27.6 C
Jakarta
Friday, April 19, 2024

Kebebasan Akademik dan Jaminan Perlindungannya

HARI-HARI ini ruang demokrasi digital dihebohkan posting-an resmi Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) di media sosial yang menyebut Presiden Jokowi sebagai ”The King of Lip Service” atau raja membual. Posting-an kritik itu langsung mendapat reaksi dari publik. Ada yang mendukung, ada juga yang mencibir. Salah satunya datang dari dosen Komunikasi UI Ade Armando (AA), yang selama ini dikenal publik sebagai dosen di barisan kekuasaan.

Dalam cuitannya di Twitter, AA membalas posting-an BEM UI dengan kalimat, ”Ini karya BEM UI. Saya sih menghargai kebebasan berekspresi. Tapi kalau jadi lembaga yg mewakili mahasiswa UI, ya jangn kelihatan terlalu pandirlah. Dulu masuk UI, nyogok ya?”. Kalimat itu tentu mengandung tuduhan serius dan secara tidak langsung memfitnah institusinya sendiri, UI.

Serangan balik atas kebebasan akademik sebagaimana ditunjukkan BEM UI tidak saja dilakukan AA, tetapi juga barisan pendukung AA dan pendukung kekuasaan. Berbagai tekanan dan bahan intimidasi dilakukan pihak-pihak tertentu yang tidak nyaman dengan posting-an BEM UI tersebut.

Ketua BEM UI bahkan langsung mendapat surat pemanggilan dari rektorat. Melalui Direktorat Kemahasiswaan UI, pada Minggu, 27 Juni 2021, dengan surat nomor 915/UN2.RI.KMHS/PDP.00.04.00/21 yang ditandatangani direktur kemahasiswaan, UI memanggil Ketua BEM UI Leon Alvinda untuk dimintai penjelasan. Pasca pemanggilan, Leon dan pengurus BEM lainnya sempat mendapat teror dalam bentuk peretasan dan ancaman personal yang disertai dengan doxing informasi dan data privasi yang membuat keselamatan mereka terancam.

Tren Intimidasi

 

Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) dalam catatannya di akhir 2020 menyebut terdapat tujuh tren serangan yang dialamatkan kepada mahasiswa (organisasi mahasiswa, termasuk pers mahasiswa), dosen, dan peneliti. Serangan itu terdiri atas (1) serangan siber terhadap aktivitas akademik, (2) penundukan kampus melalui lembaga riset dan otoritas negara, (3) tekanan terhadap pers mahasiswa, (4) kriminalisasi dengan dalih pencemaran reputasi atau gugatan balik, (5) pembungkaman terhadap solidaritas Papua, (6) meningkatnya eskalasi penangkapan dan penahanan dalam aksi terkait UU kontroversial (salah satunya UU Cipta Kerja), serta (7) skors terhadap dosen maupun mahasiswa tanpa dasar.

Baca Juga :  Malapetaka Lapas I Tangerang, Kelalaian?

Kebebasan akademik memberi kewajiban moral bagi civitas academica, universitas, dan negara untuk menjaga nilai-nilai demokrasi karena posisi perguruan tinggi untuk menjaga kritik terhadap kebijakan pemerintah. Juga menjadi resolusi dalam berbagai persoalan kenegaraan. Melalui posisi strategis itu, berbagai macam upaya pendisiplinan terhadap kebebasan akademik perlu dihindari (Carvalho & Downing, 2010).

Magna Charta Universitatum, yang dideklarasikan di Universitas Bologna 1988, yang menjadi prinsip dasar dalam menegakkan kebebasan akademik menyebutkan, ”The University is an autonomous institution at the heart of societies differently organized….. It produces, examines, appraises, and hand down culture by research and teaching….” Sehingga, prinsip kebebasan akademik harus bersandar pada nilai-nilai saintifik dan tidak dapat dikerdilkan dengan pendekatan subjektif otoritatif (negara, kelompok masyarakat tertentu, bahkan pimpinan universitas sendiri).

 

Hak Digital

 

Jika merujuk regulasi hukum HAM internasional, ”jantung” kebebasan akademik merupakan pengejawantahan dari kebebasan berekspresi. Hal itu diatur dalam pasal 19 ICCPR (Kovenan Internasional Sipol) serta kaitannya dengan pemenuhan hak pendidikan berdasar pasal 13 ICESCR (Kovenan EKOSOB), di mana Indonesia telah meratifikasinya dalam UU Nomor 11 dan UU Nomor 12 Tahun 2005.

Pada konstitusi, UUD 1945, basis dasar kebebasan akademik jelas diatur dalam pasal 28C, pasal 28E, dan pasal 28F. Masing-masing mengatur hak dasar mendapatkan pendidikan yang layak, kebebasan meyakini dan menyatakan pikiran, serta berkomunikasi dan memperoleh informasi dan menyampaikan informasi dengan menggunakan berbagai jenis saluran yang tersedia.

Baca Juga :  Menumbuhkan Minat Baca Daya Ungkit Literasi

Pada UU Nomor 12 Tahun 2012, kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan diatur dalam pasal 8 ayat (1), pasal 9, pasal 13, dan asal 54 ayat (3). Aturan itu pada prinsipnya menjamin kebebasan akademik yang wajib dijaga, baik hal tersebut diekspresikan oleh dosen maupun mahasiswa dalam setiap aktivitas yang termasuk dalam aktivitas akademik.

Surabaya Principles on Academic Freedom (SPAF) 2017 kiranya perlu menjadi rujukan. Bahwa insan akademis harus bebas dari pembatasan dan pendisiplinan dalam mengembangkan budaya akademik yang bertanggung jawab untuk kemanusiaan dan integritas keilmuan. Di sisi lain, otoritas publik memiliki kewajiban untuk melindungi serta memastikan langkah-langkah kebebasan akademik.

 

Sebagai instrumen perkembangan hak asasi manusia, hak digital merupakan HAM generasi baru yang perlu mendapatkan pengakuan dan perlindungan. Isu terkait keamanan digital, data privasi, dan perlindungan dari serangan siber menjadi keharusan yang perlu dipenuhi negara (Mathiesen, 2014).

PBB melalui UN Human Rights Council dalam Dokumen A/HRC/44/24 dan A/HRC/39/29 memberikan mandat terkait hak privasi dan hak digital sebagai bagian dari HAM. Termasuk larangan pembatasan, surveillance, dan tindakan-tindakan yang mengarah terhadap praktik represi yang dilakukan otoritas negara terhadap aktivitas masyarakat di dunia siber (UN Human Rights Commission, 2020).

Kini penggunaan ruang digital sebagai bagian dari mengekspresikan kebebasan berpendapat dan kritik terhadap kebijakan pemerintah semakin masif. Namun, pada saat yang sama, ruang digital menimbulkan ancaman serius bagi penggunanya. Karena itu, perlu mekanisme hukum HAM yang mengikat agar kebebasan akademik dan jaminan perlindungannya semakin dihormati dan menguat, termasuk keamanan di ruang digital, sehingga demokrasi di Indonesia semakin lebih baik. (*)

 

Satria Unggul Wicaksana Prakasa, Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya, pengurus Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA)

HARI-HARI ini ruang demokrasi digital dihebohkan posting-an resmi Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) di media sosial yang menyebut Presiden Jokowi sebagai ”The King of Lip Service” atau raja membual. Posting-an kritik itu langsung mendapat reaksi dari publik. Ada yang mendukung, ada juga yang mencibir. Salah satunya datang dari dosen Komunikasi UI Ade Armando (AA), yang selama ini dikenal publik sebagai dosen di barisan kekuasaan.

Dalam cuitannya di Twitter, AA membalas posting-an BEM UI dengan kalimat, ”Ini karya BEM UI. Saya sih menghargai kebebasan berekspresi. Tapi kalau jadi lembaga yg mewakili mahasiswa UI, ya jangn kelihatan terlalu pandirlah. Dulu masuk UI, nyogok ya?”. Kalimat itu tentu mengandung tuduhan serius dan secara tidak langsung memfitnah institusinya sendiri, UI.

Serangan balik atas kebebasan akademik sebagaimana ditunjukkan BEM UI tidak saja dilakukan AA, tetapi juga barisan pendukung AA dan pendukung kekuasaan. Berbagai tekanan dan bahan intimidasi dilakukan pihak-pihak tertentu yang tidak nyaman dengan posting-an BEM UI tersebut.

Ketua BEM UI bahkan langsung mendapat surat pemanggilan dari rektorat. Melalui Direktorat Kemahasiswaan UI, pada Minggu, 27 Juni 2021, dengan surat nomor 915/UN2.RI.KMHS/PDP.00.04.00/21 yang ditandatangani direktur kemahasiswaan, UI memanggil Ketua BEM UI Leon Alvinda untuk dimintai penjelasan. Pasca pemanggilan, Leon dan pengurus BEM lainnya sempat mendapat teror dalam bentuk peretasan dan ancaman personal yang disertai dengan doxing informasi dan data privasi yang membuat keselamatan mereka terancam.

Tren Intimidasi

 

Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) dalam catatannya di akhir 2020 menyebut terdapat tujuh tren serangan yang dialamatkan kepada mahasiswa (organisasi mahasiswa, termasuk pers mahasiswa), dosen, dan peneliti. Serangan itu terdiri atas (1) serangan siber terhadap aktivitas akademik, (2) penundukan kampus melalui lembaga riset dan otoritas negara, (3) tekanan terhadap pers mahasiswa, (4) kriminalisasi dengan dalih pencemaran reputasi atau gugatan balik, (5) pembungkaman terhadap solidaritas Papua, (6) meningkatnya eskalasi penangkapan dan penahanan dalam aksi terkait UU kontroversial (salah satunya UU Cipta Kerja), serta (7) skors terhadap dosen maupun mahasiswa tanpa dasar.

Baca Juga :  Malapetaka Lapas I Tangerang, Kelalaian?

Kebebasan akademik memberi kewajiban moral bagi civitas academica, universitas, dan negara untuk menjaga nilai-nilai demokrasi karena posisi perguruan tinggi untuk menjaga kritik terhadap kebijakan pemerintah. Juga menjadi resolusi dalam berbagai persoalan kenegaraan. Melalui posisi strategis itu, berbagai macam upaya pendisiplinan terhadap kebebasan akademik perlu dihindari (Carvalho & Downing, 2010).

Magna Charta Universitatum, yang dideklarasikan di Universitas Bologna 1988, yang menjadi prinsip dasar dalam menegakkan kebebasan akademik menyebutkan, ”The University is an autonomous institution at the heart of societies differently organized….. It produces, examines, appraises, and hand down culture by research and teaching….” Sehingga, prinsip kebebasan akademik harus bersandar pada nilai-nilai saintifik dan tidak dapat dikerdilkan dengan pendekatan subjektif otoritatif (negara, kelompok masyarakat tertentu, bahkan pimpinan universitas sendiri).

 

Hak Digital

 

Jika merujuk regulasi hukum HAM internasional, ”jantung” kebebasan akademik merupakan pengejawantahan dari kebebasan berekspresi. Hal itu diatur dalam pasal 19 ICCPR (Kovenan Internasional Sipol) serta kaitannya dengan pemenuhan hak pendidikan berdasar pasal 13 ICESCR (Kovenan EKOSOB), di mana Indonesia telah meratifikasinya dalam UU Nomor 11 dan UU Nomor 12 Tahun 2005.

Pada konstitusi, UUD 1945, basis dasar kebebasan akademik jelas diatur dalam pasal 28C, pasal 28E, dan pasal 28F. Masing-masing mengatur hak dasar mendapatkan pendidikan yang layak, kebebasan meyakini dan menyatakan pikiran, serta berkomunikasi dan memperoleh informasi dan menyampaikan informasi dengan menggunakan berbagai jenis saluran yang tersedia.

Baca Juga :  Menumbuhkan Minat Baca Daya Ungkit Literasi

Pada UU Nomor 12 Tahun 2012, kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan diatur dalam pasal 8 ayat (1), pasal 9, pasal 13, dan asal 54 ayat (3). Aturan itu pada prinsipnya menjamin kebebasan akademik yang wajib dijaga, baik hal tersebut diekspresikan oleh dosen maupun mahasiswa dalam setiap aktivitas yang termasuk dalam aktivitas akademik.

Surabaya Principles on Academic Freedom (SPAF) 2017 kiranya perlu menjadi rujukan. Bahwa insan akademis harus bebas dari pembatasan dan pendisiplinan dalam mengembangkan budaya akademik yang bertanggung jawab untuk kemanusiaan dan integritas keilmuan. Di sisi lain, otoritas publik memiliki kewajiban untuk melindungi serta memastikan langkah-langkah kebebasan akademik.

 

Sebagai instrumen perkembangan hak asasi manusia, hak digital merupakan HAM generasi baru yang perlu mendapatkan pengakuan dan perlindungan. Isu terkait keamanan digital, data privasi, dan perlindungan dari serangan siber menjadi keharusan yang perlu dipenuhi negara (Mathiesen, 2014).

PBB melalui UN Human Rights Council dalam Dokumen A/HRC/44/24 dan A/HRC/39/29 memberikan mandat terkait hak privasi dan hak digital sebagai bagian dari HAM. Termasuk larangan pembatasan, surveillance, dan tindakan-tindakan yang mengarah terhadap praktik represi yang dilakukan otoritas negara terhadap aktivitas masyarakat di dunia siber (UN Human Rights Commission, 2020).

Kini penggunaan ruang digital sebagai bagian dari mengekspresikan kebebasan berpendapat dan kritik terhadap kebijakan pemerintah semakin masif. Namun, pada saat yang sama, ruang digital menimbulkan ancaman serius bagi penggunanya. Karena itu, perlu mekanisme hukum HAM yang mengikat agar kebebasan akademik dan jaminan perlindungannya semakin dihormati dan menguat, termasuk keamanan di ruang digital, sehingga demokrasi di Indonesia semakin lebih baik. (*)

 

Satria Unggul Wicaksana Prakasa, Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya, pengurus Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA)

Terpopuler

Artikel Terbaru