Presiden Terpilih Indonesia dan Teladan Kepemimpinan Nabi
ABDULLAH SIDIQ NOTONEGORO
Momen peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW (12 Rabiul Awal 1446 H) relatif berdekatan dengan waktu pelantikan presiden terpilih Prabowo Subianto pada 20 Oktober mendatang. Momen maulid ini, menurut penulis, memiliki kaitan yang sangat penting bagi Prabowo untuk menggali keteladanan dari manusia sempurna pilihan Allah SWT tersebut.
Ada sejumlah alasan agar Prabowo bisa memetik keteladanan Muhammad SAW berkaitan dengan perannya kelak sebagai pemimpin bangsa Indonesia. Pertama, Muhammad SAW merupakan sosok pemimpin tanpa cela. Karena itu, tidak ada alasan untuk tidak menjadikannya sebagai teladan, termasuk dalam menjalankan peran sebagai pemimpin bangsa.
Kedua, Prabowo merupakan pribadi yang religius dan dekat dengan umat Islam. Setidaknya, hal itu disampaikan mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen Kivlan Zen dalam bukunya, Konflik dan Integrasi TNI AD, yang diterbitkan Institute for Policy studies (2004). Ketiga, tantangan kepemimpinan Prabowo di Indonesia (mungkin) relatif sama dengan tantangan yang dihadapi Muhammad SAW kala menjadi pemimpin di Arab (Madinah) kala itu.
Barangkali ada yang menyatakan, tidak akan mungkin ada satu pun pemimpin di muka bumi ini yang mampu meniru kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Itu memang benar. Justru itulah pesan moral yang perlu digaungkan. Bahwa sosok teladan haruslah berasal dari sosok sempurna.
Tidak dimungkiri, saat ini negeri ini ibarat tengah berada dalam alam jahiliah. Ketidakadilan dan diskriminasi menjadikan masyarakat bawah makin tidak berdaya, sedangkan mereka yang bergelimang kuasa makin pongah.
Meneladani Muhammad SAW bukanlah hal yang berlebihan apalagi sampai dituduh sebagai bagian dari eksklusivisme tertutup. Meneladani gaya kepemimpinan Nabi merupakan bagian dari kewarasan pikiran. Terlebih dalam merawat nilai-nilai substansial demokrasi.
Jabatan Adalah Amanah
Dalam perspektif Islam, kepemimpinan terhadap bangsa bukan sekadar urusan yang selesai di dunia. Sebagai masyarakat bangsa yang menjunjung tinggi nilai religius dengan menempatkan Tuhan dalam posisi tertinggi pada dasar negara (Pancasila), siapa pun yang menetapkan pilihan sebagai pemimpin harus pula memiliki kesadaran akan pertanggungjawaban.
Pertanggungjawaban tersebut tidak sebatas pada masyarakat bangsa yang dipimpin (habl min an-nas), tetapi juga pertanggungjawaban kepada Tuhan Yang Mahakuasa (habl min al-Lah).
Dalam hadisnya yang diriwayatkan Abu Hurairah, Muhammad SAW bersabda, ’’Masing-masing kalian adalah pemimpin dan dia akan dimintai pertanggungjawaban tentang orang yang dipimpinnya.’’
Kesadaran pertanggungjawaban kepada masyarakat dan kepada Tuhan merupakan hal yang sangat vital untuk mengantarkan negeri ini menjadi negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, yaitu negeri yang mendapat keberkahan.
Karena itu, sosok pemimpin negeri yang ideal selalu merasa sadar bahwa tingkah lakunya senantiasa dalam pengawasan masyarakat dan Tuhan. Amanat masyarakat dalam hal kepemimpinan bangsa ini harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Jangan berkhianat dengan cara mengingkari hal-hal yang sudah diperjanjikan selama dalam kampanye. Seburuk-buruknya manusia adalah yang berkhianat terhadap apa yang sudah diucapkannya.
Muhammad SAW sukses memimpin masyarakat Madinah yang heterogen dan pluralis semata-mata karena kegigihannya dalam memegang amanah. Muhammad SAW sebagai pemimpin pemerintahan Madinah merumuskan Piagam Madinah sebagai tata aturan dalam kehidupan berbangsa berdasar kesepakatan seluruh masyarakat Madinah.
Heterogenitas keyakinan (agama) dan suku bukan penghalang dalam berperilaku adil. Keberadaan umat Islam yang mayoritas tidak mengurangi tanggung jawab Muhammad SAW untuk menegakkan keadilan secara beradab.
Musyawarah dan Toleransi
Hal lain yang benar-benar dijaga Muhammad SAW selama menjadi pemimpin Madinah adalah menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Praktik keadilan ini tentu bersinggungan dalam penegakan hukum kepada masyarakat. Muhammad SAW dengan jiwa religiositasnya meyakini bahwa ’’ketidakadilan’’ merupakan sumber utama malapetaka. Dengan kata lain, hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah merupakan sumber utama kebinasaan.
Dalam hal keadilan, Muhammad SAW bersabda, ’’Hai segenap manusia! Sesungguhnya tidak lain yang membinasakan orang-orang sebelum kamu ialah: apabila orang terpandang (elite) di antara mereka mencuri, mereka membiarkannya (tidak dijatuhi hukuman) dan apabila orang yang lemah (alit) di antara mereka mencuri, mereka menetapkan hukuman di atasnya,’’ (HR Muslim).
Konsep keadilan pasti akan bisa dirumuskan dengan baik manakala suara masyarakat didengarkan secara adil oleh pemerintah/penguasa. Keberadaan kelompok elite dan kelompok alit tidak boleh menjadi penghalang untuk terselenggaranya musyawarah secara adil serta bijaksana.
Karena itu, internalisasi dan kristalisasi sila kedua Pancasila harus bisa dilakukan secara baik dan benar. Saling menghormati dan menghargai perbedaan, berempati, toleran, serta menjaga kerukunan melalui budaya musyawarah secara adil harus dijadikan landasan berkehidupan.
Musyawarah dan toleransi bisa diwujudkan oleh pola kepemimpinan yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Yaitu, pemerintahan yang tidak gemar memaksakan kehendak dan merasa lebih tahu apa yang dibutuhkan masyarakat pada umumnya daripada masyarakat itu sendiri. Semoga Prabowo mampu menerjemahkan asa bangsa ini dalam kerja nyata. (*)
*) ABDULLAH SIDIQ NOTONEGORO, Dosen Universitas Muhammadiyah Gresik