Site icon Prokalteng

Revisi UU TNI dan Kemunduran Demokrasi

POLTAK PARTOGI NAINGGOLAN

POLTAK PARTOGI NAINGGOLAN

RENCANA 15 pasal yang akan diamandemen, cukup untuk membawa TNI kembali berdwifungsi, keluar dari kontrol supremasi sipil, sebagai parameter sistem politik demokratis. Catatan Babinkum membuktikan usulan amandemen telah ada sejak tahun 2010. Ini artinya, cuma 6 tahun dari UU No 34/2004 yang mereformasi dirinya, TNI ingin kembali berdwifungsi.

Persoalannya bukan kebanyakan prajurit, namun ketidakinginan tunduk di bawah supremasi sipil. Posisi Polri yang langsung di bawah presiden, bukan kementerian, juga dijadikan alasan. Seharusnya kesalahan Polri yang dikoreksi. Sebab, eksistensi TNI di bawah Kemenhan merupakan cerminan supremasi sipil.

 

Naif atau Nafsu?

Amandemen Pasal 7 UU TNI, dengan menambah sederet operasi militer selain perang (OMSP), adalah janggal. Karena TNI ingin mendukung pembangunan nasional dan tugas pemda, menanggulangi narkoba, mengamankan tamu asing dan WNI di mancanegara, serta melakukan diplomasi militer dengan menyediakan pasal karet di ayat 19. Usulan perubahan tupoksi bukan hal sepele, karena akan menimbulkan masalah dan komplikasi baru.

Baca Juga: Dapat Sembako dan Duit Saat Jokowi Blusukan ke Pasar Palmerah, Salinem: Seneng Banget Sampai Ndredek

Pengembangan fungsi teritorial akan menerjunkan lagi TNI ke banyak bisnis racketeering, jual jasa keamanan dan percaloan. Maraknya pemekaran wilayah tidak harus diikuti pendirian Kodam dan Kodim baru yang berimplikasi luas. Juga, yurisdiksi TNI terbatas, tidak berlaku di negeri lain seperti diinginkan pasal 9 dan 10.

Selama ini, kecuali dengan coast guard, mana mau kapal asing yang melanggar menyelesaikannya dengan AL? Lalu, fungsi diplomasi adalah taktik tidak permanen, sehingga tidak perlu menggeser peran diplomat Kemenlu. Sementara itu, penanggulangan narkoba akan menjerumuskan TNI dalam perang melawan kartel seperti di Panama, Kolombia, Haiti, dan Meksiko, yang membawa kekacauan.

Formulasi tugas baru ’’memberi dukungan’’ bermakna aktif, karena bukan lagi berdasar permintaan. Daftar panjang di perubahan pasal 47 untuk OMSP akan membawa TNI berdwifungsi ria, sehingga banyaknya prajurit non-job hanya alasan untuk pintu masuk amandemen. Juga, keinginan untuk bisa meminta langsung belanja militer dengan Menkeu (pasal 66 dan 67), tidak di bawah koordinasi Kemenhan, akan menciptakan inefisiensi dan bad governance. Sebab, kontrol demokrasi institusi sipil melemah.

 

Mengapa Sekarang?

Kalangan masyarakat sipil banyak yang terkejut, namun penulis tidak. Sebab, dalam seminar di Bangkok bersama DCAF (Democratic Control for Armed Forces) tahun 2016, bersama Letjen Agus Widjojo gubernur Lemhannas yang pro supremasi sipil, bersama Andi Wijayanto yang kini menggantikannya, penulis sudah mengingatkan itu. Reformasi sektor keamanan belum selesai lantaran beberapa agenda belum diselesaikan, terutama UU Peradilan Militer dan UU Pelibatan Tentara. Pasal 65 membolehkan prajurit pelanggar pidana tidak dibawa ke peradilan umum.

Buat pendukung dwifungsi, ini saat yang tepat untuk amandemen UU TNI yang telah membatasi ruang gerak mereka. DPR dengan koalisi besar 2019–2024 sedang senyap, jika tidak ingin dikatakan tidur, tanpa back-up institusi riset yang bisa memberi alarming. Saat kritis menjelang pemilu legislatif dan presiden adalah peluang untuk mentransaksikan dukungan dengan para caleg dan capres.

Ini akan memperburuk kondisi democratic backsliding (Bermeo, 2016), democratic decline dan democratic deficit (Rice, 2015), democratic regression (Aspinall and Warburton, 2013), serta illiberal democracy (Diamond, 2015).

Disadari atau tidak, bersama perkembangan kontraproduktif lainnya, pemerintahan Jokowi kedua ini membawa Indonesia menuju otokrasi. Sudah tidak relevan membicarakan konsolidasi demokratis. Namun, Indonesia bisa terhindar dari otokrasi jika TNI hanya menjadi alat pertahanan, yang menjadikannya profesional, bukan sebagai profiteers atau praetorians.

Orang berseragam dan bersenjata, dengan monopoli penggunaan kekerasan yang diberikan negara, tidak boleh berpolitik. Cukup itu menjadi catatan sejarah, jangan dipraktikkan kembali dalam politik sehari-hari. Mau ke mana Indonesia? Meniru Sudan kah, yang chaos akibat pertarungan militer? Ataukah menuju konsolidasi demokratis?

Pembuatan postur dengan strategic defence review yang objektif harus dibuat. Persepsi hybrid war dalam perang 4.0, seperti di Ukraina, tidak butuh kekuatan besar. Karakter perang siber dan kecerdasan buatan (AI) akan menggantikan peran dominan prajurit. Komponen cadangan yang besar, yang dapat disalahgunakan penguasa otokrat seperti Hitler, tidak diperlukan.

Revisi hanya boleh untuk perpanjangan usia pension. Sehingga kalau sudah jadi menteri, jangan bilang ’’saya sebagai prajurit’’ lagi untuk meredam pengkritiknya. Revisi pun harus melalui mekanisme deliberasi normal, dan bukan omnibus law. Yang harus didorong adalah sipilisasi di Kemenhan, BIN, BNPB, BSSN, dan lain-lain. Militer bukanlah makhluk super. Menhan eks militer pun bisa melakukan blunder di Shangri-La Dialogue dan beli alutsista bekas.

Titik balik harus dicegah dengan tetap menjaga relasi sipil-militer dalam koridor kontrol demokrasi. Sejarah mengingatkan, saat Hatta mau rasionalisasi tentara, mereka ditentang pimpinan militer. Terhitung dua kali militer mengarahkan moncong meriam ke istana.

Di era reformasi, TNI resisten terhadap Gus Dur yang berkonflik dengan wakilnya. Duet kekuatan ultranasionalis, PDIP dan TNI, telah mendorong pengerahan tentara dan tank ke Monas. Publik harus waspada terhadap upaya TNI merangkak keluar barak. Kudeta militer di Turki dan Thailand, serta merajalelanya junta Myanmar, adalah bukti empiris terkini. (*)

 

*) POLTAK PARTOGI NAINGGOLAN, Poltak Partogi Nainggolan (Peneliti Tata Kelola dan Konflik BRIN)

Exit mobile version