26.7 C
Jakarta
Saturday, April 19, 2025

Muhammadiyah dan Program Politik yang Terabaikan

DALAM usianya yang lebih dari satu abad (18 November 1912 M) atau
tepatnya 108 tahun, Muhammadiyah terus bertahan dan menjalankan misi utamanya
sebagai gerakan filantropis berkemajuan. Tanpa menghitung deretan usaha yang
telah dilakukan dan hasil yang dilaporkan, hambatan dan rintangan selalu ada
dan bisa diselesaikan.

Dalam memperjuangkan sesuatu yang
diyakini benar, usaha terus dilakukan sampai terwujudnya cita-cita dan
tercapainya tujuan. Yakni, menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam
sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Tujuan ini menjadi dasar ideologi
yang diperjuangkan semua warga anggota persyarikatan dari level pimpinan pusat
hingga pimpinan ranting Muhammadiyah. Dari perspektif nilai tasawuf Abdul Qadir
Al Jailani, semakin besar rintangan yang dihadapi Muhammadiyah dalam
memperjuangkan suatu kebenaran dan bisa diatasinya, semakin tinggi tingkat
keteladanan (kesufian) Muhammadiyah. Semua warga anggota Muhammadiyah meyakini “tiada
keberhasilan tanpa perjuangan dan tiada perjuangan tanpa rintangan serta tiada
rintangan tanpa pengorbanan” sebagai salah satu faktor yang melandasi tetap berdiri
tegaknya Muhammadiyah hingga sekarang.

Komitmen warga Muhammadiyah untuk
berjuang dan dukungan masyarakat luas dalam melaksanakan program Muhammadiyah,
adalah karena konsistensi gerakan ini dalam menegakkan amar makruf nahi
mungkar.

Keseimbangan misi yang
diperjuangkan memunculkan beberapa etos perjuangan. Yakni, sedikit bicara banyak kerja, bertemunya antara ucapan dan tindakan,
hidup-hidupilah Muhammadiyah dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah, serta
berlomba-lomba dalam kebajikan
. Semuanya dilandasi semangat keikhlasan.
Nilai perjuangan yang dilakukan Muhammadiyah, insya Allah, jauh dari pamrih
duniawi. Ini adalah faktor lain yang juga melandasi bertahannya Muhammadiyah
hingga sekarang.

“Menegakkan dan menjunjung tinggi
agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” adalah
cita-cita mengamalkan semua yang diperintahkan dan dilarang Islam.

Secara ideal, masyarakat Islam
yang sebenar-benarnya memang belum terwujud. Tetapi, proses menuju ke sana
tetap dilakukan gerakan Muhammadiyah melalui program trisula lama (pendidikan,
kesehatan, dan pendampingan sosial) dan trisula baru (Lazismu, Muhammadiyah
Disaster Management Center, dan pemberdayaan masyarakat). Ada juga
trisula-trisula lainnya yang akan muncul untuk menerjemahkan ideologi
Muhammadiyah dan melaksanakan program yang selama ini belum tuntas tercapai
seperti bidang ekonomi, budaya, dan politik.

Baca Juga :  Hujan Juli

Perjalanan waktu dan derasnya
rintangan yang dihadapi persyarikatan menjadikan Muhammadiyah semakin menarik
untuk diamati. Pengamatan bukan terletak pada program yang telah berhasil
dilakukan. Tetapi bidang yang sedang dan akan dilakukan.

Menurut persepsi orang dalam
(insiders) maupun pengamatan orang luar (outsiders), ada perkembangan penting
yang menggambarkan kecenderungan ideologi gerakan, terutama yang terkait dengan
keterlibatan Muhammadiyah dalam politik kekuasaan. Dalam bidang politik selama
ini, Muhammadiyah berorientasi pada politik nilai. Namun, bagaimana politik
nilai itu harus diimplementasikan, banyak orang yang masih menunggunya.

Muhammadiyah dan Politik

Keterlibatan para tokoh awal
Muhammadiyah ke dalam partai politik merupakan bagian strategi dalam mewujudkan
tujuan persyarikatan. Mereka bukanlah para penumpang gratis yang memanfaatkan
partai politik sebagai media untuk memenuhi kepentingan diri. Tetapi, mereka
termasuk inisiator pendirian partai yang kemudian aktif di dalamnya
memperjuangakan Islam melalui politik.

Hubungan antara Muhammadiyah dan
partai politik pada masa akhir-akhir ini mulai menarik perhatian banyak
kalangan internal untuk membicarakannya. Hal ini disebabkan adanya penilaian
bahwa perjuangan melalui politik kekuasaan akan bermanfaat besar bagi
kelangsungan program Muhammadiyah. Kedua, posisi Muhammadiyah di luar kekuasaan
dirasakan tidak cukup memberikan pengaruh bagi penentu kebijakan negara dalam
mengawal arah pembangunan seperti yang dicita-citakan Muhammadiyah.

Selain alasan di atas,
kelonggaran yang sedikit terbuka untuk pimpinan persyarikatan terjun ke
gelanggang politik praktis mendorong sebagian para kader ’’bermantap’’ diri
merintis karir mereka ke dunia politik kekuasaan. Apalagi, praktik politik yang
tampak masih secara demonstratif dinilai jauh dari yang diharapkan
Muhammadiyah.

Baca Juga :  Momentum Menyinergikan Korporasi dan Koperasi

Proses politik lebih didominasi
tarik-menarik ambisi lantaran kepentingan diri dan kelompok. Karena itu, yang
tampak adalah konflik yang mengemuka. Harapan untuk menciptakan tatanan
kehidupan berbangsa dan bermasyarakat seperti yang dicita-citakan Muhammadiyah “kandas”,
tidak tahu kapan bisa dicapainya. Sistem kenegaraan dan pemerintahan belum
berjalan. Sistem lebih bergantung pada figur siapa yang sedang berkuasa. Ganti
pemerintahan ganti kebijakan. Yang mendominasi adalah kekuasaan diri.

Mengutip ungkapan Napoleon
Bonaparte: “kekuasaan adalah saya”. Bangsa terbelah menjadi dua, penguasa dan
rakyat. Yang disebut pertama identik dengan “sabdo pandito rojo”. Apa yang disampaikan penguasa identik dengan
kebenaran. Kontrol tidak akan menjangkau apabila seorang penguasa berkehendak.
Rakyat harus tunduk patuh terhadap apa yang menjadi keinginan yang pertama.

Kondisi seperti di atas menjadi
daya tarik (pull) sebagian kader
Muhammadiyah untuk terjun ke politik kekuasaan. Tujuannya mulia, ingin berperan
dalam penataan kehidupan bernegara melalui politik praktis. Yang ada dalam
benak diri mereka, karena negara salah urus, rakyatlah yang menderita. Hal ini
dikuatkan ungkapan lama, apabila suatu perkara diserahkan kepada orang yang
bukan ahlinya, tunggu saja saat kehancurannya.

Keinginan terjun ke dunia politik
praktis memang penting untuk diperhatikan. Perdebatan di internal persyarikatan
harus berakhir dan menghasilkan keputusan organisasi untuk memfasilitasi
keinginan mereka. Secara normatif, keputusan ini akan menjadi faktor pendorong
(push) diperluasnya perjuangan Muhammadiyah di arena politik kekuasaan. Tetapi,
pertanyaannya, apakah sudah siap kader Muhammadiyah terjun ke dunia politik
kekuasaan sekarang ini? (*)

(Penulis adalah Guru besar UIN
Sunan Ampel Surabaya, wakil ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur)

DALAM usianya yang lebih dari satu abad (18 November 1912 M) atau
tepatnya 108 tahun, Muhammadiyah terus bertahan dan menjalankan misi utamanya
sebagai gerakan filantropis berkemajuan. Tanpa menghitung deretan usaha yang
telah dilakukan dan hasil yang dilaporkan, hambatan dan rintangan selalu ada
dan bisa diselesaikan.

Dalam memperjuangkan sesuatu yang
diyakini benar, usaha terus dilakukan sampai terwujudnya cita-cita dan
tercapainya tujuan. Yakni, menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam
sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Tujuan ini menjadi dasar ideologi
yang diperjuangkan semua warga anggota persyarikatan dari level pimpinan pusat
hingga pimpinan ranting Muhammadiyah. Dari perspektif nilai tasawuf Abdul Qadir
Al Jailani, semakin besar rintangan yang dihadapi Muhammadiyah dalam
memperjuangkan suatu kebenaran dan bisa diatasinya, semakin tinggi tingkat
keteladanan (kesufian) Muhammadiyah. Semua warga anggota Muhammadiyah meyakini “tiada
keberhasilan tanpa perjuangan dan tiada perjuangan tanpa rintangan serta tiada
rintangan tanpa pengorbanan” sebagai salah satu faktor yang melandasi tetap berdiri
tegaknya Muhammadiyah hingga sekarang.

Komitmen warga Muhammadiyah untuk
berjuang dan dukungan masyarakat luas dalam melaksanakan program Muhammadiyah,
adalah karena konsistensi gerakan ini dalam menegakkan amar makruf nahi
mungkar.

Keseimbangan misi yang
diperjuangkan memunculkan beberapa etos perjuangan. Yakni, sedikit bicara banyak kerja, bertemunya antara ucapan dan tindakan,
hidup-hidupilah Muhammadiyah dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah, serta
berlomba-lomba dalam kebajikan
. Semuanya dilandasi semangat keikhlasan.
Nilai perjuangan yang dilakukan Muhammadiyah, insya Allah, jauh dari pamrih
duniawi. Ini adalah faktor lain yang juga melandasi bertahannya Muhammadiyah
hingga sekarang.

“Menegakkan dan menjunjung tinggi
agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” adalah
cita-cita mengamalkan semua yang diperintahkan dan dilarang Islam.

Secara ideal, masyarakat Islam
yang sebenar-benarnya memang belum terwujud. Tetapi, proses menuju ke sana
tetap dilakukan gerakan Muhammadiyah melalui program trisula lama (pendidikan,
kesehatan, dan pendampingan sosial) dan trisula baru (Lazismu, Muhammadiyah
Disaster Management Center, dan pemberdayaan masyarakat). Ada juga
trisula-trisula lainnya yang akan muncul untuk menerjemahkan ideologi
Muhammadiyah dan melaksanakan program yang selama ini belum tuntas tercapai
seperti bidang ekonomi, budaya, dan politik.

Baca Juga :  Hujan Juli

Perjalanan waktu dan derasnya
rintangan yang dihadapi persyarikatan menjadikan Muhammadiyah semakin menarik
untuk diamati. Pengamatan bukan terletak pada program yang telah berhasil
dilakukan. Tetapi bidang yang sedang dan akan dilakukan.

Menurut persepsi orang dalam
(insiders) maupun pengamatan orang luar (outsiders), ada perkembangan penting
yang menggambarkan kecenderungan ideologi gerakan, terutama yang terkait dengan
keterlibatan Muhammadiyah dalam politik kekuasaan. Dalam bidang politik selama
ini, Muhammadiyah berorientasi pada politik nilai. Namun, bagaimana politik
nilai itu harus diimplementasikan, banyak orang yang masih menunggunya.

Muhammadiyah dan Politik

Keterlibatan para tokoh awal
Muhammadiyah ke dalam partai politik merupakan bagian strategi dalam mewujudkan
tujuan persyarikatan. Mereka bukanlah para penumpang gratis yang memanfaatkan
partai politik sebagai media untuk memenuhi kepentingan diri. Tetapi, mereka
termasuk inisiator pendirian partai yang kemudian aktif di dalamnya
memperjuangakan Islam melalui politik.

Hubungan antara Muhammadiyah dan
partai politik pada masa akhir-akhir ini mulai menarik perhatian banyak
kalangan internal untuk membicarakannya. Hal ini disebabkan adanya penilaian
bahwa perjuangan melalui politik kekuasaan akan bermanfaat besar bagi
kelangsungan program Muhammadiyah. Kedua, posisi Muhammadiyah di luar kekuasaan
dirasakan tidak cukup memberikan pengaruh bagi penentu kebijakan negara dalam
mengawal arah pembangunan seperti yang dicita-citakan Muhammadiyah.

Selain alasan di atas,
kelonggaran yang sedikit terbuka untuk pimpinan persyarikatan terjun ke
gelanggang politik praktis mendorong sebagian para kader ’’bermantap’’ diri
merintis karir mereka ke dunia politik kekuasaan. Apalagi, praktik politik yang
tampak masih secara demonstratif dinilai jauh dari yang diharapkan
Muhammadiyah.

Baca Juga :  Momentum Menyinergikan Korporasi dan Koperasi

Proses politik lebih didominasi
tarik-menarik ambisi lantaran kepentingan diri dan kelompok. Karena itu, yang
tampak adalah konflik yang mengemuka. Harapan untuk menciptakan tatanan
kehidupan berbangsa dan bermasyarakat seperti yang dicita-citakan Muhammadiyah “kandas”,
tidak tahu kapan bisa dicapainya. Sistem kenegaraan dan pemerintahan belum
berjalan. Sistem lebih bergantung pada figur siapa yang sedang berkuasa. Ganti
pemerintahan ganti kebijakan. Yang mendominasi adalah kekuasaan diri.

Mengutip ungkapan Napoleon
Bonaparte: “kekuasaan adalah saya”. Bangsa terbelah menjadi dua, penguasa dan
rakyat. Yang disebut pertama identik dengan “sabdo pandito rojo”. Apa yang disampaikan penguasa identik dengan
kebenaran. Kontrol tidak akan menjangkau apabila seorang penguasa berkehendak.
Rakyat harus tunduk patuh terhadap apa yang menjadi keinginan yang pertama.

Kondisi seperti di atas menjadi
daya tarik (pull) sebagian kader
Muhammadiyah untuk terjun ke politik kekuasaan. Tujuannya mulia, ingin berperan
dalam penataan kehidupan bernegara melalui politik praktis. Yang ada dalam
benak diri mereka, karena negara salah urus, rakyatlah yang menderita. Hal ini
dikuatkan ungkapan lama, apabila suatu perkara diserahkan kepada orang yang
bukan ahlinya, tunggu saja saat kehancurannya.

Keinginan terjun ke dunia politik
praktis memang penting untuk diperhatikan. Perdebatan di internal persyarikatan
harus berakhir dan menghasilkan keputusan organisasi untuk memfasilitasi
keinginan mereka. Secara normatif, keputusan ini akan menjadi faktor pendorong
(push) diperluasnya perjuangan Muhammadiyah di arena politik kekuasaan. Tetapi,
pertanyaannya, apakah sudah siap kader Muhammadiyah terjun ke dunia politik
kekuasaan sekarang ini? (*)

(Penulis adalah Guru besar UIN
Sunan Ampel Surabaya, wakil ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur)

Terpopuler

Artikel Terbaru