33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Polemik Elite Melemahkan Imun Bangsa

NEGARA ini sedang bertempur habis-habisan melawan gelombang kedua Covid-19. Sejak pertengahan Juni 2021, fasilitas rumah sakit megap-megap karena melonjaknya angka penularan Covid-19. Rumah sakit dilanda krisis kamar perawatan, oksigen, alat pelindung diri, obat dan alat kesehatan, kantong peti jenazah, hingga tenaga kesehatan. Tak sedikit warga yang terpapar Covid-19 terpaksa menjalani perawatan di rumah dengan segala keterbatasan. Bahkan, sebagiannya meninggal saat isolasi mandiri.

Di tengah kengerian yang mendera rakyat, para politikus kita justru memproduksi pernyataan kontroversial yang memicu kegaduhan publik. Wakil Sekretaris Jenderal DPP PAN Rosaline Rumaseuw, misalnya, meminta pemerintah membuat rumah sakit khusus untuk pejabat yang terkena Covid-19 (7/7/2021). Rosaline konon kecewa karena saudaranya, John Mirin, yang juga anggota Fraksi PAN DPR meninggal di RSPAD (3/7/2021) karena penanganan dari pihak rumah sakit yang terlambat.

Kasus serupa terjadi di DI Jogjakarta ketika seorang anggota DPRD DI Jogjakarta, Wahyu Pradana Ade Putra, mengembuskan napas terakhir setelah kesulitan mendapatkan ruang ICU. Mirisnya lagi, akibat keterbatasan pelayanan rumah sakit, bupati Bekasi yang terkena Covid-19 harus mencari rumah sakit hingga ke Tangerang untuk memperoleh penanganan lebih lengkap.

Tak Etis

Setelah gelombang mudik dan munculnya varian baru Delta yang memicu penularan Covid-19 secara eksponensial, banyak rumah sakit yang kewalahan menangani pasien. Bahkan, tim medis terpaksa mengutamakan pasien yang punya harapan hidup lebih panjang untuk ditangani.

Di situasi sedemikian ketir-ketir itu, prinsip humanis kolektif menjadi kunci. Artinya, seluruh rakyat, termasuk pejabat, secara volunter mau tak mau turun tangan mengibarkan bendera kemanusiaan dengan sama-sama berkontribusi memerangi pandemi dengan semua implikasinya itu. Tidak boleh ada yang merasa diri lebih istimewa/penting. Semua orang, termasuk para pejabat, semestinya memiliki persepsi etis yang sama dalam menghayati situasi krisis (Kumorotomo, 2013: 192).

 

Karena itu, apa yang dikeluhkan seorang Rosaline di atas kuranglah tepat. Kecewa dan sedih atas kepergian orang yang kita sayangi tidaklah salah. Itu manusiawi. Bukankah politikus atau pejabat juga manusia. Namun, permintaan Rosaline yang notabene seorang politikus menjadi tak etis diucapkan di saat rakyat tengah dibekap kekhawatiran, kesusahan, kesedihan, dan kehilangan besar atas orang-orang yang dicintainya.

Baca Juga :  Urgensi Perlindungan Hak-Hak Petani

Seluruh dunia dan kita semua sedang bergelut memperjuangkan keselamatan di tengah fasilitas kesehatan dan kesadaran individu terhadap protokol kesehatan yang kian tipis. Itu membuat nilai kehidupan di masa-masa kedaruratan seperti sekarang menjadi ”mahal” dan layak diperjuangkan semua orang tanpa pandang bulu dan kasta. Ketika di tengah masa kritis ada pihak yang mencoba menuntut privilese hanya karena merasa memiliki kuasa, hal tersebut seperti mengggores akal sehat dan nilai berbela rasa (compassion) kita sebagai bangsa. Apalagi, dalam diktum etos pelayanan publik, setiap warga negara wajib hukumnya dilayani secara sama tanpa memihak (Stahl, 1983: 386).

Bukan hanya itu, kegaduhan publik yang dipicu statemen dan perilaku yang berlawanan dengan logika persatuan melawan pandemi adalah sebuah ketidakpantasan moral yang semestinya disingkirkan. Seperti pernyataan Ketua Fraksi Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono yang mengkhawatirkan bangsa ini akan disebut bangsa gagal karena tak mampu menyelamatkan rakyatnya. Statemen tersebut kemudian dibantah Ketua DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Kota Tangerang Selatan Wanto Sugito. Dia bahkan menyarankan Ibas mengurus Partai Demokrat saja. Namun, ada juga politikus dari partai lain yang menganggap pernyataan Ibas sebagai sebuah wake-up call (alarm) agar pemerintah lebih serius menangani pandemi.

 

Keriuhan dan Infantilitas

Dalam preseden politik kita, polemik seperti itu hanya berujung ”gelembung sabun” sensasi dan keriuhan kontraproduktif. Politikus kerap mengoleksi ucapannya di etalase publik sebagai ajang mencari simpati elektoral. Ketimbang menjadikan argumennya sebagai alat memperjuangkan kepentingan rakyat dengan menyodorkan solusi yang konstruktif dan solutif.

Masalahnya, publik membaca yang diucapkan politikus kerap tidak selaras dengan track record perilakunya. Sehingga seliweran argumen mereka di layar pemberitaan maupun media sosial ditanggapi rakyat dengan sinisme dan kecurigaan, sampai kemudian argumen tersebut meruap tak berbekas.

Baca Juga :  Bandara: Konektivitas Memperkuat Bangsa

Di tengah tingkat kewaspadaan nasional terhadap bahaya Covid-19 yang sedemikian genting ini, jiwa sosial dan akal sehat tak boleh tidak aktif (hibernation). Sebaliknya harus lebih dinyalakan. Kita kian ada dalam kesukaran kolektif untuk menembus kemacetan (bottleneck) kesadaran rasional dalam menekan laju penularan Covid-19. Antara lain juga karena ngeyel-nya kita sekadar untuk mematuhi protokol kesehatan 5M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menghindari kerumunan, mengurangi mobilitas).

Mirisnya, sikap melawan itu justru ditunjukkan para elite itu sendiri. Sikap anggota DPR Guspardi Gaus yang menolak menjalani karantina dari perjalanannya ke Kirgistan atau lurah Depok yang nekat menyelenggarakan resepsi pernikahan di hari pertama penerapan PPKM darurat beberapa waktu lalu adalah contoh betapa infantilnya penjabat kita dalam menaati aturan.

Padahal, seperti anjuran sebuah meme di media sosial, ”Kalau sudah tak mampu menerapkan 3M atau 5M, ya sudah, kalian 1M saja, MANUT”.

Ya, manut atau ketaatan seorang pejabat terhadap protokol melawan Covid-19 menjadi momentum moral dan edukasi bagi sebagian rakyat yang masih tak percaya bahwa Covid-19 yang sepaket dengan peti mati itu benar-benar ada.

Tak pasti sampai kapan kita menyudahi perang melawan korona. Yang pasti ialah pengorbanan, terutama dari elite/pejabat untuk memelopori semangat kolektif, termasuk dalam menaati protokol kesehatan, sangat dibutuhkan.

Ketimbang komat-kamit menyemburkan nada pesimistis yang mengakumulasi ketakutan sehingga menurunkan imun sosial, selayaknyalah politikus bersatu turun ke rakyat. Menyedekahkan seluruh pikiran, tenaga, dan napasnya dalam satu barikade volunter untuk menyelamatkan nyawa rakyat dari Covid-19. Jangan terus saling mengambinghitamkan. Itu hanya akan melemahkan imun bangsa. (*)

 

UMBU T.W. PARIANGU, Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang

NEGARA ini sedang bertempur habis-habisan melawan gelombang kedua Covid-19. Sejak pertengahan Juni 2021, fasilitas rumah sakit megap-megap karena melonjaknya angka penularan Covid-19. Rumah sakit dilanda krisis kamar perawatan, oksigen, alat pelindung diri, obat dan alat kesehatan, kantong peti jenazah, hingga tenaga kesehatan. Tak sedikit warga yang terpapar Covid-19 terpaksa menjalani perawatan di rumah dengan segala keterbatasan. Bahkan, sebagiannya meninggal saat isolasi mandiri.

Di tengah kengerian yang mendera rakyat, para politikus kita justru memproduksi pernyataan kontroversial yang memicu kegaduhan publik. Wakil Sekretaris Jenderal DPP PAN Rosaline Rumaseuw, misalnya, meminta pemerintah membuat rumah sakit khusus untuk pejabat yang terkena Covid-19 (7/7/2021). Rosaline konon kecewa karena saudaranya, John Mirin, yang juga anggota Fraksi PAN DPR meninggal di RSPAD (3/7/2021) karena penanganan dari pihak rumah sakit yang terlambat.

Kasus serupa terjadi di DI Jogjakarta ketika seorang anggota DPRD DI Jogjakarta, Wahyu Pradana Ade Putra, mengembuskan napas terakhir setelah kesulitan mendapatkan ruang ICU. Mirisnya lagi, akibat keterbatasan pelayanan rumah sakit, bupati Bekasi yang terkena Covid-19 harus mencari rumah sakit hingga ke Tangerang untuk memperoleh penanganan lebih lengkap.

Tak Etis

Setelah gelombang mudik dan munculnya varian baru Delta yang memicu penularan Covid-19 secara eksponensial, banyak rumah sakit yang kewalahan menangani pasien. Bahkan, tim medis terpaksa mengutamakan pasien yang punya harapan hidup lebih panjang untuk ditangani.

Di situasi sedemikian ketir-ketir itu, prinsip humanis kolektif menjadi kunci. Artinya, seluruh rakyat, termasuk pejabat, secara volunter mau tak mau turun tangan mengibarkan bendera kemanusiaan dengan sama-sama berkontribusi memerangi pandemi dengan semua implikasinya itu. Tidak boleh ada yang merasa diri lebih istimewa/penting. Semua orang, termasuk para pejabat, semestinya memiliki persepsi etis yang sama dalam menghayati situasi krisis (Kumorotomo, 2013: 192).

 

Karena itu, apa yang dikeluhkan seorang Rosaline di atas kuranglah tepat. Kecewa dan sedih atas kepergian orang yang kita sayangi tidaklah salah. Itu manusiawi. Bukankah politikus atau pejabat juga manusia. Namun, permintaan Rosaline yang notabene seorang politikus menjadi tak etis diucapkan di saat rakyat tengah dibekap kekhawatiran, kesusahan, kesedihan, dan kehilangan besar atas orang-orang yang dicintainya.

Baca Juga :  Urgensi Perlindungan Hak-Hak Petani

Seluruh dunia dan kita semua sedang bergelut memperjuangkan keselamatan di tengah fasilitas kesehatan dan kesadaran individu terhadap protokol kesehatan yang kian tipis. Itu membuat nilai kehidupan di masa-masa kedaruratan seperti sekarang menjadi ”mahal” dan layak diperjuangkan semua orang tanpa pandang bulu dan kasta. Ketika di tengah masa kritis ada pihak yang mencoba menuntut privilese hanya karena merasa memiliki kuasa, hal tersebut seperti mengggores akal sehat dan nilai berbela rasa (compassion) kita sebagai bangsa. Apalagi, dalam diktum etos pelayanan publik, setiap warga negara wajib hukumnya dilayani secara sama tanpa memihak (Stahl, 1983: 386).

Bukan hanya itu, kegaduhan publik yang dipicu statemen dan perilaku yang berlawanan dengan logika persatuan melawan pandemi adalah sebuah ketidakpantasan moral yang semestinya disingkirkan. Seperti pernyataan Ketua Fraksi Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono yang mengkhawatirkan bangsa ini akan disebut bangsa gagal karena tak mampu menyelamatkan rakyatnya. Statemen tersebut kemudian dibantah Ketua DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Kota Tangerang Selatan Wanto Sugito. Dia bahkan menyarankan Ibas mengurus Partai Demokrat saja. Namun, ada juga politikus dari partai lain yang menganggap pernyataan Ibas sebagai sebuah wake-up call (alarm) agar pemerintah lebih serius menangani pandemi.

 

Keriuhan dan Infantilitas

Dalam preseden politik kita, polemik seperti itu hanya berujung ”gelembung sabun” sensasi dan keriuhan kontraproduktif. Politikus kerap mengoleksi ucapannya di etalase publik sebagai ajang mencari simpati elektoral. Ketimbang menjadikan argumennya sebagai alat memperjuangkan kepentingan rakyat dengan menyodorkan solusi yang konstruktif dan solutif.

Masalahnya, publik membaca yang diucapkan politikus kerap tidak selaras dengan track record perilakunya. Sehingga seliweran argumen mereka di layar pemberitaan maupun media sosial ditanggapi rakyat dengan sinisme dan kecurigaan, sampai kemudian argumen tersebut meruap tak berbekas.

Baca Juga :  Bandara: Konektivitas Memperkuat Bangsa

Di tengah tingkat kewaspadaan nasional terhadap bahaya Covid-19 yang sedemikian genting ini, jiwa sosial dan akal sehat tak boleh tidak aktif (hibernation). Sebaliknya harus lebih dinyalakan. Kita kian ada dalam kesukaran kolektif untuk menembus kemacetan (bottleneck) kesadaran rasional dalam menekan laju penularan Covid-19. Antara lain juga karena ngeyel-nya kita sekadar untuk mematuhi protokol kesehatan 5M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menghindari kerumunan, mengurangi mobilitas).

Mirisnya, sikap melawan itu justru ditunjukkan para elite itu sendiri. Sikap anggota DPR Guspardi Gaus yang menolak menjalani karantina dari perjalanannya ke Kirgistan atau lurah Depok yang nekat menyelenggarakan resepsi pernikahan di hari pertama penerapan PPKM darurat beberapa waktu lalu adalah contoh betapa infantilnya penjabat kita dalam menaati aturan.

Padahal, seperti anjuran sebuah meme di media sosial, ”Kalau sudah tak mampu menerapkan 3M atau 5M, ya sudah, kalian 1M saja, MANUT”.

Ya, manut atau ketaatan seorang pejabat terhadap protokol melawan Covid-19 menjadi momentum moral dan edukasi bagi sebagian rakyat yang masih tak percaya bahwa Covid-19 yang sepaket dengan peti mati itu benar-benar ada.

Tak pasti sampai kapan kita menyudahi perang melawan korona. Yang pasti ialah pengorbanan, terutama dari elite/pejabat untuk memelopori semangat kolektif, termasuk dalam menaati protokol kesehatan, sangat dibutuhkan.

Ketimbang komat-kamit menyemburkan nada pesimistis yang mengakumulasi ketakutan sehingga menurunkan imun sosial, selayaknyalah politikus bersatu turun ke rakyat. Menyedekahkan seluruh pikiran, tenaga, dan napasnya dalam satu barikade volunter untuk menyelamatkan nyawa rakyat dari Covid-19. Jangan terus saling mengambinghitamkan. Itu hanya akan melemahkan imun bangsa. (*)

 

UMBU T.W. PARIANGU, Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang

Terpopuler

Artikel Terbaru