INI kejadian menggembirakan. Khususnya untuk para petani kita di seluruh Jawa: hujan masih terus turun di musim kemarau. Petani bisa panen tiga kali. Bisa terus sibuk. Kurang punya waktu untuk ikut ngegosip hoax di medsos –setidaknya berkurang.
Hujan itu, takarannya pun pas: sering tapi tidak tiap hari. Deras tapi tidak sampai menimbulkan banjir. Angin cukup kencang –sesekali– tapi tidak sampai menjadi puting beliung.
Alhamdulillah. Puji Tuhan. Rahayu. Amitofo. είναι ευγνÏŽμων!
Bayangkan kalau di tengah krisis Covid ini terjadi kemarau panjang. Tanah pecah. Sulit dapat air. Kekeringan di mana-mana. Alangkah sulitnya.
Atau, hama wereng mengganas. Hamparan padi yang sudah menguning tergenang air banjir. Alangkah memilukannya.
Syukurlah juga tidak terjadi hama tikus –sejak banyak tikus lebih senang ke kota-kota besar yang anggarannya triliunan.
Selalu ada sisi yang bisa disyukuri di tengah penderitaan terdalam sekali pun.
Iklim begitu baiknya bagi petani kita. Syukurlah belum ada yang mengklaim iklim itu bisa begitu baik berkat si A atau si B. Tuhan begitu pinter mengatur keseimbangan antara sisi ujian dan sisi bonus-Nya.
Bayangkan, ini sudah bulan Juli. Sudah tanggal 18 pula. Kok Tuhan masih terus mengirim hujan untuk petani kita. Juga untuk jalan-jalan di kota sehingga tidak berdebu.
Saya pengin sekali mengundang ahli cuaca untuk menjelaskan mengapa Tuhan begitu baiknya kepada petani. Tolong jelaskan. Cukup lima alinea –jangan seperti satu komentar di Disway Jumat lalu. Yang begitu panjangnya. Yang tidak ada isinya. Rupanya admin Disway punya selera humor: sekali dalam sejarah, ada komentar sebesar tong tanpa isi sama sekali.
Bersyukur. Apa pun bisa kita syukuri. Alhamdulillah. Puji Tuhan. Rahayu. Amitofo. አመስጋአáˆáŠ•!
Kita bersyukur antrean vaksinasi mengular di mana-mana. Pertanda kesadaran bervaksin begitu tinggi. Alhamdulillah vaksinnya juga ada. Stok vaksin kita 140 juta. Yang sudah disuntikkan baru sekitar 60 juta. Begitulah keterangan juru bicara BUMN di Zoominar Narasi Jumat sore lalu.
“Tapi vaksin itu kan bukan diminum. Harus disuntikkan,” katanya. Maksud beliau: harus ada alat suntiknya. Harus ada tenaga yang menyuntik. Termasuk harus ada tenaga yang mengecek isian formulir. Dan yang memverifikasi isi formulir.
Begitu banyak vaksin yang sudah dibeli. Begitu sedikit yang sudah disuntikkan. Birokrasi vaksinasi masih memerlukan begitu banyak jalur dan tenaga. Zaman IT belum terlihat berperan di lokasi-lokasi vaksinasi.
Seandainya vaksin itu tinggal diminum, maksud beliau, tentu vaksinasi bisa sangat cepat. Jadi, harap maklum, kalau vaksinasi ini lambat.
Tapi Alhamdulillah. Puji Tuhan. Rahayu. Amitofo. Biết ơn!
Memang nakes kita tidak lagi cukup. Banyak yang meninggal, masuk rumah sakit, isolasi mandiri, atau mengundurkan diri.
Anggaran untuk nakes itu tidak ada masalah. “Anggaran untuk mereka sudah disetujui. Sudah diputuskan,” ujar juru bicara tersebut. “Bahwa belum bisa cair, itu di luar kewenangan kami. Tapi anggarannya sudah ada,” katanya. Alhamdulillah.
Saya mendengarkan radio Suara Surabaya. Seorang anak membawa ibunya keliling ke rumah-rumah sakit. Tidak juga dapat kamar. Ia bisa menerima keadaan itu. Terlalu banyak yang memerlukan kamar di RS.
Tapi ia tidak bisa menerima cara petugas di rumah sakit itu menjawab. Yang kata-kata petugas itu dianggap tidak membesarkan hati pasien.
Saya tentu bersimpati pada pasien dan putranya itu. Tapi saya juga harus bersimpati pada petugas di RS itu.
Maka siapa pun yang membawa anggota keluarga ke rumah sakit harus siap mental. Agar lebih bisa menerima keadaan terburuk: tidak mendapat kamar, tidak mendapat tempat tidur, dan tidak mendapat senyum dari petugas.
Janganlah berharap senyum atau kata-kata manis dari nakes. Mereka sendiri mungkin juga lagi menangis. Di dalam hati.
Setidaknya hujan di musim kemarau ini menggembirakan. Tidak memperkeruh keadaan. Alhamdulillah. (Dahlan Iskan)