KONTROVERSI besar soal biaya haji 2023 memang telah berakhir dengan munculnya kesepakatan antara pemerintah dan parlemen (DPR) pada rapat panitia kerja (15/2/2023). Namun, masih ada yang tersisa tapi mendesak untuk diselesaikan. Yakni mengenai penguatan nilai dasar ibadah haji yang beririsan dengan dampaknya pada tata kelola perhajian. Bagian sentralnya adalah penumbuhan kesadaran dan mental di balik peribadatan haji.
Haji kini bukan soal hak individu keumatan. Haji belakangan sudah menjadi isu tata kelola publik. Bentuknya tidak terlepas dari penjaminan agar setiap individu muslim yang berkemampuan diri bisa mendapatkan jaminan layanan untuk berhaji yang setara lintas zaman.
Ada dua kata kunci penting yang patut diuraikan secara memadai, yakni berkemampuan diri dan lintas zaman. Isu pertama menyangkut kesadaran mental tentang pelaksanaan konsep wajib haji. Isu kedua menyangkut jaminan administrasi dan layanan yang harus dikelola pemangku kepentingan publik terhadap akses untuk berhaji secara setara bagi setiap warga muslim dalam babakan waktu yang panjang secara sama pula.
Islam mempersyaratkan ”berkemampuan diri” dalam berhaji. Dalam Alquran surah Ali ’Imran (3:97) dijelaskan, substansi berkemampuan diri yang menjadi syarat wajib haji diilustrasikan dengan kata istitha’ah. Sejumlah ulama memaknai substansi istitha’ah dengan kemampuan dalam bentuk fasilitasi, mulai perbekalan hingga mobilitas.
Makna dasarnya, ada jaminan kemampuan diri secara finansial untuk melakukan perjalanan haji sebagai ibadah yang menuntut konsumsi finansial cukup tinggi untuk bisa melunaskan penunaian semua rangkaiannya dan sekaligus kemampuan fisik yang memadai untuk melaksanakannya.
Konkretnya, kata ”berkemampuan diri” tidak bisa hanya sekadar dimaknai dalam pengertian kesehatan fisik, tapi lebih-lebih juga kemampuan finansial. Artinya, mereka yang belum berada dalam situasi ”selesai dengan dirinya” secara finansial belum termasuk ke dalam kriteria wajib haji. Apabila seorang muslim belum memenuhi kriteria berkemampuan secara finansial, dia sejatinya belum termasuk dalam kategori wajib haji.
Memaksakan diri hanya akan menyisakan masalah legal-ritual dan sosial-ekonomi. Akhirnya, kriteria wajib haji menjadi terdegradasi akibat ketentuan legal-ritual yang disiasati dan tata kelola sosial-ekonomi tertatih-tatih menyusul ukuran kemampuan finansial yang dinegosiasi melalui jalur fasilitasi nonalami. Ujungnya, haji menjadi problem rutin tahunan yang jika dilakukan ikhtiar pembenahan tata kelola rawan dipolitisasi tanpa henti.
Dalam kaitan inilah, dana talangan haji sebagai skema pembiayaan oleh perbankan kepada calon jemaah haji memantik kontroversi besar. Mereka yang belum memiliki kesiapan finansial untuk mendanai perjalanan haji akhirnya terstimulasi untuk ikut berencana melaksanakannya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), melalui Dewan Syariah Nasional (DSN), memang telah mengeluarkan fatwa DSN-MUI Nomor 29/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang memperbolehkan pemberian dana talangan haji dengan menggunakan prinsip al-Qardh.
Namun, ada catatan penting yang harus disampaikan. Fatwa ini lebih menunjuk pada mekanisme pembiayaan dan bukan secara langsung berurusan dengan persoalan posisi dana talangan dalam kaitannya dengan ketentuan atau kriteria ”berkemampuan diri” (istitha’ah).
Tapi, kini, dalam praktiknya, karena mudarat yang ditimbulkan terhadap tata kelola perhajian menyusul longgarnya pelaksanaan ketentuan istitha’ah di atas, dana talangan haji pun mulai dipersoalkan. Mudzakarah Perhajian Indonesia 1444 H/2022 M di Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, (29/11/2022) mengoreksi praktik penyelenggaraan dana talangan haji itu.
Salah satu butir rekomendasinya berbunyi: tidak menoleransi penggunaan dana talangan dan segala bentuk pembiayaan haji yang bertentangan dengan pemenuhan kaidah istitha’ah dan menjadikan daftar antrean haji semakin panjang.
Mudarat yang ditimbulkan pada daftar antrean menuntut dilakukannya intervensi kebijakan perhajian lintas zaman. Mengapa tata kelola ”lintas zaman” kini menjadi isu? Antrean haji semakin hari semakin panjang. Membayarnya seseorang ke bank mitra haji untuk mendapatkan porsi haji menjadi salah satu perihal mendasarnya.
Masalahnya bukan soal apakah baik atau tidak seseorang untuk bisa mendapatkan porsi haji. Akan tetapi, cara seseorang untuk mendapatkan porsi haji dengan menggunakan dana talangan dari perbankan yang menjadi masalah.
Harus diakui, suka atau tidak suka, hasil rekomendasi Mudzakarah Perhajian Indonesia di atas harus menjadi peringatan kepada kita semua tentang dampak buruk dari penyediaan dana talangan haji yang mungkin sebelumnya tidak terpikirkan. Memang tidak dinafikan bahwa ada keuntungan timbal balik antara individu warga masyarakat dan perbankan atas penyediaan dana talangan haji.
Namun, dana talangan haji dalam kenyataannya turut berkontribusi pada ambruknya mental warga masyarakat terhadap konsep istitha’ah sebagai kriteria konseptual wajib haji. Dana talangan haji kini menimbulkan komplikasi tidak saja pada tata kelola penyelenggaraan haji, tapi juga diskursus fiqhiyah atas konsep istitha’ah.
Di sinilah konsep ”haji keadilan dan keberlanjutan” penting diintroduksi. Berhaji bukan urusan hari ini semata, melainkan urusan jaminan yang harus diberikan secara relatif serupa kepada seluruh muslim dari masa ke masa. Deliberasi itu bukan tanpa edukasi. Deliberasi mempersyaratkan adanya edukasi.
Agar semua komponen warga masyarakat selalu mengambil pelajaran dari setiap kejadian. Agar selalu ada hikmah maslahat di balik setiap hajat. Dengan begitu, akan selalu ada proses pembelajaran di setiap permusyawaratan. Pendewasaan adalah akibat saja dari tradisi bijak yang terlembagakan. Dan itulah deliberasi yang terpujikan melalui edukasi yang mencerdaskan. Literasi haji kini tidak hanya menjadi tuntutan, tapi juga sudah menjadi kebutuhan publik. (*)
*) AKH. MUZAKKI, Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya