29.7 C
Jakarta
Sunday, July 13, 2025

Kawasan TRC Mangkutup Lindungi 58.000 Hektare Habitat Orangutan di Kalteng

PALANGKA RAYA, PROKALTENG.CO – Orang Utan merupakan spesies hewan yang perlu dilindungi dan masuk kategori terancam punah. Seiring berjalannya waktu, konservasi orang utan menghadapi berbagai tantangan.

Kepala BKSDA Kalteng, Andi Muhammad Kadafhi mengakui fragmentasi orang utan di Kalteng menjadi tantangan dalam metapopulasi orang utan.

”Kita coba cari solusinya salah satunya kita sedang upayakan tapi harus menjadi atensi semua pihak adalah bagaimana Manajemen Lanskap Terpadu (Integrated Landscape Management/ILM) ini kita harapkan bisa jadi salah satu solusi dari terjadinya fragmentasi habitat orang utan di masa depan,” ujarnya, di Palangka Raya, Sabtu (12/7).

Menurutnya, pendekatan ILM bertujuan memetakan potensi habitat orangutan secara menyeluruh agar dapat terintegrasi dengan kewajiban perlindungan dari para pemegang izin usaha, termasuk perusahaan kehutanan dan perkebunan..

“Selama ini kewajiban konservasi masih bersifat parsial. Jika kita memiliki data komprehensif tentang habitat orangutan, kita bisa menyinkronkan perencanaan pembangunan daerah dengan perlindungan kawasan secara lebih efektif,” tegasnya.

Baca Juga :  Hari Ketiga Pencarian, Jasad Sopir Truk Naas di Sungai Lamandau Ditemukan

Ia menekankan bahwa upaya konservasi bukan hanya tanggung jawab pemerintah, namun membutuhkan peran aktif semua pihak, termasuk masyarakat, akademisi, dan media. “Kita butuh pembangunan, tapi konservasi juga harus berjalan. Keduanya harus seimbang dengan solusi komprehensif,” tambah Andi.

Salah satu contoh pendekatan kolaboratif dalam konservasi orangutan terdapat di kawasan Training Research Center (TRC) Mangkutup, yang berada dalam wilayah konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) milik PT Industrial Forest Plantation (IFP) Desa Lehai, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas.

Kepala TRC Mangkutup Denni Irawan, menjelaskan bahwa penetapan kawasan bernilai konservasi tinggi seluas 58.000 hektar merupakan hasil revisi Rencana Kerja Usaha (RKU) perusahaan yang disahkan pada Juni 2024.

Sebelumnya, luasan kawasan dalam konsesi tersebut hanya sekitar 18.000 hektar.

“Tiga sungai besar menjadi zona utama pengelolaan TRC: Sungai Muring, Sungai Mangkutup, dan Sungai Gawi. Kawasan ini dipetakan sebagai habitat penting dan menjadi lokasi berbagai kegiatan konservasi,” jelas Denni di tempat yang sama.

Baca Juga :  Sampaikan Aspirasi Secara Santun, Dilarang Keras Memancing Keributan

Menurut data terakhir tahun 2024, populasi orangutan di kawasan TRC Mangkutup diperkirakan mencapai 300 individu. Upaya perlindungan dilakukan melalui berbagai program, seperti monitoring keanekaragaman hayati, patroli kawasan, serta kegiatan pendidikan dan penelitian yang melibatkan perguruan tinggi, terutama Universitas Palangka Raya (UPR).

Meski kawasan konservasi ini berada dalam izin usaha HTI, pengelola menyatakan bahwa luasan tersebut telah ditetapkan dalam dokumen RKU dan tidak dapat diubah secara sepihak hingga masa berlaku berakhir pada 2027.

“Untuk memastikan kawasan ini tidak hanya formalitas, kami bekerja sama dengan konsultan lingkungan PT Ecositrop untuk memastikan pengelolaan mengacu pada regulasi nasional dan standar konservasi internasional,” pungkasnya. (hfz)

PALANGKA RAYA, PROKALTENG.CO – Orang Utan merupakan spesies hewan yang perlu dilindungi dan masuk kategori terancam punah. Seiring berjalannya waktu, konservasi orang utan menghadapi berbagai tantangan.

Kepala BKSDA Kalteng, Andi Muhammad Kadafhi mengakui fragmentasi orang utan di Kalteng menjadi tantangan dalam metapopulasi orang utan.

”Kita coba cari solusinya salah satunya kita sedang upayakan tapi harus menjadi atensi semua pihak adalah bagaimana Manajemen Lanskap Terpadu (Integrated Landscape Management/ILM) ini kita harapkan bisa jadi salah satu solusi dari terjadinya fragmentasi habitat orang utan di masa depan,” ujarnya, di Palangka Raya, Sabtu (12/7).

Menurutnya, pendekatan ILM bertujuan memetakan potensi habitat orangutan secara menyeluruh agar dapat terintegrasi dengan kewajiban perlindungan dari para pemegang izin usaha, termasuk perusahaan kehutanan dan perkebunan..

“Selama ini kewajiban konservasi masih bersifat parsial. Jika kita memiliki data komprehensif tentang habitat orangutan, kita bisa menyinkronkan perencanaan pembangunan daerah dengan perlindungan kawasan secara lebih efektif,” tegasnya.

Baca Juga :  Hari Ketiga Pencarian, Jasad Sopir Truk Naas di Sungai Lamandau Ditemukan

Ia menekankan bahwa upaya konservasi bukan hanya tanggung jawab pemerintah, namun membutuhkan peran aktif semua pihak, termasuk masyarakat, akademisi, dan media. “Kita butuh pembangunan, tapi konservasi juga harus berjalan. Keduanya harus seimbang dengan solusi komprehensif,” tambah Andi.

Salah satu contoh pendekatan kolaboratif dalam konservasi orangutan terdapat di kawasan Training Research Center (TRC) Mangkutup, yang berada dalam wilayah konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) milik PT Industrial Forest Plantation (IFP) Desa Lehai, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas.

Kepala TRC Mangkutup Denni Irawan, menjelaskan bahwa penetapan kawasan bernilai konservasi tinggi seluas 58.000 hektar merupakan hasil revisi Rencana Kerja Usaha (RKU) perusahaan yang disahkan pada Juni 2024.

Sebelumnya, luasan kawasan dalam konsesi tersebut hanya sekitar 18.000 hektar.

“Tiga sungai besar menjadi zona utama pengelolaan TRC: Sungai Muring, Sungai Mangkutup, dan Sungai Gawi. Kawasan ini dipetakan sebagai habitat penting dan menjadi lokasi berbagai kegiatan konservasi,” jelas Denni di tempat yang sama.

Baca Juga :  Sampaikan Aspirasi Secara Santun, Dilarang Keras Memancing Keributan

Menurut data terakhir tahun 2024, populasi orangutan di kawasan TRC Mangkutup diperkirakan mencapai 300 individu. Upaya perlindungan dilakukan melalui berbagai program, seperti monitoring keanekaragaman hayati, patroli kawasan, serta kegiatan pendidikan dan penelitian yang melibatkan perguruan tinggi, terutama Universitas Palangka Raya (UPR).

Meski kawasan konservasi ini berada dalam izin usaha HTI, pengelola menyatakan bahwa luasan tersebut telah ditetapkan dalam dokumen RKU dan tidak dapat diubah secara sepihak hingga masa berlaku berakhir pada 2027.

“Untuk memastikan kawasan ini tidak hanya formalitas, kami bekerja sama dengan konsultan lingkungan PT Ecositrop untuk memastikan pengelolaan mengacu pada regulasi nasional dan standar konservasi internasional,” pungkasnya. (hfz)

Terpopuler

Artikel Terbaru

/