sebelumnya.

“Sementara investasi hilir
tercatat sebesar 689,66 juta dolar AS, turun 10,92 persen dibandingkan 2017.
Investasi hulu migas tahun 2018 juga hanya 84,65 persen dari target sebesar
14,75 miliar dolar AS,” pungkas Abra.

Badan Pusat Statistik (BPS)
mencatat neraca dagang Indonesia pada April 2019 adalah yang terburuk sepanjang
sejarah yakni mencapai 2,5 miliar dolar AS atau setara Rp36 triliun. Salah
satunya disebabkan kenaikan impir migas sebesar 46,99 persen dan non migas 7,82
persen. (din/fin/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru