PROKALTENG.CO-Meski diklaim sebagai energi bersih, pemanfaatan bioenergi kayu justru dinilai semakin mengancam hutan alam yang berperan vital sebagai salah satu penyerap karbon terbesar di dunia. Menurut Forest Watch Indonesia (FWI), pada saat ini saja terdapat 420.000 hektare (Ha) hutan alam direncanakan dirusak (planned deforestation) untuk pembangunan Hutan Tanaman Energi (HTE) di 31 konsesi PBPH-HT.
“Strategi pengurangan emisi melalui pengembangan Hutan Tanaman Energi untuk memenuhi kebutuhan produksi biomassa kayu justru akan mendorong terjadinya deforestasi hutan alam secara besar-besaran,” ungkap Manager Kampanye, Advokasi, Media FWI Anggi Putra Prayoga dalam keterangannya dikutip JawaPos.com, Rabu (28/2).
Kebutuhan kayu untuk bioenergi dikhawatirkan semakin mendorong deforestasi dari ekspansi usaha perusahaan-perusahaan kehutanan dengan adanya kemudahan yang diberikan KLHK. Di Kalimantan Selatan, sudah ada tiga perusahaan yang mendapatkan eksklusivitas untuk pembangunan HTE, yakni PBPH-HT PT Jhonlin Agro Mandiri di Tanah Bumbu, PBPH-HT PT Inhutani II Senakin di Kota Baru, dan PBPH-HT PT Inhutani III Unit Pelaihari di Tanah Laut.
FWI (2024) mencatat hutan alam yang terancam dirusak di tiga konsesi tersebut mencapai 9.319 Ha. Kalimantan Selatan sendiri merupakan provinsi yang ditargetkan KLHK dengan penerbitan izin baru berupa hutan tanaman seluas 76.567 Ha, sebagai bagian dari upaya pengurangan emisi. Bahkan lebih luas dalam dokumen FoLU Net Sink 2030 seluas 397.511 Ha hutan alam di Kalimantan Selatan terancam terdeforestasi jika tanpa ada aksi mitigasi yang riil sampai tingkat tapak.
“Untuk mencapai target Net Sink 2030 dari sektor FoLU (hutan dan penggunaan lahan) seharusnya membangun strategi mitigasi perlindungan hutan alam yang dapat diakui oleh para pihak. Salah satunya dengan menghentikan pengembangan hutan tanaman termasuk HTE yang justru menjadi driver deforestasi baru di Indonesia,” kata Anggi.
Selain hadirnya HTE di Kalimantan Selatan, terdapat juga PLTU co-firing, yaitu PLTU Asam-Asam dengan kapasitas 4×65 MW dan rencana pembangunan PLTBio Mantuil, yaitu pembangkit bioenergi di Mantuil berkapasitas 10 MW. Keberadaan PLTU co-firing dan pembangkit bioenergi akan mendorong kebutuhan biomassa.
Dalam kajian Trend Asia, dibutuhkan lahan seluas hingga 2,33 juta Ha atau 35 kali luas Jakarta untuk disulap menjadi HTE dalam rangka menyuplai PLTU co-firing. Hal ini akan memicu ancaman deforestasi dan konflik lahan.
Kajian Trend Asia membantah klaim netral karbon dari program co-firing, karena 52 PLTU yang membutuhkan 10,2 juta ton biomassa, diperkirakan menghasilkan net emisi 26,48 juta ton karbon dari proses produksi biomassa. Emisi karbon dari produksi biomassa dihasilkan oleh deforestasi dari pembukaan HTE yang tidak akan terbayar dari proses penanaman tanaman energi.
“Transisi energi melalui biomassa kayu sebagai sumber energi yang dianggap terbarukan, adalah aksi greenwashing, yang justru hanya akan menguntungkan korporasi batubara dan korporasi kehutanan. Emisi yang dihasilkan dari produksi dan pembakaran biomassa menjadi bukti bahwa biomassa bukan pilihan untuk transisi menuju energi bersih. Bagi korporasi, ini merupakan kesempatan untuk melakukan ekspansi yang akan memperbesar ketimpangan penguasaan lahan,” kata Manajer Program Biomassa Trend Asia, Amalya Reza Oktaviani.
Pengembangan HTE selama ini juga berdampak buruk pada masyarakat adat, seperti masyarakat Marind di Merauke dan masyarakat adat Mentawai. Masyarakat adat Dayak di Kalimantan Selatan, yang sudah lama terpojok di tanah mereka sendiri, juga akan berada di bawah ancaman.
“Transisi energi harusnya mengeksklusi jenis energi yang merupakan solusi palsu mengatasi krisis iklim, dan mendorong solusi energi terbarukan dari komunitas, supaya terwujud transisi energi berkeadilan,” imbuh Amalya.
Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Selatan, Kisworo mendorong pemerintah untuk segera melakukan review dan audit perizinan industri ekstraktif di Kalimantan Selatan, termasuk tiga perusahaan PBPH HTE, sebagai upaya untuk melindungi hutan Kalimantan Selatan yang sudah tidak mampu menampung izin baru. “Pemerintah harusnya fokus merehabilitasi kerusakan hutan dan lahan serta mewujudkan energi terbarukan yang ramah lingkungan dan berkeadilan, bukan malah menambah kerusakan hutan dan lahan dan mengancam keselamatan rakyat yang sudah hidup di dalam dan di luar kawasan hutan,” tuturnya.
Sementara itu, Baderie dari AMAN Kalsel yang juga anggota LPMA menilai keberpihakan terhadap masyarakat adat menjadi penting demi mewujudkan cita-cita masyarakat adat yang berdaulat mandiri dan bermartabat. “Dengan fokus pada pemberian izin baru kepada korporasi-korporasi untuk membangun hutan tanaman energi menyebabkan mandeknya pengakuan masyarakat hukum adat di Kalsel. Padahal masyarakat adat lebih awal hidup dan berkehidupan di dalam hutan,” pungkasnya.
Sebagai informasi, dalam peta jalan Perusahaan Listrik Negara (PLN), Indonesia memiliki target ambisius untuk tidak hanya memberlakukan co-firing hingga 10 persen di 52 PLTU, tapi juga co-firing 30 persen di seluruh PLTU baru. Target tersebut berbanding terbalik dengan implementasinya, dimana rata-rata implementasi di 44 co-firing hanya mencapai angka 1,17 persen.
Data ESDM pada akhir 2023 menunjukkan, PLTU Asam-Asam di Kalimantan Selatan hanya mampu co-firing 0,47 persen. Implementasi yang jauh dari target ambisius tersebut disokong oleh justifikasi klaim netral karbon.(jpc)