Pembentukan Komando
Operasi Khusus (Koopssus) TNI untuk menanggulangi terorisme berpotensi
bersinggungan dengan Polri, khususnya Densus 88 Antiteror. Karena itu, perlu
ada landasan hukum yang mengatur mekanisme kerja samanya.
Direktur Institute for
Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai perlu ketegasan
terkait keterlibatan TNI dalam penanggulangan terorisme. Selama ini
keterlibatan TNI hanya sebatas perbantuan apabila dibutuhkan Polri.
â€Sekurang-kurangnya berupa peraturan pemerintah. Syukur jika bisa dalam bentuk
undang-undang,†katanya.
Sementara itu, pihak
Polri menjelaskan bahwa ada perbedaan mendasar antara Densus 88 Antiteror dan
Koopssus TNI. Perbedaan itu terkait dengan kewenangannya.
Karopenmas Divhumas
Polri Brigjen Dedi Prasetyo menuturkan, Densus selama ini berfokus pada
penegakan hukum terhadap kelompok teroris. â€Untuk sinergitas di lapangan dengan
Koopssus, kemungkinan besar akan tangani preventive strike (serangan
pencegahan) atau strike,†paparnya. Khususnya untuk serangan teror dengan skala
besar. â€TNI memiliki kualifikasi dan kompetensi di bidang penindakan,â€
lanjutnya.
Sebenarnya, kata Dedi,
sudah ada beberapa operasi kelompok teror skala besar yang ditangani bersama
dengan TNI. Misalnya, pengejaran kelompok Mujahidin Indonesia Timur yang dulu
dipimpin Santoso dan kini dikendalikan Ali Kalora. â€Penyanderaan kelompok Abu
Sayyaf di perbatasan Filipina juga melibatkan TNI,†jelasnya. Dengan adanya
Koopssus, Polri tidak hanya meminta back-up saat terjadi aksi terorisme.(jpg)