Site icon Prokalteng

Penolakan Transaksi dengan UPK75 Tahun RI Bisa Dipenjara

penolakan-transaksi-dengan-upk75-tahun-ri-bisa-dipenjara

PALANGKA RAYA, PROKALTENG.CO – Uang Peringatan Kemerdekaan 75 Tahun
Republik Indonesia atau UPK 75 Tahun RI dengan nominal Rp75 ribu per lembar,
merupakan alat pembayaran yang sah. Sehingga penolakan transaksi atau penolakan
pembayaran menggunakan uang pecahan tersebut, dapat dikenakan sanksi.

“Perlu kami tekankan, UPK75 ini
merupakan alat pembayaran yang sah atau legal tender yang berlaku di seluruh wilayah
NKRI. Artinya, setiap penolakan menerima uang rupiah, termasuk UPK75 ini dalam
bertransaksi, dapat diancam pidana sanksi kurungan dan pidana denda sebagaimana
diatur dalam UU No 7 tahun 2011 tentang mata uang,” kata Kepala Kantor Perwakilan
Bank Indonesia (KPwBI) Kalimantan Tengah, Rihando, Kamis (20/5/2021).

Merujuk Pasal 23 ayat 1 UU No 7
tahun 2011 tentang mata uang, diatur bahwa setiap orang dilarang menolak untuk
menerima rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran.

Pada pasal 33 ayat 2 yang menolak
untuk menerima rupiah dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu
tahun dan pidana denda paling banyak Rp200 juta.

Dijelaskan Rihando, UPK75
merupakan mata uang khusus yang dicetak Bank Indonesia dalam jumlah terbatas,
yaitu hanya 75 juta lembar bertepan dengan HUT ke-75 Kemerdekaan RI pada 17
Agustus 2020 lalu.

Berdasarkan data hingga 11 Mei
2021 atau satu hari menjelang Idulfitri, lanjut Rihando, secara keseluruhan
jumlah UPK75 yang telah ditukar oleh masyarakat, telah mencapai 67,5 juta
lembar atau 90 persen dari total UPK75 yang dicetak.

“Sehingga saat ini UPK75 masih tersisa
7,5 juta lembar lagi, yang berada di Bank Indonesia dan tersebar di wilayah
NKRI,” tukas dia.

Lebih lanjut diungkapkan Rihando,
sejak penerbitannya pada 27 Agustus 2020 hingga saat ini, KPwBI Kalimantan Tengah
telah melayani penukaran UPK75 mencapai 95 persen lebih.

“Saat ini KPwBI Kalteng masih
melayani penukaran UPK75, tentunya dengan terlebih dulu mendaftar di aplikasi
berbasis web https://pintar.bi.go.id,” sebut Rihando.

Seperti diketahui, sampai saat
ini masih cukup banyak masyarakat yang ragu, bahkan menolak pembayaran
menggunakan UPK75. Hal itu sebagian besar akibat ketidaktahuan masyarakat yang
menganggap bahwa uang edisi khusus tersebut tidak bisa digunakan sebagai alat
pembayaran.

Keragu-raguan sejumlah warga
menerima pembayaran menggunakan UPK75 ini terjadi karena banyak masyarakat yang
belum tersentuh sosialisasi dan informasi terkait uang pecahan baru itu. Mereka
memilih untuk meminta pembayaran dengan uang pecahan lama seperti Rp50 ribu
atau Rp100 ribu yang sudah akrab dalam transaksi mereka sehari-hari.

Hal tersebut salah satunya
seperti dialami Wakil Direktur RSUD Doris Sylvanus Palangka Raya, Theodorus
Sapta Atmadja.

Melalui akun media sosial
facebooknya, Theo mengunggah pengalamannya berbelanja di pasar menggunakan
UPK75.

“Beberapa waktu lalu saya ke
pasar untuk membeli sayur. Saat akan membayar menggunakan uang pecahan
Rp75.000, anak remaja yang mau menerima uang tersebut berkata dengan polos: ‘uang
apa itu pak?’. Lalu ayah dari anak tersebut berkata, itu uang laku Nak, sambil
mengambil dari tangan saya,” tulis Theo.

Unggahan Theo itu mendapat cukup
banyak komentar warganet. Sebagian mengaku bahwa mereka juga tidak mengetahui
jika UPK75 bisa dipergunakan sebagai alat pembayaran yang sah.

“Aku kira dia tau kia akan belanja
(Aku kira juga tidak bisa untuk belanja, bahasa Dayak),” tulis akun Anita Art.

“Di tempat kita di sini banyak
yang takut menerima dok, karena terlihat kasar dan cenderung dianggap palsu,”
tulis akun Ungau Akar Rengken.

Exit mobile version