25.4 C
Jakarta
Tuesday, April 8, 2025

Kini Tinggal Berharap ke MK untuk Lawan Revisi UU KPK

”Setujuuuu….” Teriakan
panjang para anggota DPR menandai pengesahan revisi Undang-Undang Komisi
Pemberantasan Korupsi (UU KPK) kemarin (17/9). Tanpa menggubris protes publik,
UU yang mengebiri kewenangan KPK itu disahkan. Pintu perlawanan terakhir kini
berada di Mahkamah Konstitusi (MK).

Sebetulnya, jika
dihitung secara manual, rapat paripurna DPR tidak mencapai kuorum.
Pengamatan Jawa Pos, anggota yang hadir hanya 80 orang.

Namun, Wakil Ketua DPR
Fahri Hamzah menyebutkan, ada 289 orang di antara total 560 anggota DPR yang
tanda tangan. Bagi dia, tanda tangan tersebut adalah persetujuan meski anggota
dewan tidak hadir secara fisik. Jumlah itu, ujar Fahri, sudah mencapai kuorum
sehingga rapat paripurna bisa berlanjut. ”Rapat tetap kuorum. Apalagi kan sudah
disetujui di tingkat satu,” katanya.

Menteri Hukum dan HAM
Yasonna H. Laoly meminta publik tidak melihat revisi UU KPK sebagai pelemahan. Menurut
dia, revisi bertujuan menguatkan dan menyempurnakan kerja KPK. ”Sebab, UU KPK
Nomor 30 Tahun 2002 sudah berumur 17 tahun. Tentu butuh perbaikan untuk
disesuaikan dengan kondisi saat ini,” tuturnya.

Revisi saat ini, imbuh
Yasonna, adalah penegasan fungsi sistem presidensial. Bahwa dalam pasal 4 ayat
(1) UUD 1945, pemegang kekuasaan negara adalah presiden. Itu juga diperkuat
dengan keputusan MK bahwa KPK bagian dari rumpun eksekutif. Dengan demikian
berpengaruh pada manajemen birokrasi yang diisi aparatur sipil negara (ASN).
”Tetapi, dalam UU tetap dikatakan, dalam menjalankan tugasnya, KPK sebagai
lembaga independen,” jelas politikus PDI Perjuangan tersebut.

Terkait dengan izin
penyadapan dewan pengawas, Yasonna mengakui bahwa klausul itu menjadi perdebatan
publik. Bahkan, perbedaan pandang terjadi saat rapat kerja dengan DPR. Namun,
pemerintah dan DPR telah mencapai kesepakatan bahwa dewan pengawas bertujuan
melindungi HAM. Penyadapan yang meminta izin ke dewan pengawas diatur agar
tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan.

Bahkan, jelas Yasonna,
ada yang meminta penyadapan boleh diberikan pada tingkat penyidikan. Namun, ada
pula yang meminta penyadapan boleh dilakukan sejak tahap penyelidikan. ”Tapi,
akhirnya kami sepakat penyadapan boleh dilakukan sejak penyelidikan. Dengan
ketentuan minta izin ke dewan pengawas,” paparnya.

Baca Juga :  Cabuli 2 Anak di Bawah Umur, Pelaku Dibekuk di Jalan Nagasari

Kendati revisi UU KPK
telah disahkan DPR, para aktivis antikorupsi tak mau menyerah. Mereka siap
melakukan perlawanan hukum. Deputi Direktur Indonesia Legal Roundtable (ILR)
Erwin Natosmal Oemar mengatakan, lembaganya akan menjadi salah satu pihak yang
mengajukan judicial review (JR) ke MK. ”Sekarang kami masih melakukan
pengkajian terhadap UU KPK yang baru disahkan,” ujar dia kepada Jawa Pos
kemarin.

Pengajuan JR menunggu
UU tersebut dimasukkan dalam lembar negara. Setelah UU itu diberi nomor, ILR
akan bergerak cepat mengajukan uji materi. Menurut Erwin, banyak sekali pasal
yang bisa diuji di MK. Misalnya soal penyadapan yang harus seizin dewan
pengawas. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana penunjukan dewan pengawas.
Sampai sekarang belum jelas.

Erwin juga
mempersoalkan pasal 45A huruf c yang menyebutkan bahwa penyidik KPK harus sehat
jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. ”Pasal itu
seperti disengaja untuk menyingkirkan Novel Baswedan,” tukas alumnus Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut.

Novel Baswedan adalah
salah seorang penyidik senior KPK. Mata kiri Novel buta setelah disiram air
keras oleh orang tidak bertanggung jawab. Hingga kini polisi belum berhasil
membekuk pelakunya.

Mengenai kewenangan
SP3 yang kini disematkan kepada KPK, lanjut Erwin, justru hal itu akan
mempersulit kerja KPK. Dalam pasal 40 ayat (1) disebutkan, KPK bisa
menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara yang tidak selesai
dalam jangka waktu dua tahun. Menurut Erwin, KPK akan sulit menyelesaikan kasus
yang rumit. Sebab, pengusutan kasus besar membutuhkan waktu lama. Misalnya
kasus korupsi e-KTP. KPK butuh waktu bertahun-tahun untuk membongkar kasus
tersebut.

Erwin menambahkan,
selain secara materiil, UU KPK bermasalah secara formil. Tahapan formal
penyusunannya bermasalah. Yaitu, UU KPK tidak masuk Prolegnas 2019, tapi tetap
dibahas DPR. ”Kok bisa regulasi yang tidak masuk prolegnas prioritas dibahas?
DPR melanggar aturan,” tandasnya.

Pembahasan UU tersebut
juga tidak transparan. DPR tidak melibatkan partisipasi masyarakat dalam
pembahasan UU krusial itu. ”Yang pasti, UU KPK cacat formil dan materiil. Kami
akan ajukan JR ke MK,” tegasnya.

Baca Juga :  Diduga Jadi Korban Tabrak Lari, Humaidi Tewas Dalam Parit

Respons Mahkamah
Konstitusi

Sementara itu,
Mahkamah Konstitusi (MK) membuka pintu bagi para pihak yang hendak mengajukan
uji materi atas UU apa pun yang disahkan DPR dua hari belakangan. ”Kalau ada
permohonan, tentu akan kami periksa sebagaimana layaknya permohonan lain,”
terang I Dewa Gede Palguna, juru bicara hakim MK, kemarin.

Palguna mempersilakan
para pihak mempersiapkan segala sesuatunya. Tentu dengan mematuhi hukum acara
yang berlaku di MK. ”Hukum acaranya jelas. Semua sudah tahu,” lanjut dia.

Sebelumnya Direktur
Pusat Kajian Konstitusi (Pusako) FH Universitas Andalas Padang Feri Amsari
mengingatkan bahwa UU KPK cacat prosedur. Sebuah aturan yang tidak prosedural
akan dianggap batal demi hukum. Batal dengan sendirinya. ”Tidak dibutuhkan
putusan pengadilan yang menyatakan sah atau tidak absahnya sebuah pembentukan
peraturan perundang-undangan kalau ia cacat prosedur,” ucapnya.

Berdasar penelusuran
Jawa Pos, MK pernah membatalkan sebuah UU lewat proses uji materi, yakni UU
Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian. Uji materi UU tersebut diputus di
era Ketua MK Hamdan Zoelva pada 3 Februari 2014 atau lebih dari setahun setelah
UU Perkoperasian diundang-undangkan.

Pertimbangan MK saat
itu, filosofi UU Perkoperasian tidak sesuai dengan pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
Kemudian, terdapat hal-hal yang mengesampingkan ciri fundamental koperasi dan
membuatnya sama dengan badan hukum usaha lain seperti perseroan terbatas (PT).

Yang paling utama,
pasal-pasal yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 tersebut adalah jantung
UU. Sehingga, bila pasal tersebut ditiadakan, pasal lainnya tidak bisa
berfungsi lagi. Atas dasar itu, MK menyatakan bahwa UU Perkoperasian secara
keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga untuk sementara kembali pada
UU yang lama.

Hal yang sama
dimungkinkan terjadi pada UU KPK. Para pemohon harus membuktikan dan meyakinkan
para hakim MK bahwa ada pasal-pasal yang bertentangan dengan UUD 1945. Juga meyakinkan
bahwa pasal-pasal yang bertentangan dengan UUD tersebut bisa memengaruhi fungsi
pasal lainnya. Bila itu terjadi dan hakim sependapat, peluang dikabulkannya
permohonan akan terbuka.(jpg)

 

”Setujuuuu….” Teriakan
panjang para anggota DPR menandai pengesahan revisi Undang-Undang Komisi
Pemberantasan Korupsi (UU KPK) kemarin (17/9). Tanpa menggubris protes publik,
UU yang mengebiri kewenangan KPK itu disahkan. Pintu perlawanan terakhir kini
berada di Mahkamah Konstitusi (MK).

Sebetulnya, jika
dihitung secara manual, rapat paripurna DPR tidak mencapai kuorum.
Pengamatan Jawa Pos, anggota yang hadir hanya 80 orang.

Namun, Wakil Ketua DPR
Fahri Hamzah menyebutkan, ada 289 orang di antara total 560 anggota DPR yang
tanda tangan. Bagi dia, tanda tangan tersebut adalah persetujuan meski anggota
dewan tidak hadir secara fisik. Jumlah itu, ujar Fahri, sudah mencapai kuorum
sehingga rapat paripurna bisa berlanjut. ”Rapat tetap kuorum. Apalagi kan sudah
disetujui di tingkat satu,” katanya.

Menteri Hukum dan HAM
Yasonna H. Laoly meminta publik tidak melihat revisi UU KPK sebagai pelemahan. Menurut
dia, revisi bertujuan menguatkan dan menyempurnakan kerja KPK. ”Sebab, UU KPK
Nomor 30 Tahun 2002 sudah berumur 17 tahun. Tentu butuh perbaikan untuk
disesuaikan dengan kondisi saat ini,” tuturnya.

Revisi saat ini, imbuh
Yasonna, adalah penegasan fungsi sistem presidensial. Bahwa dalam pasal 4 ayat
(1) UUD 1945, pemegang kekuasaan negara adalah presiden. Itu juga diperkuat
dengan keputusan MK bahwa KPK bagian dari rumpun eksekutif. Dengan demikian
berpengaruh pada manajemen birokrasi yang diisi aparatur sipil negara (ASN).
”Tetapi, dalam UU tetap dikatakan, dalam menjalankan tugasnya, KPK sebagai
lembaga independen,” jelas politikus PDI Perjuangan tersebut.

Terkait dengan izin
penyadapan dewan pengawas, Yasonna mengakui bahwa klausul itu menjadi perdebatan
publik. Bahkan, perbedaan pandang terjadi saat rapat kerja dengan DPR. Namun,
pemerintah dan DPR telah mencapai kesepakatan bahwa dewan pengawas bertujuan
melindungi HAM. Penyadapan yang meminta izin ke dewan pengawas diatur agar
tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan.

Bahkan, jelas Yasonna,
ada yang meminta penyadapan boleh diberikan pada tingkat penyidikan. Namun, ada
pula yang meminta penyadapan boleh dilakukan sejak tahap penyelidikan. ”Tapi,
akhirnya kami sepakat penyadapan boleh dilakukan sejak penyelidikan. Dengan
ketentuan minta izin ke dewan pengawas,” paparnya.

Baca Juga :  Cabuli 2 Anak di Bawah Umur, Pelaku Dibekuk di Jalan Nagasari

Kendati revisi UU KPK
telah disahkan DPR, para aktivis antikorupsi tak mau menyerah. Mereka siap
melakukan perlawanan hukum. Deputi Direktur Indonesia Legal Roundtable (ILR)
Erwin Natosmal Oemar mengatakan, lembaganya akan menjadi salah satu pihak yang
mengajukan judicial review (JR) ke MK. ”Sekarang kami masih melakukan
pengkajian terhadap UU KPK yang baru disahkan,” ujar dia kepada Jawa Pos
kemarin.

Pengajuan JR menunggu
UU tersebut dimasukkan dalam lembar negara. Setelah UU itu diberi nomor, ILR
akan bergerak cepat mengajukan uji materi. Menurut Erwin, banyak sekali pasal
yang bisa diuji di MK. Misalnya soal penyadapan yang harus seizin dewan
pengawas. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana penunjukan dewan pengawas.
Sampai sekarang belum jelas.

Erwin juga
mempersoalkan pasal 45A huruf c yang menyebutkan bahwa penyidik KPK harus sehat
jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. ”Pasal itu
seperti disengaja untuk menyingkirkan Novel Baswedan,” tukas alumnus Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut.

Novel Baswedan adalah
salah seorang penyidik senior KPK. Mata kiri Novel buta setelah disiram air
keras oleh orang tidak bertanggung jawab. Hingga kini polisi belum berhasil
membekuk pelakunya.

Mengenai kewenangan
SP3 yang kini disematkan kepada KPK, lanjut Erwin, justru hal itu akan
mempersulit kerja KPK. Dalam pasal 40 ayat (1) disebutkan, KPK bisa
menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara yang tidak selesai
dalam jangka waktu dua tahun. Menurut Erwin, KPK akan sulit menyelesaikan kasus
yang rumit. Sebab, pengusutan kasus besar membutuhkan waktu lama. Misalnya
kasus korupsi e-KTP. KPK butuh waktu bertahun-tahun untuk membongkar kasus
tersebut.

Erwin menambahkan,
selain secara materiil, UU KPK bermasalah secara formil. Tahapan formal
penyusunannya bermasalah. Yaitu, UU KPK tidak masuk Prolegnas 2019, tapi tetap
dibahas DPR. ”Kok bisa regulasi yang tidak masuk prolegnas prioritas dibahas?
DPR melanggar aturan,” tandasnya.

Pembahasan UU tersebut
juga tidak transparan. DPR tidak melibatkan partisipasi masyarakat dalam
pembahasan UU krusial itu. ”Yang pasti, UU KPK cacat formil dan materiil. Kami
akan ajukan JR ke MK,” tegasnya.

Baca Juga :  Diduga Jadi Korban Tabrak Lari, Humaidi Tewas Dalam Parit

Respons Mahkamah
Konstitusi

Sementara itu,
Mahkamah Konstitusi (MK) membuka pintu bagi para pihak yang hendak mengajukan
uji materi atas UU apa pun yang disahkan DPR dua hari belakangan. ”Kalau ada
permohonan, tentu akan kami periksa sebagaimana layaknya permohonan lain,”
terang I Dewa Gede Palguna, juru bicara hakim MK, kemarin.

Palguna mempersilakan
para pihak mempersiapkan segala sesuatunya. Tentu dengan mematuhi hukum acara
yang berlaku di MK. ”Hukum acaranya jelas. Semua sudah tahu,” lanjut dia.

Sebelumnya Direktur
Pusat Kajian Konstitusi (Pusako) FH Universitas Andalas Padang Feri Amsari
mengingatkan bahwa UU KPK cacat prosedur. Sebuah aturan yang tidak prosedural
akan dianggap batal demi hukum. Batal dengan sendirinya. ”Tidak dibutuhkan
putusan pengadilan yang menyatakan sah atau tidak absahnya sebuah pembentukan
peraturan perundang-undangan kalau ia cacat prosedur,” ucapnya.

Berdasar penelusuran
Jawa Pos, MK pernah membatalkan sebuah UU lewat proses uji materi, yakni UU
Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian. Uji materi UU tersebut diputus di
era Ketua MK Hamdan Zoelva pada 3 Februari 2014 atau lebih dari setahun setelah
UU Perkoperasian diundang-undangkan.

Pertimbangan MK saat
itu, filosofi UU Perkoperasian tidak sesuai dengan pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
Kemudian, terdapat hal-hal yang mengesampingkan ciri fundamental koperasi dan
membuatnya sama dengan badan hukum usaha lain seperti perseroan terbatas (PT).

Yang paling utama,
pasal-pasal yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 tersebut adalah jantung
UU. Sehingga, bila pasal tersebut ditiadakan, pasal lainnya tidak bisa
berfungsi lagi. Atas dasar itu, MK menyatakan bahwa UU Perkoperasian secara
keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga untuk sementara kembali pada
UU yang lama.

Hal yang sama
dimungkinkan terjadi pada UU KPK. Para pemohon harus membuktikan dan meyakinkan
para hakim MK bahwa ada pasal-pasal yang bertentangan dengan UUD 1945. Juga meyakinkan
bahwa pasal-pasal yang bertentangan dengan UUD tersebut bisa memengaruhi fungsi
pasal lainnya. Bila itu terjadi dan hakim sependapat, peluang dikabulkannya
permohonan akan terbuka.(jpg)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru