Site icon Prokalteng

Kericuhan di Perusahaan Sawit Disebut karena Ketidakberpihakan kepada Warga

Warga saat melakukan unjuk rasa di perusahaan sawit PT BJAP, Kamis siang (6/7/2023). (ist)

PALANGKARAYA, PROKALTENG.CO – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangkaraya menyoroti kericuhan yang terjadi pada saat unjuk rasa warga terhadap perusahaan sawit di Kecamatan Seruyan Tengah, Kabupaten Seruyan, Kamis (6/7) lalu.

Direktur LBH Palangkaraya Aryo Nugroho Waluyo, menilai kericuhan itu sebagai akumulasi kemarahan warga atas situasi yang tidak memihak kepada warga Desa Rantau Pulut dan Suka Mandang Kabupaten Seruyan.

“Di sejumlah pemberitaan menyebutkan bentrokan terjadi karena adanya tuntutan warga kepada PT. Bangun Jaya Alam Permai. Yakni berupa realisasi kebun plasma sawit sebesar 20 persen. Amukan warga semakin menjadi-jadi saat mendapati dua warga mereka diduga kuat mendapatkan perlakukan kekerasaan dari aparat kepolisian,” ujarnya dalam keterangan resmi, yang disampaikan, Sabtu (8/7).

Dia beranggapan dari kejadian tersebut, seakan tidak pernah selesai atau memang tidak pernah ada yang mau berkomitmen menyelesaikan persoalan terkait plasma ini. Secara faktual, Aryo melihat kondisi seluruh wilayah penjuru Kalteng telah menjadi samudera sawit.

Dikatakannya, menurut data dari badan pusat stastistik (BPS), luas kebun sawit di Kalteng pada tahun 2020 seluas 2.018.70 hektar. Namun luasnya perkebunan sawit di Provinsi Kalteng, ternyata tidak memberikan kesejahteraan untuk masyarakatnya.

“Hal ini ditandai dengan maraknya tuntutan realisi plasma seluas 20% dari kebun inti perusahaan,” bebernya.

Dia menceritakan, di Kabupaten Seruyan pada tahun 2011 tidak kurang dari 2000 warga dari 5 kecamatan 28 desa mengelar aksi di Kantor Bupati. Warga menuntut pengembalian tanah dari PT. Mandiri Perdana, dan tuntutan 20 persen kebun plasma. Pada waktu itu warga sampai menginap dan mendirikan tenda di halaman DPRD Kabupaten Seruyan.

Sebelas tahun kemudian, tepatnya di tahun 2022, ribuan warga Seruyan yang dimotori oleh Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) juga menunut realisasi kebun plasma 20 persen PT. Tapian Nadengan

Tak hanya itu, bulan Juni 2023 yang lalu ribuan warga di Kabupaten Kotim juga melakukan aksi di depan Kantor Bupati Kotawaringin Timur untuk menuntut hal yang sama.

Bahkan, tuntutan warga yang berujung kepada jeruji besi juga banyak terjadi di Provinsi Kalteng.

“Tipe konflik terjadi karena sengketa lahan dan persoalan plasma. Sedangkan para warga dijebloskan ke jeruji besi karena dianggap mencuri buah sawit milik perusahaan. Sedangkan di kasus Desa Suka Mandang dan Rantau Pulut, pihak kepolisian telah mengamankan 6 orang warga,” katanya.

Aryo berpendapat, tuntutan warga mengenai realisasi 20 persen kebun sawit dari perusahaan merupakan tuntutan yang sangat mendasar. Pasalnya, karena telah habisnya lahan warga yang diubah menjadi kebun sawit skala luas oleh pihak swasta. Tuntutan warga itu, berdasarkan aturan hukum sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Kalteng No.5 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Usaha Perkebunan, Pasal 18 Ayat 3.

Untuk itu, LBH Palangkaraya memberikan respon atas terjadinya bentrokan warga di Desa Suka Mandang dan Rantau Pulut bisa terjadi karena lemahnya peran dari Pemerintah Daerah dalam memenuhi hak-hak dasar warganya. Pihaknya juga menduga kuat bahwa sejumlah warga mendapatkan aksi kekerasaan dari personel kepolisian.

“Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah harus mengevalusi seluruh perizinan sawit dan mengiplementasikan secara serius Peraturan Daerah No.5 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Usaha Perkebunan khususnya Pasal 70 Ayat (3) dan Ayat (4). Yaitu memberikan sanksi administratif dan sampai pencabutan izin jika perusahaan sawit tidak memberikan kebun plasma 20 persen kepada masyarakat sekitar,” terangnya.

“Mendesak Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah untuk mengevaluasi cara-cara pendekatan hukum pidana dalam kasus-kasus yang berlatar belakang sengketa tanah antara warga dan perusahaan sawit. Serta mengevaluasi cara-cara pengamanan yang berlebihan di perusahaan sawit di Kalimantan Tengah, karena bukan merupakan objek vital negara,” tandasnya. (hfz/hnd)

Exit mobile version