TANGGAL 24 Oktober diperingati sebagai Hari Dokter. Pada hari itu Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berdiri, tepatnya pada 24 Oktober 1950 atau 71 tahun lalu. Sampai saat ini, IDI masih menjadi satu-satunya organisasi profesi dokter di Indonesia dengan anggota 193.379 dokter. Jumlah dokter telah bertambah banyak dengan cepat. Segala macam tantangan dan perubahan harus kita hadapi.
Saat ini rasio dokter dan penduduk di Indonesia masih terkecil di Asia Tenggara. Data World Health Organization (WHO) menunjukkan rasio dokter per 10.000 penduduk di negara kita sekitar 6,65. Sedangkan di Vietnam sekitar 8,28; Singapura sekitar 22,94; dan Malaysia sekitar 15,36.
Masalah utamanya ada pada distribusi dokter. Data yang dimiliki IDI menunjukkan, di Pulau Jawa terdapat total 101.544 dokter alias 52,5 persen dokter. Sedangkan di seluruh Pulau Kalimantan hanya terdapat 9.052 dokter. Seluruh Papua dan Papua Barat hanya memiliki 2.601 dokter.
Dari sisi dokter spesialis, data di Kementerian Kesehatan menunjukkan, dari 569 rumah sakit umum daerah (RSUD) di Indonesia, 172 RSUD belum memiliki secara lengkap 4 spesialis dasar. Yakni, spesialis penyakit dalam, kebidanan/kandungan, anak, dan bedah.
Pemenuhan kebutuhan dokter terus dikebut. Fakultas-fakultas kedokteran baru bermunculan. Minat universitas memiliki FK sangat tinggi. Saat ini tercatat di laman Konsil Kedokteran Indonesia terdapat 89 FK di seluruh Indonesia. Namun, sayangnya belum semua terakreditasi A. Hanya 30 yang terakreditasi A. Selebihnya 44 terakreditasi B, 9 terakreditasi C, dan 6 FK yang belum terakreditasi.
Peningkatan jumlah dokter tetap harus mempertahankan kualitas. Pendirian FK baru harus dikawal ketat. Harus memenuhi persyaratan jumlah dosen dan syarat-syarat lain. Berkaitan dengan distribusi dokter, bila dulu hampir semua dokter adalah pegawai negeri sipil (PNS), begitu lulus langsung bekerja di institusi pemerintah.
Namun, saat ini tidak semua dokter adalah pegawai negeri. Dokter yang tidak menjadi PNS boleh menentukan tempat kerjanya sendiri. Dan sebagian besar memilih mengabdi di Pulau Jawa. Pemilihan Pulau Jawa sebagai tempat berkarier bukan semata faktor ekonomi, tapi juga dipengaruhi banyak faktor. Infrastruktur, sarana pendidikan bagi keluarga, dan fasilitas lain lebih lengkap di Pulau Jawa.
Selain itu, tidak sedikit dokter yang setelah lulus program pendidikan spesialis berniat mengabdi di tempat terpencil. Namun, sesampai di sana, tidak lama kemudian kembali hengkang. Sebab, mereka tidak bisa menjalankan profesi secara maksimal. Fasilitas dan SDM lain yang terkait belum ada.
Biaya pendidikan dokter mahal dan sebagian besar biaya sendiri. Bila lulus dokter dan telah menyelesaikan internship, dokter berhak menentukan tempat kerjanya sendiri, terutama dokter non-PNS. Pemerintah harus mempunyai mekanisme agar dokter dapat terdistribusi merata di seluruh Indonesia. Hal ini bisa dimulai dengan membantu biaya pendidikan dokter yang mahal, memperbanyak beasiswa ikatan dinas, dan lain-lain.
Sulit dibayangkan bila dokter membayar biaya sekolah sedemikian mahal secara mandiri. Namun, diharapkan terdistribusi merata sampai di daerah terpencil.
Kualitas dan kompetensi dokter dituntut setara dengan lulusan dokter luar negeri. Apalagi di era Masyarakat Ekonomi ASEAN yang di dalamnya termasuk bidang kesehatan. Ada yang khas dengan dokter lulusan Indonesia. Sebagian besar bekerja di dalam negeri. Sangat sedikit yang bekerja di luar negeri. Berbeda dengan India, Malaysia, dan lain-lain, banyak dokternya yang berkarier di Inggris dan kota-kota lain di luar negeri.
Ada dua kemungkinan penyebab: merasa nyaman dengan bekerja di negeri sendiri atau kualifikasinya sulit untuk bekerja di luar negeri. Singapore Medical Council (SMC) setiap tahun mengeluarkan daftar fakultas kedokteran di dunia yang berhak mendapatkan registrasi untuk berpraktik di Singapura. Dan ternyata tidak satu pun fakultas kedokteran dari Indonesia yang masuk daftar tersebut.
Penyetaraan kualitas dan kompetensi tentu memerlukan kerja keras. Bagaimana pendidikan dokter di Indonesia, mulai pendidikan dokter umum sampai pendidikan subspesialis, dapat diakui di dunia. Bila ingin kompetensi lulusan kita sama dengan luar negeri, fasilitas pendidikannya pun harus setara dengan luar negeri.
Sebagian besar pendidikan dokter berbagai strata di Indonesia dilakukan di rumah sakit yang terbatas dari segi fasilitas dan pembiayaan pasien jika dibandingkan dengan rumah-rumah sakit pendidikan di luar negeri. Bagaimana dokter kita bisa melakukan operasi canggih ketika fasilitas operasi canggih belum banyak tersedia di rumah sakit pendidikan kita. Belum lagi bila ditinjau dari pembiayaan pasien karena coverage terbatas.
Bagaimana dokter kita bisa berpengalaman memberikan targeted therapy bila masalah pembiayaan targeted therapy belum ter-cover di rumah-rumah sakit pendidikan. Sehingga pengalaman pada pasien belum banyak. Demikian juga masalah-masalah lain.
Kurikulum bisa disesuaikan dengan luar negeri. Critical thinking mahasiswa kedokteran bisa dilatih. Namun, fasilitas dan pembiayaan kesehatan yang lebih longgar bagi pasien sangat vital untuk mencetak dokter berkualitas yang berpengalaman setara lulusan asing dari universitas terpandang di luar negeri.
Sementara itu, wacana mendatangkan dokter asing ke Indonesia sebaiknya menimbang juga aturan resiprokal dengan negara asal dokter asing tersebut. Aturan mereka untuk dokter kita harus sama dengan aturan kita untuk dokter mereka.
Tidak semua fakultas kedokteran di luar negeri lebih berkualitas daripada fakultas kedokteran kita. Sehingga kita harus memiliki daftar universitas luar negeri mana yang lulusannya bisa bekerja di Indonesia sebagai dokter. Mari semua pihak terkait bekerja sama. Kita memilih menggunakan pepatah ”sulit tapi bisa” daripada ”bisa tapi sulit” dalam mewujudkan kemajuan kedokteran Indonesia. Semangat… (*)
BRAHMANA ASKANDAR, Ketua IDI Surabaya, dosen Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga