Site icon Prokalteng

Banjir-Longsor dan Narasi Fikih Lingkungan

banjir-longsor-dan-narasi-fikih-lingkungan

HARI-HARI ini Nganjuk memberikan pekabaran.
Duka lara yang disemat melebihi Jombang, Lamongan, Pasuruan, Jember, DKI
Jakarta, Semarang, maupun Banjar yang diterjang banjir bandang. Kota dan desa,
sawah dan ladang, maupun gunung dan hutan tampak menyeringai perih. Jalan Jaksa
Agung Suprapto, Nganjuk, tenggelam. Tanah longsor di Selopuro, Ngetos, yang
terjadi Minggu (14/2) mengakibatkan 13 rumah rusak dan 21 warga tertimbun.

Keluh menyeruak menyentak dengan lelehan air
mata. Kisahnya serupa dengan yang pernah mendera Tangkil, Banaran, Pulung,
Ponorogo, 1 April 2017. Terselip alur cerita yang menorehkan nestapa kolosal
tanah longsor. Sebanyak 28 orang dan 32 rumah tertimbun, 300 jiwa terdampak,
4–15 hektare area persawahan rusak, 1.655 personel diterjunkan untuk evakuasi,
dan 7 alat berat dikerahkan.

 

Bukan Salah Hujan

Itu semua merupakan realitas kehancuran
ekologis yang besar. Mengapa tragedi banjir-longsor mentradisi dengan
intensitas hujan dijadikan sebagai ’’terangka’’? Pahami bahwa penyebab utama
longsor bukanlah air hujan, melainkan buruknya perlakuan kepada alam. Atas nama
investasi, industri menyergap kawasan lindung dengan pabrik-pabriknya. Mereka
sangat fasih membincangkan angka-angka komoditas tanpa keterampilan mendeteksi
kezaliman ekologi.

Kerusakan daerah aliran sungai dan pembukaan
hutan di wilayah hulu adalah penyempurna banjir. Tentu saja kerakusan
lingkungan ini mengentak batin yang tidak terperikan. Adakah banjir ini
dirancang bangun mentradisi dan ekstremitas cuaca dijadikan sebagai sang tertuduh?
Banjir pada dasarnya hanyalah ’’panen raya’’ dari kebijakan salah tindak.
Longsor dan banjir bukan fenomena alam yang mendadak, melainkan produk dari
laku destruktif yang panjang.

Menempatkan hujan sebagai instrumen
pemroduksi banjir adalah pertanda kemungkaran. Narasi religius mengajarkan
bahwa hujan itu nikmat, bukan laknat, apalagi sebagai kutukan. Banjir yang
merenggut nyawa, mengisolasi warga, dan menghancurkan tata ruang bukanlah
faktor act of God, melainkan rapuhnya planologi teritorial. Hal ini menandakan
lemahnya kinerja lingkungan pemda yang tidak memahami klimatologis daerahnya.

Saatnya menyusun program pembangunan berbasis
klimatologis, kota yang dirancang dengan basis iklim. Cuaca dijadikan parameter
signifikan perumusan regulasi. Kalau setiap musim hujan terjadi banjir yang
dianggap sebagai takdir, buat apa bangsa ini menyelenggarakan pilkada. Pemimpin
(daerah) dipertandingkan untuk dipilih agar mampu mengelola lingkungan dan SDA,
mengatasi banjir, dan hujan adalah karunia.

 

Perspektif Fikih Lingkungan

Perspektif fikih lingkungan perlu dihadirkan
agar manusia menyimak pesan Tuhan lebih jernih. Banjir yang menggenang
merupakan peringatan rendahnya mutu pengelolaan lingkungan. Otoritas publik
jangan berposisi membiarkan SDA seperti arena tidak bertuan. Telah lama muslim
membaca formulasi suci laa tufsiduu fil ardhi ba’da ishlahiha. Janganlah kalian
berlaku destruktif terhadap alam, merusak bumi setelah Allah menata sedemikian
rupa eloknya.

Sering pula khalayak ramai mengaji tentang
substansi Alquran dan hadis. Betapa sering kita mendengar ungkapan rabbal
alamin dan rahmatan lil alamin. Orang yang mengerti dua terminologi sakral itu
niscaya tidak akan merusak alam. Secara spesifik Islam memosisikan ’’manusia
beraudiensi dengan alam’’ sebagaimana dalam surah Al Fatihah yang dibaca setiap
salat. Atau bagi siapa saja yang menjalankan umrah dan haji, kalau sedang
mengenakan pakaian ihram, kita dilarang menebang, bahkan sekadar mencabut
rumput tidak diperkenankan.

Belum lagi dari kaidah taharah yang harus
dengan air yang suci dan menyucikan. Fikih lingkungan memberikan rujukan
praktis bagaimana manusia ’’menggauli’’ alamnya. Kurikulum akidah-akhlak dan
fikih lingkungan menuntun manusia menjaga jiwa (hifdzul nafs), memelihara akal
(hifdzul aql), melindungi harta (hifdzul maal), merawat keturunan (hifdzul
nasl), dan memuliakan agama (hifdzud diin).

Apalagi dalam kerangka negara. Pemerintah
mempunyai wewenang menata kelola teritorialnya. UU Lingkungan, UU Pemda, UU Desa,
UU Konservasi Tanah, UU Kehutanan, UU Penataan Ruang, UU Penanggulangan
Bencana, dan ribuan regulasi yang berlaku menjadi dasar hukum mengatasi banjir.
Secara politik diseyogiakan dapat digelar rapat paripurna istimewa oleh
parlemen DPRD (provinsi/kabupaten/kota) yang mengalami banjir guna mengevaluasi
mandat lingkungan para kepala pemerintahan.

Banjir dan langsor serta hutan yang gudul
adalah ’’siklus’’ kebertautan. Kenapa hutan ’’dicukur’’? Kenapa pohon-pohon
dijarah? Jajaran kepolisian harus segera melakukan penyidikan komprehensif
terhadap para penebang kayu, baik yang liar (ilegal) maupun yang legal.

Membabat hutan tanpa kendali adalah tindakan
kejahatan menurut hukum dan dilarang oleh fikih lingkungan. Dengan peristiwa
banjir, saatnya mengoreksi kinerja ekologis publik. Perhutani memikul tanggung
jawab hukum terjadinya lahan kritis (deforestasi). Hujan deras bukanlah alasan
menyeruaknya tanah longsor, tetapi gundulnya hutan dan rusaknya ekosistemlah
sejatinya penyebab primer meluasnya banjir.

Akhirnya, mengatasi banjir di Indonesia
dibutuhkan redesain tata ruang berbasis ekologis dan merevisi pembangunan
infrastruktur yang terlalu maskulin (penuh gedung jangkung yang kekar tanpa
resapan) agar lebih feminin (bertelaga). Agenda dan kegiatan merevitalisasi
kali menjadi kanal-kanal di kota raya yang berporos pada alur sungai adalah
titik sentrum pengembangan kota ’’antibanjir’’.

Kalaulah sesudah itu masih banjir, bolehlah
berpaling pada ucapan santun Dante Alighieri: all alta fantasia qui manco
possa. Ketika sampai pada momen teragung ini, aku tak mampu berkata apa-apa
lagi. Selamat datang pemimpin baru hasil pilkada 9 Desember 2020. Jadikanlah
kemenanganmu sebagai momentum menutup halaman terakhir yang berkisah tentang
banjir. (*)



Suparto Wijoyo, Akademisi Hukum Lingkungan
& Wadir III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Ketua Lembaga
Pemuliaan Lingkungan Hidup dan SDA MUI Jatim

Exit mobile version