28.3 C
Jakarta
Wednesday, April 9, 2025

Pangan Lokal, Impor Beras, dan Gizi Masyarakat

PEMERINTAH Indonesia sedang mendapat sorotan terkait kebijakan
impor 1 juta ton beras. Kebijakan ini menuai polemik, utamanya karena muncul
setelah Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya menjauhi produk asing demi
menyukseskan pembangunan ekonomi Indonesia.

Dalam pernyataannya (Jawa Pos,
22/3), mantan Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi menekankan besarnya
risiko dalam mengelola beras di Indonesia. Narasi terkait beras berpeluang
memperburuk citra pemerintah jika tak dikelola dengan baik. Kekhawatiran ini
tentu sangat beralasan. Sebab, beras telanjur menjadi sumber pangan paling
utama bagi rakyat Indonesia.

Swasembada beras menjadi tolok
ukur capaian dan janji politik. Di masyarakat, tertancap adagium, kalau belum
makan nasi, belum makan. Prevalensi beras dalam hidup orang Indonesia, secara
politik maupun sosial, menjadikannya bagian penting dari kepentingan umum
(general interest). Konsekuensinya, reformasi terhadap kebijakan terkait beras,
misalnya kenaikan harga ataupun importasi, hampir pasti menimbulkan perdebatan
dan kegaduhan publik (Patashnik, 2003).

Beberapa tokoh, pimpinan daerah,
dan politikus dari partai penguasa maupun oposisi sama-sama mengkritik rencana
ini. Berbagai argumen muncul. Misalnya, impor beras menyengsarakan rakyat kecil
dan petani. Yang paling kencang, kebijakan itu mengingkari imbauan Presiden
Jokowi tentang cinta produk dalam negeri dan benci produk asing.

Selain argumen-argumen tersebut,
boleh jadi perdebatan terkait rencana kebijakan impor beras ini politis dan ahistoris
semata. Sebab, jauh sebelum isu importasi beras ini, kegaduhan serupa yang
lebih berbobot pernah terjadi. Misalnya, soal penghitungan produksi beras.
Produksi beras yang awalnya dikira mencapai 70 juta ton pada 2018, ternyata
jumlahnya sekitar 30 juta ton, berkat digunakannya metode penghitungan yang
lebih reliabel, yakni kerangka sampel area (KSA).

Selain itu, di masa reformasi
ini, sebenarnya tak ada era pemerintahan yang tak impor beras. Jumlah impor
tertinggi terjadi pada 2011, mencapai 2,8 juta ton. Selain untuk alasan
cadangan, importasi beras ini adalah konsekuensi perjanjian perdagangan RI
dengan negara lain. Melihat kenyataan-kenyataan tersebut, seharusnya kegaduhan
impor beras kali ini tak perlu terjadi.

Baca Juga :  Konter Naratif Media Sosial dan Bela Negara

Meski demikian, isu beras ini
baik untuk menjadi pemantik momentum perenungan bersama, mengapa kita begitu
bergantung pada beras. Sesempit itukah pilihan pangan kita hanya pada beras?
Sehingga ketika harganya berfluktuasi dan ada rencana reformasi kebijakan
terhadapnya, kita bereaksi sedemikian gaduh.

Padahal, konsumsi beras kita
telah berlebihan dan dapat berakibat buruk pada pembangunan SDM Indonesia.
Upaya menciptakan SDM berkualitas ini jelas tak bisa mengandalkan konsumsi
beras. Keseimbangan dan kecukupan asupan gizilah yang jauh lebih mendesak
(Khomsan, 2016).

Berbagai hasil penelitian
menyatakan bahwa asupan gizi yang seimbang dengan penekanan pada pangan hewani
sangat diperlukan untuk mendorong perbaikan kesehatan masyarakat. Seperti
pertumbuhan bebas risiko stunting dalam membangun SDM berkualitas (Fahmida dkk,
2015). Karena itu, fokus perhatian para tokoh dan masyarakat seharusnya bukan
pada isu beras, melainkan pada pemenuhan gizi seimbang.

Sejak 2003, Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) menyatakan bahwa pemenuhan gizi perlu memperhatikan potensi
penggunaan makanan yang tersedia secara lokal. Studi Southeast Asian Ministers
of Education Organization Regional Center for Food and Nutrition pada 2015
menunjukkan bahwa pangan lokal, yakni sumber pangan yang tersedia secara lokal
–bukan makanan khas daerah, dapat meningkatkan asupan zat gizi masyarakat.

Sebagai negara tropis dan
vulkanis, Indonesia dianugerahi lahan luas dan subur sehingga dapat memproduksi
berbagai pangan lokal nonberas. Sejatinya, Indonesia sejak lama dikenal kaya
akan sumber pangan lokal yang cukup murah. Di antaranya, pangan nabati seperti
ubi, singkong, dan kacang-kacangan. Juga, pangan hewani seperti telur atau
ikan.

Studi di atas menghasilkan
panduan gizi seimbang berbasis pangan lokal atau PGSPL yang sempat diujikembangkan
di Kabupaten Sambas. Masyarakat di daerah tersebut didorong untuk mengonsumsi
pangan lokal. Hasilnya, keragaman makanan dan asupan gizi mereka meningkat
signifikan.

Baca Juga :  Polemik Elite Melemahkan Imun Bangsa

Perdebatan terkait impor beras
bukannya tak perlu karena ini adalah bagian dari demokrasi. Akan tetapi, lokus
urgensi pangan kita terletak pada kerentanan akses masyarakat terhadap pangan
yang terjangkau dan bergizi.

Meski demikian, rencana kebijakan
impor beras telah menjadi desas-desus nasional. Pemerintah perlu serius
memperbaiki pola komunikasi dalam pembuatan kebijakannya sehingga tak perlu ada
konflik narasi antar pemangku kepentingan. Masyarakat seharusnya dapat
terhindar dari tontonan kegaduhan dan saling bantah antar pemimpin, misalnya
antara kepala Bulog, beberapa gubernur, dan menteri perdagangan.

Dalam Visi Indonesia 2045,
Presiden Joko Widodo menekankan, arah kemajuan Indonesia harus dimotori oleh
SDM berkualitas. Dalam hal pangan, bukan konsumsi beras, melainkan keragaman
pangan dan kecukupan gizilah yang membantu tercapainya visi ini.

Untuk hal itu, berbagai inisiatif
pemenuhan pangan bergizi, apalagi yang bersumber dari pangan lokal, bagi rakyat
Indonesia perlu didorong dan difasilitasi pemerintah. Panduan berbasis pangan
lokal seperti PGSPL di atas dapat dijadikan alternatif acuan dalam perencanaan
sistem pangan kita, misalnya membantu Kementerian Pertanian dalam mendorong
produksi pangan lokal yang berfokus pada protein hewani dan sayuran.

Inisiatif ini juga dapat membantu
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta berbagai kelompok masyarakat dalam
mengenali dan mempromosikan indikator ketahanan pangan serta status gizi lokal
lewat komunitas dan sekolah di berbagai daerah.

Harapannya, inisiatif tersebut
dapat benar-benar membantu upaya pemerintah mengatasi inti permasalahan pangan dan
pembangunan ekonomi. Bukan soal beras saja, melainkan pada akses dan pemenuhan
makanan lokal bergizi di masyarakat. (*)

(MUHAMAD ROSYID JAZULI, Peneliti
di Paramadina Public Policy Institute dan mahasiswa doktoral di University
College London)

PEMERINTAH Indonesia sedang mendapat sorotan terkait kebijakan
impor 1 juta ton beras. Kebijakan ini menuai polemik, utamanya karena muncul
setelah Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya menjauhi produk asing demi
menyukseskan pembangunan ekonomi Indonesia.

Dalam pernyataannya (Jawa Pos,
22/3), mantan Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi menekankan besarnya
risiko dalam mengelola beras di Indonesia. Narasi terkait beras berpeluang
memperburuk citra pemerintah jika tak dikelola dengan baik. Kekhawatiran ini
tentu sangat beralasan. Sebab, beras telanjur menjadi sumber pangan paling
utama bagi rakyat Indonesia.

Swasembada beras menjadi tolok
ukur capaian dan janji politik. Di masyarakat, tertancap adagium, kalau belum
makan nasi, belum makan. Prevalensi beras dalam hidup orang Indonesia, secara
politik maupun sosial, menjadikannya bagian penting dari kepentingan umum
(general interest). Konsekuensinya, reformasi terhadap kebijakan terkait beras,
misalnya kenaikan harga ataupun importasi, hampir pasti menimbulkan perdebatan
dan kegaduhan publik (Patashnik, 2003).

Beberapa tokoh, pimpinan daerah,
dan politikus dari partai penguasa maupun oposisi sama-sama mengkritik rencana
ini. Berbagai argumen muncul. Misalnya, impor beras menyengsarakan rakyat kecil
dan petani. Yang paling kencang, kebijakan itu mengingkari imbauan Presiden
Jokowi tentang cinta produk dalam negeri dan benci produk asing.

Selain argumen-argumen tersebut,
boleh jadi perdebatan terkait rencana kebijakan impor beras ini politis dan ahistoris
semata. Sebab, jauh sebelum isu importasi beras ini, kegaduhan serupa yang
lebih berbobot pernah terjadi. Misalnya, soal penghitungan produksi beras.
Produksi beras yang awalnya dikira mencapai 70 juta ton pada 2018, ternyata
jumlahnya sekitar 30 juta ton, berkat digunakannya metode penghitungan yang
lebih reliabel, yakni kerangka sampel area (KSA).

Selain itu, di masa reformasi
ini, sebenarnya tak ada era pemerintahan yang tak impor beras. Jumlah impor
tertinggi terjadi pada 2011, mencapai 2,8 juta ton. Selain untuk alasan
cadangan, importasi beras ini adalah konsekuensi perjanjian perdagangan RI
dengan negara lain. Melihat kenyataan-kenyataan tersebut, seharusnya kegaduhan
impor beras kali ini tak perlu terjadi.

Baca Juga :  Konter Naratif Media Sosial dan Bela Negara

Meski demikian, isu beras ini
baik untuk menjadi pemantik momentum perenungan bersama, mengapa kita begitu
bergantung pada beras. Sesempit itukah pilihan pangan kita hanya pada beras?
Sehingga ketika harganya berfluktuasi dan ada rencana reformasi kebijakan
terhadapnya, kita bereaksi sedemikian gaduh.

Padahal, konsumsi beras kita
telah berlebihan dan dapat berakibat buruk pada pembangunan SDM Indonesia.
Upaya menciptakan SDM berkualitas ini jelas tak bisa mengandalkan konsumsi
beras. Keseimbangan dan kecukupan asupan gizilah yang jauh lebih mendesak
(Khomsan, 2016).

Berbagai hasil penelitian
menyatakan bahwa asupan gizi yang seimbang dengan penekanan pada pangan hewani
sangat diperlukan untuk mendorong perbaikan kesehatan masyarakat. Seperti
pertumbuhan bebas risiko stunting dalam membangun SDM berkualitas (Fahmida dkk,
2015). Karena itu, fokus perhatian para tokoh dan masyarakat seharusnya bukan
pada isu beras, melainkan pada pemenuhan gizi seimbang.

Sejak 2003, Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) menyatakan bahwa pemenuhan gizi perlu memperhatikan potensi
penggunaan makanan yang tersedia secara lokal. Studi Southeast Asian Ministers
of Education Organization Regional Center for Food and Nutrition pada 2015
menunjukkan bahwa pangan lokal, yakni sumber pangan yang tersedia secara lokal
–bukan makanan khas daerah, dapat meningkatkan asupan zat gizi masyarakat.

Sebagai negara tropis dan
vulkanis, Indonesia dianugerahi lahan luas dan subur sehingga dapat memproduksi
berbagai pangan lokal nonberas. Sejatinya, Indonesia sejak lama dikenal kaya
akan sumber pangan lokal yang cukup murah. Di antaranya, pangan nabati seperti
ubi, singkong, dan kacang-kacangan. Juga, pangan hewani seperti telur atau
ikan.

Studi di atas menghasilkan
panduan gizi seimbang berbasis pangan lokal atau PGSPL yang sempat diujikembangkan
di Kabupaten Sambas. Masyarakat di daerah tersebut didorong untuk mengonsumsi
pangan lokal. Hasilnya, keragaman makanan dan asupan gizi mereka meningkat
signifikan.

Baca Juga :  Polemik Elite Melemahkan Imun Bangsa

Perdebatan terkait impor beras
bukannya tak perlu karena ini adalah bagian dari demokrasi. Akan tetapi, lokus
urgensi pangan kita terletak pada kerentanan akses masyarakat terhadap pangan
yang terjangkau dan bergizi.

Meski demikian, rencana kebijakan
impor beras telah menjadi desas-desus nasional. Pemerintah perlu serius
memperbaiki pola komunikasi dalam pembuatan kebijakannya sehingga tak perlu ada
konflik narasi antar pemangku kepentingan. Masyarakat seharusnya dapat
terhindar dari tontonan kegaduhan dan saling bantah antar pemimpin, misalnya
antara kepala Bulog, beberapa gubernur, dan menteri perdagangan.

Dalam Visi Indonesia 2045,
Presiden Joko Widodo menekankan, arah kemajuan Indonesia harus dimotori oleh
SDM berkualitas. Dalam hal pangan, bukan konsumsi beras, melainkan keragaman
pangan dan kecukupan gizilah yang membantu tercapainya visi ini.

Untuk hal itu, berbagai inisiatif
pemenuhan pangan bergizi, apalagi yang bersumber dari pangan lokal, bagi rakyat
Indonesia perlu didorong dan difasilitasi pemerintah. Panduan berbasis pangan
lokal seperti PGSPL di atas dapat dijadikan alternatif acuan dalam perencanaan
sistem pangan kita, misalnya membantu Kementerian Pertanian dalam mendorong
produksi pangan lokal yang berfokus pada protein hewani dan sayuran.

Inisiatif ini juga dapat membantu
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta berbagai kelompok masyarakat dalam
mengenali dan mempromosikan indikator ketahanan pangan serta status gizi lokal
lewat komunitas dan sekolah di berbagai daerah.

Harapannya, inisiatif tersebut
dapat benar-benar membantu upaya pemerintah mengatasi inti permasalahan pangan dan
pembangunan ekonomi. Bukan soal beras saja, melainkan pada akses dan pemenuhan
makanan lokal bergizi di masyarakat. (*)

(MUHAMAD ROSYID JAZULI, Peneliti
di Paramadina Public Policy Institute dan mahasiswa doktoral di University
College London)

Terpopuler

Artikel Terbaru