KOMISI
Pemberantasan Korupsi (KPK) berencana menerbitkan surat penghentian,
penyidikan, dan penuntutan (SP3) untuk sejumlah perkara korupsi. Rencana ini
mendapat kritik tajam dari Indonesia Corruption Watch (ICW).
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana menyampaikan, sejak awal
sudah menentang seluruh substansi yang tertuang dalan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2019 tentang KPK. Tak terkecuali perihal SP3.
“Rencana menghentikan perkara yang baru saja disampaikan
oleh Pimpinan KPK tersebut merupakan rangkaian dari efek buruk perubahan
regulasi kelembagaan KPK,†kata Kurnia kepada JawaPos.com, Kamis (4/3).
Kurnia mengamini, dalam UU 19/2019 tentang KPK mengatur
penerbitan SP3. Dia lantas membeberkan alasan ICW menolak penghentian perkara
pada tahap penyidikan itu. Pertama, rawan dijadikan bancakan korupsi, karena
bukan tidak mungkin, di tengah problematika kepemimpinan saat ini, penilaian
kelayakan sebuah perkara didasarkan atas pandangan subjektifitas semata.
Kedua, bertentangan dengan putusan MK Nomor
006/PUU-1/2003 tertanggal 30 Maret 2004. Menurutnya dalam putusan itu, secara
jelas menyebutkan adanya kekhawatiran penyalahgunaan kewenangan jika KPK diberi
kemampuan untuk mengeluarkan SP3.
Ketiga, adanya limitasi waktu dua tahun yang disebutkan
dalam UU 19/2019. Hal ini dinilai janggal, memaknai korupsi sebagai
extraordinary crime yang semestinya aturan tertera dalam UU KPK memperketat
ruang untuk menghentikan penyidikan ataupun penuntutan.
“Ini justru sebaliknya, dalam KUHAP sama sekali tidak ada
menyinggung tentang pembatasan waktu penegak hukum menangani sebuah perkara.
Praktis Pasal 109 ayat (2) KUHAP hanya menyinggung tentang tidak diperoleh
bukti yang cukup, bukan merupakan tindak pidana, dan penghentian penyidikan
demi hukum (tersangka meninggal dunia, nebis in idem, atau kadaluwarsa),†beber
Kurnia.
Kurnia menuturkan, ada beberapa cara yang dapat ditempuh
oleh KPK untuk menghentikan perkara tanpa harus diberi kewenangan SP3. Pertama,
KPK dapat melimpahkan perkara yang dinilai tidak memenuhi klausula atau bukti
permulaan yang cukup kepada penegak hukum lain, baik Kepolisian maupun
Kejaksaan.
“Kemudian, ketika proses pelimpahan selesai, penegak
hukum lain lah yang mengeluarkan SP3, jadi bukan KPK,†cetus Kurnia.
Kedua, KPK dapat menghentikan proses penanganan perkara
pada tingkat penyelidikan. Sebab definisi penyelidikan di UU KPK memiliki
derajat yang lebih tinggi dibandingkan dengan KU-HAP. “Dalam UU KPK,
penyelidikan sudah berbicara mengenai pencarian bukti permulaan yang cukup,
sedangkan KUHAP tidak seperti itu,†ujar Kurnia.
Selain itu, Kurnia menyebut terdapat beberapa argumentasi
untuk membantah logika pembentuk UU ketika melekatkan pembatasan waktu dua
tahun untuk menangani perkara di KPK.
Dia menegaskan, setiap kasus korupsi yang mengandung
unsur kerugian negara dibutuhkan kolaborasi dengan pihak auditor.
“Sehingga implikasinya adalah waktu penanganan perkara
tidak bisa dipastikan akan selesai dlm waktu singkat,†ungkap Kurnia.
Dia menyampaikan, sifat dari kejahatan korupsi yang
mencakup aspek transnasional, tentu menjadi penghambat penegak hukum untuk
secara cepat menuntaskan sebuah perkara. “Sebab, tak jarang para pelaku korupsi
berupaya untuk mengelabui penegak hukum dengan cara menyebarkan uang hasil
kejahatan ke beberapa negara,†tandasnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata
menyampaikan, membuka kemungkinan menerbitkan surat penghentian penyidikan dan
penuntutan (SP3) pada 2021 ini. Lembaga antirasuah belum membeberkan kasus apa
yang akan dihentikan pada tahap penyidikan itu.
“Kemungkinan ada (yang di SP3), karena setelah kami
petakan ada beberapa case yang masih ingat ketika ditetapkan tersangka di tahun
2016 sampai sekarang belum naik juga. Apa alasannya, nanti kita akan minta
disisir. Perkara apa, hambatannya gimana, dan apakah dimungkinkan dilanjutkan
atau tidak,†ucap Alex dikonfirmasi, Rabu (3/3).
Alex mengungkapkan, kasus yang dihentikan itu bukan
terkait pengadaan tiga unit quay container crane (QCC) yang menjerat mantan
Direktur Utama Pelindo II, Richard Joost Lino (RJ Lino). Karena kasus tersebut,
sejak 2015 belum juga disidangkan.
Pimpinan KPK dua periode ini mengungkapkan, sampai saat
ini KPK belum sampai pada kesimpulan akan menghentikan kasus tersebut. Dia
memastikan, saat ini KPK masih terus berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) dan ahli terkait penghitungan kerugian negara.
“Dari BPK tadi sudah disampaikan laporannya. Tapi, masih
nunggu hitungan ahli perguruan tinggi, secara teknis sebetulnya berapa,â€
pungkas Alex.
Berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK Pasal 40
ayat (1), KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara
tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam
jangka waktu paling lama dua tahun.
Kemudian Pasal 40 ayat (2) menyatakan, penghentian
penyidikan dan penuntutan harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat
satu minggu terhitung sejak dikeluarkannya SP3.